Wakil Ketua DPR RI, Fahri Hamzah, mengatakan kebijakan pengangkatan pegawai honorer menjadi pegawai setara PNS merupakan manuver politik Presiden Joko Widodo menjelang kampanye Pilpres 2019. Menurut Fahri, kebijakan tersebut sangat politis.
“Kebijakan pengangkatan pegawai honorer dimanfaatkan oleh Jokowi untuk ajang Pemilu 2019 mendatang. Ya memang karena mau Pemilu itu,” kata Fahri Hamzah di Gedung DPR RI, Senanyan, Jakarta pada Senin, (3/12).
Fahri mengatakan, seharusnya Jokowi tidak memanfaatkan kebijakan tersebut di tengah momentum menjelang perhelatan Pemilu. Kebijakan tersebut, menurut Fahri, seharusnya dikeluarkan jauh sebelum masa kampanye Pemilu.
Selain persoalan waktu, Fahri menilai, tak adanya jaminan pensiun bagi para pegawai honorer yang diangkat PNS juga menjadi hal yang patut dikritik. Pasalnya, jaminan pensiun merupakan suatu hal yang penting bagi para peggawai honorer setelah berhenti bekerja.
“Jadi, jangan tambal sulam. Ini kan tambal sulam, karena tidak menjamin pension. Ini akan jadi problem lagi,” ucap Fahri.
Kebijakan pengangkatan pegawai honorer diperuntukkan bagi pegawai negeri sipil (PNS) yang sudah melampaui batas usia. Kebijakan ini dikeluarkan sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 49 Tahun 2018 tentang Manajemen Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK).
Melalui aturan tersebut, membuka peluang seleksi dan pengangkatan bagi tenaga honorer yang telah melampaui batas usia pelamar pegawai negeri sipil (PNS). Para tenaga honorer yang ingin diangkat menjadi PPPK nantinya akan mengikuti proses seleksi sesuai sistem merit. Seleksi berbasis merit adalah prasyarat dasar dalam rekrutmen ASN.
“Ini sama dengan seleksi di TNI dan Polri yang semuanya sudah berbasis pada seleksi yang profesional," kata Kepala Staf Kepresidenan, Moeldoko.
Menurut Moeldoko, pemerintah menyadari bahwa saat ini masih terdapat tenaga honorer yang bekerja tanpa status, hak dan perlindungan yang jelas. Oleh karena itu, aturan PPPK ini dikeluarkan oleh pemerintah karena dinilai sangat diperlukan.