Caleg petahana pun ramai-ramai berguguran...
Pertarungan politik memperebutkan kursi anggota DPR RI di pentas Pileg 2024 berlangsung sengit. Hasil hitungan resmi Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI sejauh ini menunjukkan ada banyak caleg petahana berguguran. Di sejumlah daerah pemilihan (dapil), mayoritas caleg petahana bahkan tersingkir oleh para pendatang baru.
Di dapil Jambi, misalnya, terdapat 6 caleg petahana yang terancam terdepak dari Senayan, yakni Sutan Adil Hendra (Gerindra), Hasan Basri Agus (Golkar), Saniatul Lativa (Golkar), Handayani (Partai Kebangkitan Bangsa/PKB), Hasbi Anshory (NasDem), dan Ihsan Yunus (PDI-Perjuangan). Hanya A. Bakri H.M (PAN) dan Zulfikar Ahmad (Demokrat) yang sejauh ini terlihat mampu mempertahankan kursinya.
Nama-nama caleg pendatang baru yang kemungkinan bakal menggeser para petahana, semisal Cek Endra (Golkar), Edi Purwanto (PDI-P), Rocky Candra (Gerindra), Elpisina (PKB), dan Syarif Fasha (NasDem). Cek Nendra sejauh ini telah meraup 40.525 suara, diekor Syarif dengan 33.140 suara dan Rocky Candra dengan raupan 32.554 suara. Edi Purwanto meraih 32.443 suara, sedangkan Elpisina merebut 30.597 dukungan.
Fenomena serupa juga terpentas di dapil Riau I dan dapil Riau II. Pada dapil Riau I, lima dari tujuh petahana yang kembali mencalonkan diri di Pileg 2024 potensial gagal mempertahankan kursi empuk DPR RI. Petahana yang hampir dipastikan duduk kembali hanya Achmad (Demokrat) dan Rahul (Gerindra).
Petahana yang paling potensial terdepak dari Senayan ialah Andi Rachman (Golkar), Effendi Sianipar (PDI-P), dan Chairul Anwar (PKS). Dua petahana lainnya kemungkinan gagal karena partainya tak berhasil mendapatkan kursi anggota DPR tambahan berbasis model penghitungan Sainte Lague, yakni Jon Erizal (PAN) dan Syamsurizal (PPP)
Di dapil Riau II, empat dari enam caleg petahana berpotensi gagal mempertahankan kursi. Mengacu pada hasil rekapitulasi KPU per Selasa (27/2) atau berbasis 60,37% suara yang masuk, terlihat hanya Abdul Wahid dari PKB dan Syahrul Aidi dari Partai Keadilan Sejahtera (PKS) yang bakal kembali berkantor di Senayan.
Empat caleg petahana yang kemungkinan besar akan tersingkir karena kalah bersaing dengan caleg pendatang baru ialah Marsiaman Saragih (PDI P), Idris Laena (Golkar), dan Nurzahedy alias Eddy Tanjung (Gerindra). M Nasir, caleg petahana dari Demokrat, kemungkinan gagal lantaran parpolnya tak mendapatkan kursi.
Di dapil Jawa Barat VII yang meliputi Bekasi, Karawanng dan Purwakarta, pertarungan antara petahana dan pendatang baru pun berlangsung sengit. Tiga petahana, yakni Dadang Muchtar (Golkar), Daeng Muhammad (PAN) dan Vera Febyanthy (Demokrat) hampir pasti terdepak. Mereka kalah bersaing dengan rekan sesama partai atau disingkirkan caleg dari partai lain.
Merujuk pada rekapitulasi KPU pada Kamis (22/2), Dadang hanya meraup 13.684 suara, sedangkan Daeng meraup 11.463 suara. Vera meraup 13.662 suara. Ketiganya disalip oleh rekan separtai. Dadang, misalnya, disalip Puteri Komarudin yang merebut 41.566 dukungan suara. Supaya keduanya bisa sama-sama ngantor di Senayan, Golkar harus memperoleh 2 kursi DPR RI dari dapil tersebut.
Serupa, Daeng Muhammad dipecundangi oleh caleg PAN dari kalangan pesohor Verrell Bramasta. Verrel sudah mendapatkan 20.906 suara. Di Demokrat, Vera dipecundangi caleg pendatang baru Cellica Nurrachadiana. Cellica sudah meraih 20.447 dukungan suara.
Analis politik dari Universitas Jember, Muhammad Iqbal merinci sejumlah faktor yang menyebabkan caleg petahana ramai-ramai berguguran. Pertama, para petahana gagal beradaptasi dengan perkembangan dunia digital dan masih mengandalkan model kampanye lawas.
Peranti media digital, menurut Iqbal, turut meningkatkan keterpilihan kontestan di pemilu. Caleg dan parpol yang terlambat beradaptasi kemungkinan bisa tersingkir dan gagal lolos ke Senayan. Apalagi, mayoritas pemilih ialah kalangan milenial dan gen Z yang doyan bermedia sosial.
"Terjadi juga peningkatan volatilitas atau semakin berubah-ubahnya perilaku pemilih akibat derasnya arus informasi di lini masa digital. Ini juga turut berpengaruh pada seberapa berdaya kandidat memenangi kontestasi. Pada konteks itulah kandidat petahana yang tidak mampu beradaptasi merebut hati pemilih akan gagal melenggang ke Senayan," kata Iqbal kepada Alinea.id di Jakarta, belum lama ini.
Faktor popularitas, kredibilitas, kepercayaan, legitimasi, dan prestasi caleg, menurut Iqbal, juga turut yang diperhitungkan pemilih. Jika ingin kembali lolos ke Senayan, caleg petahana harus mampu merawat dan meningkatkan modal sosial dan modal politik yang mereka punyai.
Di luar itu, Iqbal tak menampik politik uang juga kerap masih menjadi faktor penentu kemenangan caleg di banyak dapil. "Semakin mapan partai dengan daya logistik kapital yang besar, maka semakin terbuka peluang caleg untuk meraih kursi di parlemen," kata Iqbal.
Namun demikian, Iqbal berpendapat modal politik dan logistik belum jadi jaminan menang. Jika tidak ingin terjungkal, caleg perlu terus membangun modal sosialnya. Ia mencontohkan pertarungan antara para caleg di dapil Jabar VII.
"Sejumlah petahana DPR RI terancam gagal ke Senayan karena kalah suara dari caleg baru yang sukses merawat modal sosialnya. Mantan Bupati (Purwakarta) Dedi Mulyadi (yang sekarang jadi) caleg Gerindra bisa mengancam posisi kursi petahana Putih Sari," kata Iqbal.
Terakhir, popularitas caleg di layar kaca. Ia mencontohkan Verell yang mampu menyalip raihan suara pesaingnya di PAN. "Bisa jadi karena faktor daya pikat kampanye Verrell yang lebih menarik hati pemilih muda," kata Iqbal.
Politik uang dominan
Analis politik dari Universitas Mulawarman, Budiman sepakat ada banyak faktor yang bisa menyebabkan para petahana berguguran di dapil. Namun, ia berpandangan kalah bersaing dalam politik uang masih menjadi faktor dominan penyebab caleg petahana terjungkal.
"Apalagi kalau kinerja caleg petahana itu sudah tidak bagus dan ditambah secara dana kalah. Pasti dia akan ditinggalkan," ucap Budiman kepada Alinea.id.
Meskipun sukses membawa banyak program prorakyat ke dapilnya, menurut Budiman, para caleg petahana bisa kalah hanya karena lalai menjaga pemilih menit-menit akhir menjelang pencoblosan. Walhasil, kerja keras mereka selama lima tahun merawat basis pemilih menjadi sia-sia.
"Jadi, pileg tahun ini kalau tidak ditunjang dana yang kurang maka akan ditinggal. Sekarang betul- betul pemilih sangat permisif dengan politik uang. Bayangkan, dalam satu keluarga, ada empat pemilih, satu amplop Rp100 ribu," kata Budiman.
Kepada Alinea.id, analis politik dari Universitas Padjadjaran (Unpad) Kunto Adi Wibowo menyebut setidaknya ada dua faktor yang menyebabkan para caleg petahana DPR RI berguguran meskipun tak dipindah dapilnya oleh partai.
Pertama, caleg petahana "dihukum" oleh rakyat karena dianggap tidak becus menjalankan tugasnya sebagai wakil rakyat. Kedua, kalah bersaing dalam politik uang.
"Karena konstituennya (petahana) enggak loyal. Selain itu, karena dirawat dengan money politic, ya, pasti akan lepas juga karena politik uang. Akhirnya, siapa yang (menang) adalah yang bisa beli lebih mahal suara pemilih karena pemilih kita lebih oportunis," kata Kunto.