Dua belas hari jelang pencoblosan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2020, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) berharap, masyarakat menolak politik uang. Hal itu disampaikan Wakil Ketua KPK, Lili Pintauli Siregar, dalam Pembekalan Pilkada Berintegritas yang disiarkan secara daring, Kamis (26/11).
Sebagai pemilih, imbuh Lili, masyarakat adalah ujung tombak "pesta demokrasi". Oleh karena itu, bisa berdampak untuk kehidupan paling tidak selama lima tahun apabila permisif terhadap politik uang.
"Diharapkan masyarakat cerdas, tidak permisif, tidak karena sehelai-dua helai uang merah kemudian masuk ke bilik suara. Dia menghancurkan masa depan anak dan cucunya untuk lima tahun ke depan," ujarnya.
Di sisi lain, Lili mengatakan, pembekalan kepada calon kepala daerah penting dilakukan agar bekerja dengan baik dan melaksanakan program antirasuah ketika terpilih. Namun, meraka tak punya hati jika sudah diberikan bekal dan pemahaman masih berbuat praktik lancung.
"Saya pikir, ini kembali kepada hati, kepada iman, dan bagaimana mulai proses pilkada," ucapnya.
Lili menambahkan, kepala daerah terpilih terjerat korupsi atau tidak dapat diketahui dengan cara sederhana, dengan mengecek Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN). Sebab, sebuah studi menyebutkan, butuh banyak duit untuk menjadi pemimpin daerah.
"Dia (kepala daerah) melaporkan LHKPN begitu minimnya, maka masyarakat patut menduga siapa yang mendukung mulai (dari) pendaftaran sampai dia duduk (terpilih, red). Apakah ada para cukong? Apakah ada orang-orang yang kelak kemudian akan memulai menagih atau meminta balas jasa?" katanya.
"Dan ketika calon kepala daerah telah duduk, ketika dia mulai berpikir untuk membayar balas jasa, mulai saat itulah dia terjerembak dalam tindak pidana korupsi," tambahnya.
Ketua KPK, Firli Bahuri, sebelumnya mengatakan, ada potensi benturan kepentingan dalam pendanaan pilkada berkaitan erat dengan profil penyumbang dana atau donatur. Ini berdasarkan Survei Direktorat Penelitian dan Pengembangan KPK pada 2015, 2017, dan 2018, di mana pengusaha sebagai donatur memiliki konsekuensi meminta kemudahan perizinan dalam bisnis, keleluasaan ikut pengadaan barang dan jasa, dan keamanan dalam usaha.
Sementara temuan KPK pada 2018 mengungkapkan, 83,8% calon kepala daerah berjanji memenuhi harapan penyumbang dana ketika menang pilkada.
Berdasarkan catatan survei komisi antikorupsi, total harta rata-rata pasangan calon Rp18,03 miliar. Bahkan, imbuh Firli, ditemukan ada satu kontestan yang total kekayaannya minus Rp15,17 juta.
Padahal, berdasarkan wawancara dari survei KPK itu, paslon di tingkat kabupaten/kota harus memegang uang Rp5 miliar-Rp10 miliar agar bisa mengikuti pilkada. Idealnya mempunyai Rp65 miliar apabila ingin menang.
"Banyak kepala daerah yang tersangkut tindak pidana korupsi. Hingga Juli 2020, telah 21 gubernur dan 122 bupati/wali kota/wakil terjerat korupsi yang ditangani oleh KPK. Sebab itu, KPK menyuarakan urgennya pilkada berintegritas, yakni pilkada yang menghasilkan kepala daerah yang bebas benturan kepentingan," kata Firli.