Penggunaan sistem pemungutan suara secara elektronik (e-voting) kembali diwacanakan. Sejumlah negara sudah mengadopsi sistem ini. Sejumlah daerah akan uji coba pemungutan suara mempergunakan sistem e-voting.
Menurut Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI Arief Budiman, masyarakat belum siap melaksanakan e-voting karena belum terbiasa dengan budaya teknologi baru.
“Gak bisa kalau sekarang, belum siap. Kalau nanti mungkin iya. Situng (Sistem Perhitungan Suara) saja diperdebatkan. Padahal sudah dinyatakan Situng bukan bagian dari tahapan resmi penetapan,” kata Ketua KPU Arief Budiman di Gedung KPU, Jakarta, Jumat (28/6).
Arief menilai, e-voting yang menggunakan teknologi membutuhkan kultur baru masyarakat. Sementara masyarakat Indonesia sudah terbiasa dan terlalu nyaman dengan budaya ‘mencoblos’ di Tempat Pemungutan Suara (TPS) yang tempatnya tidak jauh dari rumah.
“Sekarang orang nyaman datang ke TPS dengan jalan kaki karena radiusnya kecil untuk 300 pemilih,” tuturnya.
Budaya masyarakat yang masih senang melakukan pesta dan menonton bersama tetangga saat proses perhitungan suara juga tidak dapat ditinggalkan begitu saja.
Selain itu, ia juga menilai masih belum terbangunnya kepercayaan publik secara penuh kepada penyelenggara pemilu. Jika menggunakan sistem e-voting muncul dugaan-dugaan yang tidak benar.
Ia mencontohkan, pemilu di Mexico tidak pernah meributkan soal kotak suara maupun surat suara. Padahal, kotak dan surat suara lebih tipis daripada yang ada di pemilu di Indonesia. Hasilnya pun dipercaya oleh masyarakat.
Jika Indonesia ingin menerapkan e-voting, masyarakat harus mulai membangun kultur baru serta kesiapan mental menerima teknologi baru yang ada.
Dalam kajiannya, Arief mengatakan, KPU menyarankan penggunaan rekapitulasi elektronik guna mempercepat proses perhitungan suara. “Tetap nyoblos, tapi hasil perhitungan di TPS direkap di kecamatan. Hasil di kecamatan langsung dikirim secara elektronik dan itu dinyatakan sebagai hasil resmi. Jadi cepat,” tuturnya.
Salah satu daerah yang akan melakukan uji coba e-voting adalah Kabupaten Boyolali. Khususnya pada pemilihan kades (pilkades) serentak 2019 di Kabupaten Boyolali, Jawa Tengah, yang digelar pada 29 Juni.
Kepala Dinas Pemberdayaan Masyarakat Desa (Dispermasdes) Boyolali Purwanto di Boyolali mengatakan pilkades serentak yang digelar di 229 desa di Boyolali mempergunakan metode e-voting sebanyak 69 desa dan konvensional manual dengan cara mencoblos langsung surat suara di 160 desa.
Untuk Kecamatan Boyolali Kota terdapat enam desa yang akan mengikuti pilkades, yaitu Kiringan, Penggung, Karanggeneng, Winong, Kebonbimo, dan Mudal. Dari enam desa itu, hanya Mudal dan Kebonbimo yang menggunakan e-voting untuk pemungutan suara.
Peralatan khusus yang digunakan pada pemilihan e-voting telah dipersiapkan. Sejumlah peralatan penunjang e-voting mulai diuji coba untuk memastikan kesiapannya.
"Tim dari kecamatan sesuai dengan prosedur dari Dispermasdes, yakni instalasi peralatan. Sekarang sudah dipastikan dengan 'software full version' dan data foto calon, nomor urut calon, dan nama calon," kata Sigit.
Seluruh peralatan e-voting mulai dari peralatan utama hingga peralatan cadangan telah siap. Sehari sebelum pemilihan, peralatan akan dikirim ke desa berikut dengan tim teknis yang ahli di bidangnya.
“H-1 pencoblosan pilkades dikirim ke desa berikut dengan tim teknis untuk melakukan gladi bersih,” ujarnya.
Burhan Abdillah Sanjaya, salah satu operator tim teknis Kecamatan Boyolali, mengatakan peralatan yang akan digunakan pada pilkades serentak di Boyolali telah siap. Peralatan telah disetel dan menginstalasi komputer yang akan digunakan untuk validasi Daftar Pemilih Tetap (DPT) yang memiliki undangan, serta komputer yang digunakan untuk mencoblos secara elektronik.
"Kami hingga sekarang tidak menemukan kendala yang berarti, dan 'setting' sudah selesai Rabu ini. Pada H-1 pencoblosan langsung mencoba dengan tim Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) setempat," katanya.
Pengamat politik dari Universitas Syiah Kuala, Effendi Hasan, menyatakan sudah saatnya Indonesia menerapkan sistem pemungutan suara secara elektronik, baik dalam pemilihan umum maupun dalam pemilihan kepala daerah.
"Saya pikir, dengan belajar dari pengalaman kasus Pemilu 2019, sudah saatnya pemerintah melakukan pemungutan suara secara elektronik. Mengingat sangat efektif dengan cara ini belajar dari beberapa negara," kata dia.
Cara ini diyakini akan mengurangi sengketa pemilu atau spekulasi yang muncul dari pengalaman selama ini.
Penerapan sistem pemungutan suara secara e-voting, tidak ada lagi penghitungan cepat dari lembaga survei, karena dalam waktu sehari sudah diketahui pemenangnya berdasarkan data yang masuk dari lapangan.
"Saya mengambil contoh Singapura, Malaysia, satu hari (pemilu) selesai dengan pemilu secara elektronik. Kita sudah tahu mana partai yang memenangkan perdana menteri dan ini sangat efektif,” katanya.
Indonesia dinilainya sudah sangat mampu menerapkan sistem pemungutan suara secara elektronik dan turut didukung dana yang mencukupi. (Ant)