Jokowi atau Prabowo, siapa yang akan menang?
Tahun ini adalah kali kedua belas Pemilu Indonesia berlangsung sejak tahun 1955. Bangsa ini pun bakal mencetak sejarah baru dimana untuk pertama kali Pemilu serentak yakni Pemilihan legistatif (pileg) dan Pemilihan presiden (pilpres) berlangsung pada hari yang sama.
Bagaimana memaknai 'Pemilihan umum nasional serentak? Ini adalah awalan perkembangan ketatanegaraan Indonesia yang harusnya semakin demokratis.
Merujuk pada penegakan UUD 1945 pasal 22E ayat 1 yang menyatakan "Pemilihan Umum diselenggarakan untuk memilih Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Presiden dan Wakil Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah." Maka, Pemilu idealnya dilakukan secara serentak.
Mengutip Guru Besar Hukum Tata Negara Jimly Asshiddiqie dengan mekanisme pemilu nasional serentak memiliki tiga manfaat. Pertama, diharapkan dapat memperkuat sistem pemerintahan melalui political separation dimana fungsi eksekutif dan legistatif yang sudah ada makin saling mengimbangi. Sehingga konflik kepentingan atau potensi sandera menyandera tidak lagi terjadi.
Kedua, kepala pemerintahan yang menguasai dukungan suara mayoritas di parlemen tidak saling menjatuhkan antara parlemen dan pemerintahan. Ketiga, sistem impeachment atau pemakzulan hanya dapat diterapkan dengan persyaratan ketat seperti: tindak pidana, bukan alasan politik.
Jimly meyakini keputusan menerapkan sistem pemilu serentak mulai tahun 2019 dapat dijadikan momentum untuk penguatan sistem pemerintahan.
Lalu seperti apakah gambaran perolehan kursi di legistatif nantinya? Tentu partai yang memiliki calon presiden (capres) menjadi jawara. Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI P) diyakini bakal panen suara pada Pemilu 2019.
Pengamat Politik Pangi Syarwi Chaniago menyebut partai pimpinan Megawati Soekarnoputri tersebut bakal mendulang elektabilitas tinggi seperti yang pernah dicecap Partai Demokrat pada tahun 2009 silam. Kata Pangi, kepuasaan masyarakat atas kinerja pemerintah akan berdampak langsung terhadap elektabilitas partai.
Partai manapun yang menguasai kursi parlemen, diharapkan memiliki kinerja yang baik. Sekedar mengingatkan sepanjang tahun 2018, parlemen hanya berhasil mengesahkan lima rancangan undang-undang atau RUU.
Tahun ini adalah kali kedua belas Pemilu Indonesia berlangsung sejak tahun 1955. Bangsa ini pun bakal mencetak sejarah baru dimana untuk pertama kali Pemilu serentak yakni Pemilihan legistatif (pileg) dan Pemilihan presiden (pilpres) berlangsung pada hari yang sama.
Bagaimana memaknai 'Pemilihan umum nasional serentak? Ini adalah awalan perkembangan ketatanegaraan Indonesia yang harusnya semakin demokratis.
Merujuk pada penegakan UUD 1945 pasal 22E ayat 1 yang menyatakan "Pemilihan Umum diselenggarakan untuk memilih Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Presiden dan Wakil Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah." Maka, Pemilu idealnya dilakukan secara serentak.
Mengutip Guru Besar Hukum Tata Negara Jimly Asshiddiqie dengan mekanisme pemilu nasional serentak memiliki tiga manfaat. Pertama, diharapkan dapat memperkuat sistem pemerintahan melalui political separation dimana fungsi eksekutif dan legistatif yang sudah ada makin saling mengimbangi. Sehingga konflik kepentingan atau potensi sandera menyandera tidak lagi terjadi.
Kedua, kepala pemerintahan yang menguasai dukungan suara mayoritas di parlemen tidak saling menjatuhkan antara parlemen dan pemerintahan. Ketiga, sistem impeachment atau pemakzulan hanya dapat diterapkan dengan persyaratan ketat seperti: tindak pidana, bukan alasan politik.
Jimly meyakini keputusan menerapkan sistem pemilu serentak mulai tahun 2019 dapat dijadikan momentum untuk penguatan sistem pemerintahan.
Lalu seperti apakah gambaran perolehan kursi di legistatif nantinya? Tentu partai yang memiliki calon presiden (capres) menjadi jawara. Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI P) diyakini bakal panen suara pada Pemilu 2019.
Pengamat Politik Pangi Syarwi Chaniago menyebut partai pimpinan Megawati Soekarnoputri tersebut bakal mendulang elektabilitas tinggi seperti yang pernah dicecap Partai Demokrat pada tahun 2009 silam. Kata Pangi, kepuasaan masyarakat atas kinerja pemerintah akan berdampak langsung terhadap elektabilitas partai.
Partai manapun yang menguasai kursi parlemen, diharapkan memiliki kinerja yang baik. Sekedar mengingatkan sepanjang tahun 2018, parlemen hanya berhasil mengesahkan lima rancangan undang-undang atau RUU.
Tren keterpilihan
Di sisi lain, Pilpres terulang dengan komposisi sama dan rivalitas lama antara Jokowi dan Prabowo diprediksi bakal penuh kejutan pada tahun ini. Sekalipun lembaga survei terus merilis angka kalau di atas 30% Jokowi bakal dipilh lagi ketimbang Prabowo, namun jika ditelisik trennya berbanding terbalik dengan hasil.
Pengamat politik Dedi Kurnia Syah Putra Universitas Telkom menyebut kalau tren keterpilihan Jokowi memang stabil ketimbang Prabowo. Sayangnya, sekalipun stabil tidak ada kenaikan signifikan yang bisa mendongkrak elektabilitas mantan Gubernur DKI Jakarta tersebut.
Penyebabnya kata Dedi, soal pemilihan cawapres sebelumnya mencuat nama Mahfud MD justru pada detik terakhir nama KH Ma'ruf Amin yang dipilih Jokowi.
Sementara tren Prabowo disebut Dedi, meskipun melambat tetapi tetap ada pergerakan. Sebabnya adalah kehadiran cawapres Sandiaga Uno yang berhasil memikat keterpilihan kaum wanita, hal ini mengingatkan kondisi pemilu tahun 2004 pada sosok Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).
Membaca komposisi kekuatan masing-masing, Jokowi memang diuntungkan dengan tim koalisi pengusungnya yang terbilang solid dan bagian dari partai gerbong besar. Mesin politik Jokowi juga diperkuat dengan jaringan media nasional dari berbagai platform seperti: media afiliasi Surya Paloh dan taipan media sekaligus pendiri dan Ketua Umum Partai Perindro.
Di atas kertas, Jokowi sulit dikalahkan baik dari popularitas dan elektabilitasnya. Tapi hal tersebut tidak menjamin Jokowi menang, sebab Prabowo juga punya kekuatan besar mengingat dukungan dari SBY yang punya pengalaman memenangkan pilpres.
"Ini kesempatan terakhir Prabowo untuk mewujudkan Indonesia sesuai harapannya. Makanya, timnya akan sepenuh hati menggalang kekuatan," kata Dedi.
Sementara Pengamat Politik Universitas Al Azhar Indonesia Ujang Komarudin memprediksi siapa capres yang akan unggul tergantung yang dapat memaksimalkan kampanye selama empat bulan terakhir ini.
"Siapa yang mampu memikat dan meraih simpati rakyat dan tidak membuat blunder politik, merekalah yang akan unggul," tukas Ujang.
Perbedaan pilihan masyarakat akan calon pemimpin idealnya, para pengamat politik berharap agar mampu menciptakan iklim demokrasi yang sehat.