close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Presiden Joko Widodo menghadiri peringatan HUT ke-48 Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) secara virtual dari Istana Kepresidenan Bogor, Jawa Barat, pada Minggu, 10 Januari 2021. Foto: Setneg.go.id
icon caption
Presiden Joko Widodo menghadiri peringatan HUT ke-48 Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) secara virtual dari Istana Kepresidenan Bogor, Jawa Barat, pada Minggu, 10 Januari 2021. Foto: Setneg.go.id
Pemilu
Selasa, 31 Oktober 2023 12:34

Alasan Jokowi jika pecah kongsi dengan PDI-P

Ada beberapa alasan yang dinilai sejumlah pengamat membuat Presiden Jokowi berani mengambil sikap itu. 
swipe

PDI-Perjuangan (PDIP) mengeluarkan pernyataan resmi mengenai posisi Presiden Joko Widodo (Jokowi) pada Pemilu 2024. Dalam pernyataannya tersebut, PDIP menilai Presiden Jokowi sudah meninggalkan partai yang telah membesarkannya.

Kebersamaan Jokowi dengan PDIP sebenarnya telah berlangsung cukup panjang. Dimulai pada 2004. Saat itu, dia diserahkan amanah menjadi pengurus di DPC PDIP Solo. Setahun berselang, Jokowi maju sebagai calon Wali Kota Solo dan terpilih. Pada 2010, Jokowi kembali mencalonkan diri dan menang dengan memperoleh 90,09% suara.

Kesuksesannya di Pilkada Solo menjadi modal penting Jokowi untuk mengikuti kontestasi Pilgub DKI Jakarta pada periode 2012-2017. Dan, berhasil menang. Belum habis masa jabatan di DKI Jakarta, pada 2014, Jokowi mencalonkan diri sebagai presiden. Dan melanjutkan masa jabatannya pada periode 2019.

"Seluruh simpatisan, anggota dan kader partai sepertinya belum selesai rasa lelahnya setelah berturut-turut bekerja dari lima pilkada dan dua pilpres. Itu wujud rasa sayang kami," kata Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto, dalam keterangan resmi yang diterima Alinea.id, Minggu (29/10).

Padahal, PDIP begitu mencintai dan memberikan privilege yang begitu besar kepada Presiden Jokowi dan keluarga. Namun, PDIP ditinggalkan karena masih ada permintaan lain yang berpotensi melanggar pranata kebaikan dan konstitusi.

Sejauh ini, belum ada respons langsung dari Presiden Jokowi mengenai pernyataan Sekjen PDI-P. Tetapi, jika hal itu benar dilakukan Presiden Jokowi, ada beberapa alasan yang dinilai sejumlah pengamat membuat Presiden Jokowi berani mengambil sikap itu. 

Pertama adalah tingginya pamor Jokowi. Hal itu setidaknya terkonfirmasi dari hasil riset Indikator Politik Indonesia yang dirilis pada 26 Oktober 2023. Jokowi menjadi alasan responden memilih PDIP (23,9%). Jadi, jika Jokowi benar-benar meninggalkan PDIP, maka perolehan suara PDIP berpotensi anjlok.

Kedua, Presiden Jokowi ingin menciptakan legacy. Pendiri LSI Denny JA, Denny Januar Ali, mengatakan, impian tertinggi seorang pemimpin adalah menciptakan legacy. Meninggalkan warisan, berupa karya atau gagasan atau kebijakan, yang ikut mengubah masyarakatnya, menuju kebaikan, menuju kesejahteraan.

"Mengapa dalam Pilpres 2024 kali ini, Jokowi terbaca oleh publik lebih mendukung Prabowo ketimbang mendukung capres dari partainya sendiri: Ganjar? Ini kemudian ditafsir oleh Hasto sebagai Jokowi meninggalkan PDIP," jelas dia dalam sebuah keterangan pers, Selasa (31/10).

Presiden Jokowi sudah beberapa kali menyatakan impiannya, yakni ingin menuntaskan ibu kota pindah ke Kalimantan dan hilirisasi. Masalahnya, ketika kekuasaan Jokowi selesai di 2024, baik IKN ataupun hilirisasi baru memasuki tahap awal. Maka, presiden selanjutnya sangat menentukan apakah dua program besar Jokowi itu, bakal layu atau mekar.

Jokowi sendiri telah memiliki kriteria sendiri soal presiden berikutnya yang bisa meneruskan legacy-nya. Di mana, bacapres itu, tentu tidak hanya berkomitmen dengan program itu. Tetapi juga mempunyai karakter personal yang dianggap sebagi kunci.

"Ini yang acapkali Jokowi katakan: “Kita rakyat Indonesia butuh pemimpin yang tepat. Kita perlu pemimpin yang benar. Dan pemberani, yang berani, pemberani demi rakyat.” tutur Denny JA.

Keempat, Jokowi beranggapan karier politiknya di PDIP sudah mentok. Hal ini berdasarkan pada hanya 'anak biologis' dari Bung Karno saja yang dapat menjadi Ketua Umum PDI-P. Sementara untuk jabatan struktural kenegaraan, Jokowi sudah berada pada posisi paling tinggi.

"Presiden Jokowi sudah dua kali menjabat sebagai wali kota, satu kali gubernur, dan dua kali presiden," kata pengamat politik dari UI Cecep Hidayat saat dihubungi Alinea.id, Selasa (31/10).

Kelima, terganggunya relasi dengan Megawati. Menurut Cecep, ini terjadi karena adanya hal prinsip yang dinilai melecehkan Presiden Jokowi sebagai kepala negara. Misalnya, ketika Megawati berulang kali menyampaikan, kalau Jokowi hanyalah petugas partai. Atau ketika tersebarnya foto Presiden Jokowi yang duduk di depan Megawati di Sekolah Partai dengan gestur sedang 'dimarahi'.

Keenam, ada kepentingan yang tidak terakomodasi. Presiden Jokowi, kata Cecep, sedang mencari akomodasi agar kepentingannya 'melanjutkan' kekuasaan bisa terjaga. Dan hal itu hanya bisa dilakukan oleh orang yang dipercaya, yakni keluarganya.  

"Perlu ada keberlanjutan prgram-progam dia. Dan itu tidak bisa digaransi oleh orang lain, hanya keluarga yang berani menggaransi," kata Cecep.

Namun demikian, Cecep berharap agar Presiden Jokowi bersikap negarawan. Dengan tidak mengeluarkan pernyataan resmi soal keluar dari PDIP. Jika itu dilakukan, maka akan menghilangkan kesan netralitas yang selama ini didengung-dengungkan sendiri oleh Presiden Jokowi.

 

img
Hermansah
Reporter
img
Hermansah
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Berita Terkait

Bagikan :
×
cari
bagikan