close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Petugas melakukan pengecekan kualitas surat suara Pilpres 2019 saat pencetakan surat suara di Jakarta, Minggu (20/1/2019). Komisi Pemilihan Umum (KPU) resmi memproduksi surat suara Pilpres untuk kebutuhan Pemilu 2019, sebanyak 187.975.930 lembar surat sua
icon caption
Petugas melakukan pengecekan kualitas surat suara Pilpres 2019 saat pencetakan surat suara di Jakarta, Minggu (20/1/2019). Komisi Pemilihan Umum (KPU) resmi memproduksi surat suara Pilpres untuk kebutuhan Pemilu 2019, sebanyak 187.975.930 lembar surat sua
Pemilu
Rabu, 23 Januari 2019 14:29

Golput bentuk ekspresi, pemilihnya tak bisa dipidanakan

Masyarakat merasa kecewa atas kinerja petahana juga para kandidat yang maju. Karena itu masyarakat memilih golput.
swipe

Koordinator Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), Yati Andriyani, mengatakan fenomena golongan putih atau golput yang kini marak pada saat pencoblosan merupakan bentuk ekspresi politik. Masyarakat merasa kecewa atas para calon pemimpin yang maju, baik dalam lingkup pilkada maupun pilpres.

“Fenomena golput ini ekspresi politik. Kalau kita bilang ini ekspresi politik, maka ini merupakan hak warga negara. Golput itu ekpresi politik yang sangat visioner, karena ia berangkat dari kekecewaan,” kata Yati dalam sebuah diskusi di Jakarta pada Rabu, (23/1).

Yati mengimbau kepada seluruh kandidat yang bakal berlaga di Pemilu 2019 agar tak meremehkan ekspresi golput. Apalagi hal tersebut telah terbukti pada pemilihan kepala daerah secara serentak pada tahun lalu. 

Di Kota Makassar, Sulawesi Selatan, misalnya, kotak kosong menang atas pasangan calon tunggal Munafri Arifuddin-Rachmatika Dewi (Appi-Cicu). Berdasarkan catatan KPU Makassar, pasangan Appi-Cicu memperoleh 264.245 suara atau  47%. Sedangkan kotak kosong meraup 300.795 suara atau 53%.

“Karena itu, jangan dianggap enteng atau remeh golput itu. Ini seharusnya dijadikan semacam pengingat atau alarm bagi para kandidat, bahwa ada kekecewaan, ketidakpuasan, kemarahan di masyarakat. Baik dari kinerja petahana, atau dari rekam jejak masing-masing kandidat,” kata Yati.

Sementara itu, Koordinator Koalisi Masyarakat Sipil untuk Hak Sipil, Arip Yogiawan, mengatakan kelompok golput muncul karena sejumlah kekecewaan yang muncul dari kedua paslon. Juga termasuk situasi politik saat ini. 

“Kelompok ini muncul karena berbagai alasan. Seperti tidak ada satupun dari capres-cawapres dan koalisinya yang bersih dari isu korupsi, perampas ruang hidup rakyat, tersangkut kasus hak asasi manusia, maupun aktor intoleransi dan diskriminasi terhadap kelompok minoritas,” kata Arip.

Menurut Arip, kelompok yang memilih golput tidak bisa dipidanakan. Jika ada yang menyebut golput bisa dijerat Pasal 515 Undang-undang Pemilu tak bisa lantas dibenarkan. Aturan tersebut, kata Arip, hanya berlaku pada orang yang mengkampanyekan dengan mengajak orang lain untuk tidak memilih pada saat hari pencoblosan. 

“Memperhatikan unsur Pasal 515, 'dengan sengaja pada saat pemungutan suara menjanjikan atau memberi uang atau materi lainnya kepada pemilih', maka pihak yang bisa dipidanakan hanya orang yang  terbukti menggerakkan pihak lain untuk golput pada hari pemilihan,” ujar Arip. 

Selain KontraS, sejumlah lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang turut menyetujui bahwa golput tidak bisa dipidana antara lain ICJR, LBH Jakarta, LBH Masyarakat, Lokataru, PBHI dan YLBHI. 

img
Rakhmad Hidayatulloh Permana
Reporter
img
Tito Dirhantoro
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan