Partai Persatuan Pembangunan (PPP) benar-benar menghadapi guncangan besar usai ketua umum mereka, Romahurmuziy, beberapa waktu lalu ditetapkan sebagai tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) atas kasus suap jual beli jabatan di lingkungan Kementerian Agama (Kemenag).
Partai berlambang Kakbah itu, kini memiliki ketua umum baru, yakni Suharso Monoarfa, untuk bertarung di ajang Pemilu 2019. Sebuah misi yang berat untuk meraih kembali kepercayaan publik.
Kondisi terbalik dialami pada Pemilu 1977. Saat itu, PPP menjadi ancaman serius bagi Golongan Karya (Golkar). Di Pemilu 1977, PPP merupakan hasil fusi partai-partai bercorak Islam peserta Pemilu 1971, seperti Nahdlatul Ulama (NU), Persaudaraan Muslimin Indonesia (Parmusi), Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII), dan Persatuan Tarbiyah Islamiyah (Perti).
Kematian yang janggal
Partai politik yang berdiri pada 5 Januari 1973 ini, dalam pemilu kedua di masa Orde Baru, mendapatkan aneka intimidasi. Dua hari setelah penghitungan suara Pemilu 1977, surat kabar Merdeka edisi 4 Mei 1977 melaporkan keunggulan PPP di wilayah DKI Jakarta. Namun, pada halaman surat kabar yang sama, PPP pun mengadakan aksi simbolis pemasangan bendera setengah tiang untuk Haji Angin Bugis.
Angin Bugis adalah Sekretaris Dewan PPP Sumatera Utara. Sebelum meninggal dunia, ia disebut-sebut sebagai dalang kasus pemalsuan surat suara.
Angin Bugis ditahan Kejaksaan Tinggi Medan sejak 20 April 1977. Pada awal Mei 1977, ia dibebaskan. Akan tetapi, pada 4 Mei 1977 pukul 06.30 WIB, ia mengembuskan napas terakhir.
Anggota PPP lainnya yang bernasib tragis bernama Kiai Haji Hasan Basri. Di dalam partai politik yang khas dengan warna hijau itu, ia menjabat sebagai Komisaris PPP Brebes, Jawa Tengah.
Pelaksana Khusus Daerah (Laksusda) Jawa Tengah, di dalam Merdeka edisi 12 Mei 1977 mengonfirmasi kematian Hasan Bisri. Mereka mengklaim, Hasan tewas bunuh diri, dengan menyeburkan diri ke sumur rumahnya.
Di dalam Merdeka edisi 12 Mei 1977 dilaporkan, aparat penegak hukum setempat sudah menahan empat anak buah Hasan, berinisial B, S, M, dan T. Berdasarkan pengakuan mereka, pada 29 April 1977, Hasan sudah memerintahkan penculikan terhadap Lurah Bangbayang dan Bintara Pembina Desa (Babinsa) Bantarkawung.
Hasan disinyalir membentuk Pemuda Komando Jihad pada 2 Mei 1977, dan merencanakan aksi penculikan pada 3 Mei 1977.
Lalu, dari informasi tersebut, aparat penegak hukum setempat segera meringkus Hasan. Rumahnya digedor-gedor. Usai aparat berhasil masuk ke dalam rumah, Hasan kedapatan sudah wafat di dalam sumur.
“Ia melakukan perbuatan senekat itu, diduga karena panik dan takut rencana komando jihadnya akan lebih terungkap secara luas, sehingga mengambil jalan nekat dengan bunuh diri, masuk sumurnya sendiri,” tulis Merdeka, 12 Mei 1977.
Narasi soal kematian Hasan Bisri menimbulkan kecurigaan salah seorang anggota DPR sekaligus tokoh Nahdlatul Ulama dan pengasuh Pondok Pesantren Tebu Ireng, Yusuf Hasyim. Dalam Merdeka edisi 14 Mei 1977, ia mengatakan, kematian Hasan yang disebutkan bunuh diri adalah berita tendensius.
Yusuf meragukan dan mencurigai pemeriksaan yang dilakukan aparat. Ketika jenazahnya diangkat dari dalam sumur pada 4 Mei 1977, mulut Hasan mengatup, perutnya tak kembung, dan badannya tak kaku.
“Karena seharusnya tuduhan atas dirinya Hasan Bisri harus melalui proses hukum. Sebab orang tidak dapat dinyatakan bersalah, sebelum yang bersangkutan divonis pengadilan,” kata Yusuf Hasyim, seperti dikutip dari Merdeka, 14 Mei 1977.
Dicurangi
Pada Pemilu 1977, PPP pun mengalami berbagai kecurangan. Merdeka edisi 5 Mei 1977 menulis, di Jawa Timur diperkirakan 1 juta warga Kakbah terpaksa tak memperoleh surat panggilan formulir C dari Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS).
Beberapa oknum juga berusaha menghalang-halangi simpatisan PPP yang hendak mencoblos. Selain itu, saksi PPP mencatat kecurangan, ada seseorang yang menerima dua surat suara panggilan formulir C dari KPPS, serta menggunakannya dua kali. Akhirnya, terungkap skandal pembagian surat suara yang timpang.
Merdeka edisi 5 Mei 1977 melaporkan, dari cabang-cabang se-Jawa Timur hingga Selasa (3 Mei 1977) malam, PPP meraih 5.870.092 suara untuk DPR. Sedangkan siaran hasil penghitungan suara sementara Lembaga Pemilihan Umum (LPU—kini Komisi Pemilihan Umum (KPU)) untuk daerah pemilih tingkat 1 Jawa Timur, PPP hanya mendapatkan 3.663.760 suara.
Maka, DPP PPP pun akhirnya memutuskan untuk memberi instruksi kepada seluruh pimpinan partai di daerah-daerah menandatangani berita acara perhitungan suara.
“Sejak kemarin sore kami memang menerima berbagai laporan dari daerah-daerah tentang berbagai kasus yang menimpa warga Kakbah, terutama laporan dari daerah-daerah di Pulau Jawa, yang komunikasinya dekat dan lancar. Banyak pendukung Kakbah yang memperoleh ancaman dari pihak tertentu apabila menusuk gambar Kakbah. PPP menyiapkan bukti-bukti untuk diadukan kepada presiden,” tulis pihak DPP PPP, seperti dikutip dari Merdeka, 6 Mei 1977.
Sementara itu, di Jember, Jawa Timur, Merdeka edisi 5 Mei 1977 memberitakan, sejumlah saksi yang akan menyampaikan hasil catatan penghitungan suara kepada komisaris-komisaris PPP di tingkat kecamatan mendapat intimidasi, seperti diculik, ditahan, dan barang bawaannya dirampas.
Di Subang, Jawa Barat, 60 warga PPP terpaksa mengungsi karena terjadi bentrok sebanyak tiga kali, yakni tanggal 1, 5, dan 6 Mei 1977. Dalam insiden tersebut, 5 orang mengalami luka berat dan 11 rumah dirusak.
Atas insiden tersebut, Merdeka edisi 7 hingga 12 Mei 1977 dipadati opini terkait ketidakpuasan terhadap hasil Pemilu 1977.