Mendekati hari pemilihan anggota legislatif, persaingan semakin sengit. Hal ini terlihat dari ramainya spanduk dan baliho dengan gambar calon legislatif (caleg) terpasang di sejumlah jalan ibu kota, angkutan umum hingga fasilitas umum.
Maraknya atribut alat peraga kampanye (APK) sebenarnya tidak masalah, asalkan para caleg mau turun ke lapangan dan menemui masyarakat. Peneliti Indonesian Public Institut (IPI) Jerry Massie mengingatkan agar tidak menjadikan atribut spanduk dan baliho menjadi acuan masyarakat untuk memilih caleg.
Masyarakat harus turut mengawasi caleg yang bertarung di daerah pemilihannya (dapil). Bahkan bagi caleg yang urung turun ke jalan juga harus dikenal, saran Jerry untuk tidak memilih caleg yang malas turun ke masyarakat, karena dinilai tidak memiliki kontribusi.
Baginya, menandai caleg yang rajin dan malas turun ke lapangan sebagai bagian dari mengantisipasi kecurangan yang terjadi pada pemilu. Sebab, bisa saja caleg tersebut mengandalkan hal yang sifatnya transaksional dengan cara membeli suara untuk lolos ke Senayan.
"Jadi apabila nanti ada caleg yang tidak pernah turun ke masyarakat tapi ternyata dia lolos ke Senayan, patut diduga itu melakukan tindakan transaksional terhadap kartel pemilu," katanya.
Motif tersebut dinilai rawan terjadi antara caleg dan penyelenggara pemilu. Caleg lebih memilih membeli suara dengan memanfaatkan relasi politiknya.
"Jangan sampai diduga ada kartel yang masuk ke penyelenggara pemilu. Perlu diusut juga caleg yang lolos tanpa pernah bersosialisasi. Jangan sampai ada permainan dengan lembaga penyelenggara pemilu. Semoga itu tak terjadi," ucap Jerry.
Ia menyarankan, agar masyarakat tidak mudah tergiur dengan iming-iming dari para celeg apapun bentuknya. Sebaliknya, masyarakat diimbau mempelajari rekam jejak, baik secara politik ataupun hukum.
Caleg baik belum tentu yang terbaik, sedangkan yang terbaik belum tentu yang paling baik. Makanya, dalam memilih 575 anggota DPR-RI, memilih figur yang layak, patut dan pantas dengan rekam jejak yang baik.