Format debat Pilpres 2024 yang disusun Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI dianggap belum ideal untuk merangsang adu gagasan yang tajam antara kandidat. Direktur Eksekutif Democracy and Electoral Empowerment Partnership (DEEP) Indonesia, Neni Nur Hayati memandang perlu ada perubahan teknis dan mekanisme untuk debat-debat selanjutnya.
Neni menilai debat perdana kurang memuaskan bagi calon pemilih. Dalam debat itu, menurut dia, para kandidat--Prabowo Subianto, Ganjar Pranowo, dan Anies Baswedan--relatif hanya menyampaikan abstraksi program-program kerja mereka jika memenangi kontestasi elektoral nantinya.
"Hal ini terjadi karena mungkin dipengaruhi faktor keterbatasan waktu yang sangat singkat dalam menjawab pertanyaan sehingga sifat debatnya juga monolog. Padahal, kalau disiapkan dengan baik, debat ini bisa memberikan insentif elektoral karena undecided voters di Pemilu 2024 masih cukup tinggi," kata Neni kepada Alinea.id, Rabu (13/12).
Berbasis penyelenggaraan debat kemarin, menurut Neni, ada sejumlah catatan yang harus diperhatikan KPU. Pertama, sesi tanya jawab antar kandidat yang sangat minim. Kedua, waktu saling sanggah antara kandidat yang sangat terbatas.
"Debat berikutnya KPU perlu mengumumkan minimal H-6 nama-nama panelis itu sehingga bisa dicek rekam jejaknya, termasuk juga moderator. Format debat berikutnya diharapkan lebih bisa mengelaborasi permasalahan dan program kerja yang konkret untuk ditawarkan sebagai solusi," kata dia.
Ketiga, terkait kehadiran pendukung paslon. Menurut dia, banyak pendukung dan penonton debat yang terlihat tidak tertib selama debat berlangsung. Ia berharap KPU mengurangi jumlah pendukung paslon yang hadir di debat dan menyiapkan hukuman tegas bagi pendukung yang melanggar aturan.
"Ke depan, aturan harus diperketat. Jika perlu, ada running text untuk mengingatkan agar para pendukungnya tidak terbawa emosi dan bisa menahan diri untuk right on the track. Bawaslu juga bisa memberikan imbauan, semisal jika pendukung tidak tertib, maka justru paslon yang akan mendapat sanksi," ucap Neni.
Neni juga menyoroti format debat yang memposisikan ketiga kandidat capres berdiri secara sejajar. Menurut dia, posisi para kandidat saat adu gagasan kurang sedap dipandang. Ia menyarankan KPU menyediakan podium untuk masing-masing kandidat. "Semalam, posisinya tidak beraturan," ucap Neni.
Neni juga menyoroti komposisi kehadiran tamu di sesi debat pertama. Menurut dia, banyak praktisi dan aktivis organisasi sosial dan lembaga swadaya masyarakat (LSM) terkait kepemiluan yang sama sekali tidak diundang jadi audiens debat.
"Semestinya kehadiran civil society diperlukan, apalagi NGO dan LSM yang fokus mengawal isu pemilu. Harusnya pendukung calon yang dibatasi untuk datang agar tidak mengaburkan substansi debat dan membuat suasana gaduh," ucap Neni.
Debat perdana digelar di halaman depan Gedung Komisi Pemilihan Umum (KPU), Jakarta Pusat, Selasa (12/12), debat menghadirkan calon presiden (capres) nomor urut 1 Anies Baswedan, jagoan koalisi Indonesia Maju (KIM) Prabowo Subianto, dan capres PDI-Perjuangan Ganjar Pranowo.
Debat itu mengambil topik pemerintahan, hukum, hak asasi manusia, pemberantasan korupsi, penguatan demokrasi, penanganan disinformasi, peningkatan layanan publik, serta kerukunan warga. Pertanyaan-pertanyaan dalam debat disusun oleh 11 panelis dari kalangan akademikus yang ditunjuk KPU.
Segendang sepenarian, peneliti Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Nurul Amalia Salabi memandang format debat perdana yang dirancang KPU tak ideal untuk merangsang adu gagasan yang tajam antara para kandidat.
Secara khusus, Nurul menyoroti kehadiran panelis di panggung debat yang hanya diberi tugas mengambil nomor tema khusus dan membacakan pertanyaan. Menurut dia, panelis juga seharusnya diberikan hak untuk menindaklanjuti jawaban-jawaban kandidat.
"Jadi, panelis tidak perlu mengambil (nomor) dari fish bowl. Jadi, pertanyaaan bisa ditentukan oleh panelis itu yang betul-betul urgen untuk bisa didalami kepada kandidat," ucap Nurul kepada Alinea.id, Rabu (13/12).
Nurul sepakat kehadiran pendukung yang terlalu banyak di arena debat justru kontraproduktif. Ia berharap KPU membatasi jumlah pendukung yang diundang sebagai audiens. "Agar lebih kondusif dan kandidat bisa fokus menjelaskan poin-poinnya," ucap Nurul.
Meski banjir kritik, Ketua KPU Hasyim Asy'ari mengatakan format debat selanjutnya tidak akan diubah. “Enggak (berubah). Kan sudah disepakati sejak awal formatnya seperti ini,” kata Hasyim kepada wartawan di Jakarta.