close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Ilustrasi pemilu. Alinea.id/Aisya Kurnia
icon caption
Ilustrasi pemilu. Alinea.id/Aisya Kurnia
Pemilu
Jumat, 15 September 2023 16:25

Caleg keluarga elite partai dan langgengnya politik kekerabatan

Kerabat beberapa elite partai politik akan berlaga dalam Pileg 2024.
swipe

Hasil riset bersama Indonesia Corruption Watch (ICW) dan Tempo, menemukan sekitar 150 bakal caleg dalam daftar calon sementara (DCS) anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota untuk Pemilu 2024 memiliki hubungan kekerabatan. Bahkan, ada beberapa kerabat petinggi partai politik yang mendaftar sebagai caleg.

Paling mencolok adalah keluarga Ketua Umum Partai Perindo, Hary Tanoesoedibjo, yang kompak mendaftar sebagai caleg dari partai berlambang burung garuda membentangkan sayap berwarna biru dan merah itu.

Hary menjadi caleg dari dapil Banten III. Istrinya, Liliana Tanoesoedibjo maju dari dapil Jakarta II. Anak pertamanya, Angela Tanoesoedibjo maju dari dapil Jawa Timur I. Anak keduanya, Valencia Tanoesoedibjo maju dari dapil Jakarta III. Anak ketiganya, Jessica Tanoesoedibjo maju dari dapil NTT II. Anak keempatnya, Clarissa Tanoesoedibjo maju dari dapil Jawa Barat I. Sedangkan anak bungsunya, Warren Tanoesoedibjo maju dari dapil Jawa Tengah I.

Petinggi partai politik lainnya pun tercatat maju sebagai caleg bersama beberapa anggota keluarga mereka. Misalnya, Ketua DPR sekaligus Ketua DPP PDI-P Puan Maharani maju lagi dari dapil Jawa Tengah V meliputi Boyolali, Klaten, Sukoharjo, dan Surakarta. Anak Puan, yakni Diah Pikatan Orissa Putri Hapsari juga maju dari dapil Jawa Tengah IV.

Lalu, ada putra mantan Ketua Umum Partai Golkar Agung Laksono, yakni Dave Akbarshah Fikarno Laksono atau Dave Laksono yang maju menjadi caleg DPR dari dapil Jawa Barat VIII. Anak Ketua Umum Partai NasDem Surya Paloh, yakni Prananda Surya Paloh juga tercatat sebagai caleg DPR dari dapil Sumatera Utara I.

Sementara anak Ketua Umum PAN Zulkifli Hasan atau Zulhas, yakni Putri Zulkifli Hasan pun maju sebagai caleg dari dapil Lampung I. Kemudian ada anak Ketua Majelis Penasihat PAN Hatta Rajasa, yakni M. Rasyid Rajasa maju sebagai caleg dari dapil Jawa Barat I.

Ketua Umum Partai Perindo, Hary Tanoesoedibdjo, beserta beberapa caleg Partai Perindo memberikan keterangan kepada pers usai mengajukan bakal caleg DPR untuk Pemilu 2024 di Kantor KPU, Jakarta, Minggu (14/5/2023)./Foto Instagram KPU RI/@kpu_ri

Hal yang lumrah?

Sekjen Partai Perindo Ahmad Rofiq menganggap, keluarga Hary Tanoesoedibjo yang maju sebagai caleg merupakan strategi elektoral pendulang suara. "Satu hal yang pasti bahwa keluarga ketum (Ketua Umum Partai Perindo Hary Tanoesoedibjo) nyaleg itu ya bagian dari totalitas untuk memenangkan (pemilu)," ujar Rofiq kepada Alinea.id, Selasa (12/9).

Ia tak sependapat bila keluarga Hary Tanoesoedibjo yang maju dalam pileg dianggap potret politik dinasti yang tidak sehat. “Terkait dengan itu, saya lihat semua partai juga sama saja,” tuturnya.

Sementara Dave Laksono mengatakan, sebagai anak petinggi Partai Golkar, ia tidak mendapatkan keistimewaan di partai politiknya. Ia juga harus melewati proses yang sama dengan caleg lain dari Partai Golkar. Bahkan, Dave mengaku perlu berproses kurang lebih 10 tahun untuk bisa dicalonkan menjadi anggota legislatif.

"Saya harus mengikuti sejumlah program pengkaderan sama seperti yang lain. Saya harus merangkak jabatan dari tingkat kabupaten hingga bisa mendapat posisi di tinggal nasional,” kata dia, Selasa (12/9).

“Saya tidak serta-merta langsung menduduki posisi di saat ini. Saya mulai aktif di Golkar sejak 2004, terpilih menjadi Ketua Umum AMPI (Angkatan Muda Pembaharuan Indonesia) di 2010, dan baru masuk parlemen pada 2014.”

Di DPR, Dave adalah anggota Komisi I yang membidangi urusan luar negeri, pertahanan, intelijen, dan informasi. Dave sudah menjadi anggota DPR selama dua periode, 2014-2019 dan 2019-2024. Menurut Dave, politik kekerabatan merupakan hal yang tidak bisa dihindari di era demokrasi saat ini.

“Semua orang memiliki kesempatan yang sama untuk maju,” ujarnya. “Yang memilih itu bukan dari atas, tetapi rakyat langsung.”

Dave berujar, keluarga dalam politik tak selalu negatif. Ia memberikan contoh keluarga Kennedy di Amerika Serikat, yang dianggap sebagai keluarga yang punya reputasi positif.

"Ingat, ketika JFK (John F. Kennedy) menjabat presiden AS (Amerika Serikat), adiknya (Robert F. Kennedy) menjadi jaksa agung dan anggota senat,” ucapnya.

“Profesi turun menurun dari orang tua ke anak bukan lah hal baru. Yang utama itu, bagaimana seorang pejabat publik menjalankan amanat yang telah dititipkan kepadanya.”

Lagi pula, menurut Dave, tak elok bila hak politik seseorang dari trah politikus diamputasi. Sebab, itu sama saja memberangus hak seseorang.

"Apakah seorang anak tentara atau polisi tidak boleh menjadi prajurit juga?” ujarnya.

“Sama juga untuk politisi kan? Apakah karena orang tua kami politisi, lalu dianggap tidak layak masuk dalam gelanggang politik?”

Menurutnya, yang lebih penting dicermati adalah soal kapasitas politisi dalam menyuarakan aspirasi konstituen di parlemen. Maka, dengan begitu, bisa lebih adil menilai, tanpa melihat latar belakang keluarga.

Setali tiga uang, Wakil Ketua Umum PAN Viva Yoga Mauladi tak sependapat bila beberapa kerabat dari elite PAN, seperti Putri Zulkifli Hasan dan Rasyid Rajasa, yang maju dalam pertarungan legislatif pada Pileg 2024 dianggap bentuk melanggengkan politik dinasti. Ia menganggap wajar bila anggota keluarga mengikuti jejak keluarga lainnya di ranah politik.

“Lagi pula tidak ada undang-undang yang dilanggar jika ada keluarga seorang politisi menjadi caleg,” ucap Viva, Selasa (12/9).

“Sama saja, tidak ada UU yang dilanggar jika ada keluarga guru, lalu anaknya menjadi guru. Atau keluarga artis, lalu anaknya menjadi seorang artis.”

Asalkan mengikuti mekanisme yang berlaku, kata Viva, ruang demokrasi saat ini memungkinkan figur politik yang berasal dari keluarga politikus senior bertarung lewat pemilu. Karenanya, menurut dia, kurang cocok disebut politik dinasti yang punya mekanisme turun-temurun.

"Apalagi di pemilu berdasarkan elektoral, di mana prinsip one person, one vote, maka kekuasaan yang akan direbut bukan ditentukan oleh keturunan, tetapi berdasarkan kepada suara rakyat,” kata Viva.

“Ini adalah seleksi kekuasaan berdasarkan pemilihan, bukan penunjukan.”

Selain itu, Viva menyebut, PAN sudah memiliki mekanisme kaderisasi yang mesti dilalui semua kader, jika ingin menjadi caleg. Tanpa melihat latar belakang keluarga.

“Kaderisasi di PAN ada tiga tahap, dari latihan kader amanat dasar (LKAD) di tingkat kabupaten/kota, LKAM (latihan kader amanat madya) di provinsi, dan LKAU (latihan kader amanat utama) di pusat,” ujarnya.

“Setiap pengurus partai dan caleg, wajib mengikuti kaderisasi.”

Viva juga mengatakan, PAN menjalankan meritokrasi untuk menentukan kader yang duduk di struktur partai. “Siapa pun di PAN, boleh jadi apa saja,” katanya.

Wajah buruk politik kekerabatan

Ketua Umum PAN Zulkifli Hasan menyerahkan berkas bakal caleg anggota DPR untuk Pemilu 2024 kepada Ketua KPU Hasyim Asy’ari di Kantor KPU, Jakarta, Jumat (12/5/2023). /Foto Instagram KPU RI/@kpu_ri

Peneliti senior lembaga riset Populi Center, Usep Saepul Ahyar memandang, fenomena kerabat elite partai politik menjadi caleg merupakan potret nyata politik kekerabatan yang ingin berkuasa melalui jalur demokrasi.

“Menurut saya, ini kenyataan yang sudah lama terjadi, baik di legislatif maupun eksekutif,” kata Usep, Senin (11/9).

“Coba lihat saja, dari data itu dominasi di parlemen itu orang tua. Kalau ada anak muda, itu kebanyakan anak pejabat atau elite partai.”

Fenomena politik kekerabatan, menurut Usep, memiliki akar sejarah yang panjang. Bahkan, bisa dibilang kelanjutan sistem politik klasik kerajaan di Nusantara. Dalam konteks kerajaan, katanya, politik kekerabatan diwariskan turun-temurun kepemimpinan, bukan diperebutkan.

"Bedanya sekarang diperebutkan, tapi celakanya memang ada persoalan dalam kontestasi demokrasi kita," ucap Usep.

Di samping politik kekerabatan, Usep melihat, politik konco atau perkawanan sangat kental di Indonesia. “Jangan heran, banyak politikus yang merupakan kerabat elite partai yang duduk di parlemen, tingkat pusat dan daerah,” tuturnya.

Usep memandang, biang keladi politik kekerabatan karena mekanisme seleksi kader dikuasai eliter partai politik semata. Akhirnya, tak ada ruang bagi publik untuk mencegah terjadinya politik kekerabatan.

Padahal, menurut Undang-undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik, publik berhak mengawasi kaderisasi politik. Namun, yang terjadi, keterlibatan publik hanya sebatas memilih calon yang sudah disusun partai politik saat pencoblosan.

"Jadi siapa pun yang terpilih itu sebenarnya pilihan partai," kata Usep.

Lebih lanjut, ia mengatakan, politik kekerabatan bisa memperburuk meritokrasi yang memungkinkan terbangunnya kultur profesional dan kompetisi politik. Parahnya lagi, bisa memicu korupsi. Sebab, politikus yang mengandalkan kekerabatan akan condong menggunakan politik uang agar terpilih.

"Ketika berhadapan dengan rakyat, yang ditawarkan bukan profesionalisme dan kompetensi, tapi kapital," ucap Usep.

Imbasnya, bakal terjadi korupsi sebagai upaya balik modal dari politik uang yang telah dikeluarkan, dengan cara penyalahgunaan anggaran atau bentuk praktik lancung rasuah lainnya.

Terpisah, peneliti politik Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Wasisto Raharjo Jati menilai, politik kekerabatan di sejumlah partai merupakan strategi untuk menekan biaya politik dan memperoleh suara.

“Biaya politik itu, misalnya, biaya pendidikan kader dari bawah hingga menjadi populer, serta belanja alat-alat kampanye, mulai dari baliho, temu warga, dan sebagainya,” ucap Wasisto, Senin (11/9).

“Tentu itu bisa ditekan dengan calon dari kerabat elite partai yang bisa mengandalkan popularitas kerabatnya, dan hal teknis lainnya.”

Infografis politik kekerabatan. Alinea.id/Aisya Kurnia

Wasisto menegaskan, politik kekerabatan bisa berdampak buruk bagi partai. Terlebih kaitannya dalam mencetak kader unggulan. Sebab, politik dinasti berpotensi membuat meritokrasi macet lantaran segala keputusan berpusat pada orang dekat elite partai.

“Salah satunya adalah kaderisasi dari bawah yang berpotensi macet, utamanya dalam meraih tiket nominasi kandidat calon di eksekutif dan legislatif,” kata Wasisto.

Jika ingin mencegah politik kekerabatan agar tak semakin “mewabah”, Usep berpendapat, perlu ada mekanisme regulasi untuk kaderisasi lebih terbuka kepada publik. “Harus rakyat yang mengontrol. Bahkan, rakyat harus ada (yang) mewakili, melakukan rekrutmen yang independen,” kata dia.

Selain itu, perlu pula ada aturan masa jabatan anggota DPR. Tujuannya, agar legislator berbasis kekerabatan tak terlalu lama menjabat.

“Semua jabatan publik itu dibatasi dua periode, (misalnya) presiden atau kepala desa. Sementara (anggota) DPR tidak ada pembatasan masa jabatan,” tutur Usep.

“Akhirnya, incumbent saja yang jadi. Kalau incumbent sudah bosan, anaknya yang disuruh maju.”

img
Kudus Purnomo Wahidin
Reporter
img
Fandy Hutari
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan