IYCTC desak para bacapres dan bacawapres pertimbangkan isu pengendalian rokok
Indonesian Youth Council for Tactical Changes (IYCTC) sangat menyayangkan belum ada
dari bakal calon presiden-wakil presiden yang telah mendaftarkan diri di KPU, secara tegas memasukkan isu pengendalian konsumsi rokok dalam agenda kampanye mereka.
Padahal rokok adalah salah satu isu kesehatan masyarakat yang signifikan di Indonesia.
Sayangnya, dalam analisis yang dilakukan oleh media Kumparan terhadap pidato para capres dari 1
Januari hingga 20 Juli 2023, kata "rokok" bahkan "kesehatan" tidak masuk dalam 20 besar kata-kata
yang disampaikan oleh ketiganya.
20 kata terbanyak yang disampaikan oleh Anies Baswedan berdasarkan pidatonya selama 1
Januari-20 Juli 2023. Anies menyampaikan sembilan pidato selama periode 1 Januari-20 Juli dengan rata-rata 2.284 kata/pidato.
20 kata terbanyak yang disampaikan oleh Ganjar Pranowo berdasarkan pidatonya selama 1 Januari - 20 Juli 2023. Ganjar menyampaikan 15 pidato selama periode 1 Januari-20 Juli dengan rata-rata 1.245
kata/pidato.
20 kata terbanyak yang disampaikan oleh Prabowo Subianto berdasarkan pidatonya selama
1 Januari - 20 Juli 2023. Prabowo menyampaikan 14 pidato selama periode 1 Januari-20 Juli dengan rata-rata 2.558 kata/pidato.
Ketua Umum IYCTC Manik Marganamahendra menegaskan, kesehatan masyarakat adalah aspek yang tidak dapat diabaikan, terlebih lagi ketika membicarakan rokok yang telah terbukti menjadi ancaman serius bagi kesejahteraan masyarakat. Tanpa adanya perhatian dan intervensi yang progresif
untuk pengendalian konsumsi rokok, dikhawatirkan dampak multisektor lainnya tidak terhindarkan dan
implikasinya adalah pada kualitas sumber daya manusia Indonesia selanjutnya.
Sebagai generasi muda yang prihatin terhadap kesejahteraan dan kesehatan publik, untuk itu, IYCTC mendesak para bakal capres dan cawapres untuk mempertimbangkan isu pengendalian rokok dengan serius dan menyediakan rencana yang jelas untuk mengatasi tantangan ini.
Laporan dari Southeast Asia Tobacco Control Alliance (SEATCA) 2019 mencatat, Indonesia merupakan negara dengan jumlah perokok terbanyak di kawasan ASEAN, yakni 65,19 juta orang. Hal ini menunjukkan bahwa upaya untuk mengurangi konsumsi rokok di Indonesia menjadi sangat mendesak.
Berdasarkan laporan Statista Consumer Insights yang dikutip dari Katadata, diprediksi bahwa sebagian
besar negara di dunia akan mengalami penurunan jumlah perokok dalam satu dekade mendatang.
Namun, menurut Statista, tren jumlah perokok di Indonesia malah mengalami peningkatan dalam
periode yang sama.
"Menurut informasi dari sumber tersebut, secara global diperkirakan akan terjadi pergeseran lambat dari kebiasaan merokok selama beberapa tahun ke depan. Namun, situasinya berbeda di Indonesia, yang diperkirakan akan menyaksikan penambahan jutaan perokok pada 2030. Laporan Statista mencatat bahwa pada tahun 2021, terdapat 112 juta perokok di Indonesia. Angka ini diperkirakan meningkat menjadi 123 juta perokok pada 2030," tambah Manik.
Program Manager IYCTC Ni Made Shellasih menjelaskan, Indonesia menjadi satu-satunya
negara di Asia Tenggara yang belum meratifikasi WHO Framework Convention on Tobacco Control
(FCTC), yang membuat belum kuatnya kebijakan pengendalian rokok di Indonesia.
Sebagai perbandingan, Indonesia menjadi satu-satunya negara di Asia Tenggara yang masih memperbolehkan iklan rokok di internet. Brunei Darussalam telah menerapkan kebijakan yang mencakup larangan penerbitan, tayangan, penjualan, atau distribusi iklan produk tembakau. Di sisi lain, Kamboja melarang pengiklanan produk tembakau melalui media massa, baik dalam bentuk gambar, teks, atau suara di radio, televisi, majalah, CD, VCD, DVD, maupun layanan telekomunikasi lainnya.
“Contoh lainnya, Singapura telah berhasil melarang hampir seluruh iklan produk tembakau. Istilah
‘iklan’ didefinisikan dengan sangat luas dan mencakup berbagai jenis transmisi untuk penerimaan suara
atau visual, termasuk internet. Hal serupa juga diterapkan oleh Malaysia, Filipina, Thailand, Myanmar,
Laos, Timor-Leste, dan Vietnam. Mereka juga menerapkan kebijakan serupa dalam upaya untuk
mengendalikan konsumsi rokok di negara masing-masing,” ungkap Shella.
Program Officer dan Research Team IYCTC Daniel Beltsazar menjelaskan bahwa jika melihat track record partai pendukung masing-masing capres dan keberpihakannya pada isu pengendalian tembakau pada mereka yang incumbent/memiliki kursi di parlemen selama 2009-2024.
Partai Nasional Demokrat (Nasdem), Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), dan Partai
Golongan Karya (Golkar) menjadi bagian Pengusul RUU Pertembakauan, di mana RUU ini justru
membawa kemunduran bagi perlindungan kesehatan masyarakat Indonesia dari dampak adiksi rokok.
“Dari analisis kata yang dilakukan oleh Kumparan hingga salah satu track record partai pada salah satu
produk legislasi yang jelas mengatur mengenai pertembakauan ditemukan bahwa ketiga capres belum
sama sekali bicara tentang isu rokok serta dampaknya pada kesehatan, ekonomi dan lingkungan secara komprehensif. Belum lagi, tiga partai dari masing-masing koalisi pengusung capres pernah terlibat dalam pengusulan RUU Pertembakauan yang diketahui telah berubah dari awal sejarah pembahasannya untuk mengatur dampak kesehatan akibat produk tembakau berupa rokok yang kemudian justru malah mengatur soal peningkatan produksi rokok,” jelas Daniel.
“Maka, kami mendesak untuk para capres dan cawapres memasukkan isu kesehatan, utamanya
pengendalian konsumsi rokok ke dalam fokus kampanye mereka dan mengambil langkah konkret untuk
pencegahan dampak rokok yang sifatnya multidimensi, utamanya demi melindungi anak serta
masyarakat luas dari bahaya adiksi produk tembakau,” tutup Manik.