Perubahan debat antarwapres: Patut diduga KPU tunduk pada intervensi!
Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI memutuskan untuk mengubat format debat cawapres pada Pemilihan Presiden 2024 yang berbeda dengan Pilpres 2019. Lima kali debat Pilpres 2024 terdiri atas tiga kali debat antarcapres dan dua kali antarcawapres, semuanya akan dihadiri secara bersamaan oleh pasangan capres-cawapres. Tidak ada putaran debat secara terpisah yang khusus hanya dihadiri capres atau cawapres seperti pada Pilpres 2019.
Dalam lima kali debat itu pasangan capres-cawapres selalu hadir bersamaan, hanya porsi berbicara yang dibedakan, tergantung sesi debat pilpres yang sedang berlangsung, apakah debat capres atau debat cawapres.
Pada acara debat Pilpres 2019, debat diawali dengan sesi pasangan capres lengkap. lalu pada tiga sesi berikutnya debat capres hanya dihadiri oleh capres dan sesi debat cawapres hanya dihadiri cawapres. Pada sesi pamungkas, debat pilpres diikuti pasangan capres-cawapres.
Namun, terjadi perubahan pada Format Debat Pilpres 2024 yang dinilai merupakan kemunduran. Pasalnya, dari sisi hak konstitusional warga negara, publik dirugikan karena mereka tidak diberikan ruang untuk mendapatkan referensi yang memadai tentang figur kepemimpinan otentik pada masing-masing kandidat pemimpin, baik capres maupun cawapres, sebelum rakyat menentukan pilihannya di bilik suara pada 14 Februari 2024.
Menurut Direktur Eksekutif Setara Institute Halili Hasan, ada dampak yang lebih serius dari adanya perubahan format debat antarcawapres. Di mana, semakin menebalkan kecurigaan publik bahwa patut diduga KPU tunduk pada intervensi kekuatan politik eksternal mereka. Kecurigaan demikian rasional, sebab keputusan KPU hadir di tengah beberapa konteks yang sangat kasat mata.
Pertama, Putusan MK 90/2023 yang memberikan jalan bagi anak presiden sekaligus keponakan Ketua MK saat itu, Gibran Rakabuming Raka, untuk melenggang sebagai calon wakil presiden bagi Calon Presiden Prabowo Subianto. Di mana secara substantif maupun prosedural, putusan tersebut bermasalah dan dalam berbagai pernyataan publik, Setara Institute menyebutnya sebagai kejahatan konstitusional (constitutional evil).
Kedua, putusan MKMK yang pada pokoknya menegaskan bahwa secara kelembagaan MK “terbukti dengan sengaja membuka ruang intervensi pihak luar dalam proses pengambilan Putusan Nomor 90/PUU-XXI/2023”, melalui Ketua MK yang sudah diberhentikan, yaitu Anwar Usman, ipar Presiden sekaligus paman Cawapres Gibran.
Ketiga, pernyataan publik Ketua KPK periode 2015-2019 Agus Rahardjo, bahwa saat KPK mengungkap kasus korupsi E-KTP dan menetapkan Ketua DPR RI saat itu, Setya Novanto, sebagai tersangka, Presiden Jokowi marah dan meminta KPK untuk menghentikan pengungkapan kasus korupsi E-KTP. KPK dalam kenyataannya menolak permintaan presiden. Di mana, pernyataan Agus dibenarkan Wakil Ketua KPK saat itu, Alexander Marwata.
"Konteks tersebut tentu menguatkan kecurigaan publik bahwa terdapat kekuatan politik yang lebih besar. KPU seharusnya menimbang sentimen publik terkait kepercayaan mereka pada penyelenggaraan pemilu sebagai ‘pertaruhan terakhir’ kelembagaan demokrasi, yang semakin surut (regressive) dan mengarah pada otoriterisme (leading to authoritarianism)," kata dia, Minggu (3/12)
Namun dengan keputusan mengenai format debat Pilpres 2024, KPU telah menebalkan kecurigaan publik mengenai intervensi kekuasaan eksternal atas KPU. Sikap publik yang mencurigai keputusan KPU menguntungkan salah satu cawapres, yang gagasan dan kepemimpinan otentiknya sedang dinanti publik dalam Debat Pilpres 2024, merupakan kecurigaan yang masuk akal. Dalam konteks itu, KPU telah mempertaruhkan kredibilitas penyelenggaraan pemilu sebagai salah satu pilar utama demokrasi.
Jika memang dugaan intervensi itu ada, hal itu bisa saja terjadi akibat 'tersanderanya' KPU saat proses politik pemilihan komisioner. Di mana, hal itu melibatkan kekuatan politik besar sehingga komisioner mesti berhitung pada kalkukasi politik ketika berintegrasi dengan kekuatan saat terpilih.
"Tetapi ini baru dugaan. Saya berharap tidak ada. Makanya, ke depan kita mesti memikirkan ulang proses pemilihan pejabat negara," harap dia.
Wakil Ketua Bidang Advokasi dan Jaringan YLBHI Arif Maulana menambahkan hal lain yang juga berpotensi menjadi satu rangkaian dari kebijakan atau peristiwa yang menguntungkan pasangan calon presiden dan wakil presiden tertentu. Yaitu, keluarnya Peraturan Pemerintah Nomor 53 Tahun 2023 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 2018 tentang Tata Cara Pengunduran Diri dalam Pencalonan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Anggota Dewan Perwakilan Daerah, Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, Presiden, dan Wakil Presiden, Permintaan Izin dalam Pencalonan Presiden dan Wakil Presiden, serta Cuti dalam Pelaksanaan Kampanye Pemilihan Umum.
"PP Nomor 53 Tahun 2023 membuat menteri dan wali kota tidak perlu mundur saat maju berkontestasi dalam Pilpres 2024. Padahal, itu berpotensi menyebabkan terjadinya penyalahgunaan kewenangan dan penggunaan fasilitas negara untuk aktivitas pemilu pejabat negara yang ikut berkontestasi," kata Arif Maulana saat dihubungi Alinea.id, Minggu (3/12).
Hal itu seharusnya menjadi perhatian penyelenggara pemilu. Pasalnya, kebijakan yang menguntungkan bagi pasangan calon tertentu sebenarnya tidak sehat bagi demokrasi Indonesia. Oleh karena itu, dia berharap agar penyelenggara pemilu harus adil. Tidak boleh membuat aturan yang menguntungkan salah satu pasangan calon. Kalau itu yang terjadi, maka ini jelas semacam kecurangan yang diformalkan, dan itu tidak boleh dilakukan.
"Kalau itu benar dan berdampak pada mengutungkan kelompok tertentu. Jelas ini kemunduran demokasi. Mestinya KPU enggak boleh begitu. Praktik menguntungkan calon tertentu harus dihentikan karena menghina demokasi," ucap dia.
Sementara peneliti Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO) Universitas Andalas Feri Amsari menyebutkan, penjelasan Pasal 277 ayat (1) UU Pemilu menerangkan, debat pasangan calon dilaksanakan selama lima kali, dengan rincian tiga kali untuk calon presiden dan dua kali untuk calon wakil presiden. Maka, debat untuk calon wakil presiden dan itu tanpa dihadiri oleh calon presiden. Jadi tidak boleh kemudian KPU merekayasa dan membuat-buat aturan main, yang diduga hanya untuk kepentingan dari calon wakil presiden tertentu yang tidak memiliki kepampuan berdebat.
"Saya tidak tahu persis ada intervensi atau tidak. Tentu perlu ada pembuktian tahap lanjut. Tetapi, hal-hal seperti ini melanggar undang-undang dan pasti ada yang berupaya melakukan intervensi-intervensi tertentu," duga dia.