Komisi II DPR RI diminta mengevaluasi lembaga penyelenggara pemilu jelang Pilkada Serentak 2024. Bakal digelar di 37 provinsi, 415 kabupaten, dan 93 kota, pilkada serentak potensial menghadirkan beragam praktik kecurangan dan pelanggaran yang jauh lebih masif ketimbang Pileg 2024 dan Pilpres 2024.
Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Khoirunnisa Nur Agustyati berpendapat evaluasi total terhadap Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI perlu dilakukan lantaran petinggi KPU, khususnya Ketua KPU Hasyim Asyari, sudah berulang kali mendapatkan sanksi etik dari Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP)
"Soal pelanggaran etik ini memang menjadi catatan buruk dalam penyelenggaraan pemilu kali ini karena bukan hanya terjadi sekali, tapi sudah berkali-kali. Wajar jika publik mempertanyakan atau memiliki ketidakpercayaan kepada penyelenggara pemilu," ucap Nisa, sapaan akrab Khoirunnisa, kepada Alinea.id, Jumat (5/4).
Februari lalu, DKPP mengeluarkan putusan yang menyatakan bahwa Hasyim dan kawan-kawan terbukti melanggar etik karena menerima pencalonan Gibran Rakabuming Raka sebagai pendamping Prabowo Subianto di Pilpres 2024.
Pasangan Prabowo-Gibran diterima KPU pendaftarannya sebelum KPU mengeluarkan revisi PKPU yang mengatur syarat calon presiden dan wakil presiden pasca terbitnya putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No. 90/PUU-XXI/2023. Revisi tak dilakukan KPU karena ketika itu DPR sedang reses.
Selama menjabat sebagai Ketua KPU, Hasyim setidaknya sudah empat kali terkena sanksi dari DKPP, mulai dari kasus pertemuan dengan Ketua Umum Partai Republik Satu Hasnaeni atau biasa dikenal dengan wanita emas hingga polemik pembuatan Peraturan KPU Nomor 10 Tahun 2023 Pasal 8 ayat 2 yang mengatur keterwakilan 30% bakal calon perempuan.
Nisa khawatir Pilkada Serentak 2024 akan bernasib serupa seperti Pilpres 2024 yang penuh dugaan kecurangan dan cawe-cawe Istana. Terlebih, Badan Pengawasan Pemilu (Bawaslu) juga terkesan tak bertaji dalam mengawasi tindak-tanduk penyelenggara pemilu dan para peserta Pemilu 2024.
"Sehingga untuk pilkada nanti, perlu ada evaluasi total terhadap penyelenggaraan dan juga penyelenggara pemilu. Supaya tidak ada tendensi atau kecurigaan, maka yang diperlukan adalah kerja-kerja transparan dari penyelenggara pemilu," ucap Nisa.
Direktur Eksekutif Democracy and Electoral Empowerment Partnership (DEEP) Indonesia, Neni Nur Hayati sepakat DPR perlu turun tangan mengevaluasi penyelenggara pemilu. Ia berpendapat KPU turut membuat gelaran Pemilu 2024 karut marut.
"Saya kira Komisi II perlu melakukan evaluasi secara menyeluruh kepada semua penyelenggara pemilu, termasuk ad-hoc dan proses penyelenggaraan pemilu 2024 yang karut marut," ucap Neni kepada Alinea.id, Jumat (5/4).
Menurut Neni, Hasyim dan jajaran komisioner lainnya sebaiknya mengundurkan diri jelang Pilkada Serentak 2024. Ia berpendapat penyelanggara pemilu yang sudah terbukti berulang kali melakukan pelanggaran etik tidak sepatutnya dipertahankan.
"Karena bisa merusak integritas dan mendelegitimasi hasil pemilu yang dilakukan. Pemilihan (Kepala Daerah) Serentak 2024 perlu ada perbaikan, baik itu sisi teknis ataupun substansi," imbuh Neni.
Ia juga berharap Bawaslu progresif dalam menindak pelanggaran yang dilakukan peserta dan penyelenggara pemilu pada Pilkada 2024. Seiring itu, DKPP juga mesti lebih tegas mengeluarkan putusan terkait pelanggaran-pelanggaran yang mungkin dilakukan KPU.
"Potensi kecurangan yang akan dilakukan di Pilkada 2024 bisa lebih masif karena pemilihan serentak yang banyak. Bisa jadi lemah kontrol. Putusan yang tidak progresif DKPP justru akan semakin menambah banyak permasalahan baru dan penyelenggara bisa seenaknya melakukan pelanggaran etik," ucap Neni.