Kampanye di perguruan tinggi dan segala konsekuensinya
Setelah beberapa kali urun rembuk, Reza Abdurrakhman dan rekan-rekannya alumni Universitas Diponegoro (Undip), Universitas Negeri Semarang (Unnes), Universitas Sebelas Maret (UNS), serta beberapa perguruan tinggi swasta di Jawa Tengah, sepakat mendukung Ganjar Pranowo sebagai suksesor Joko Widodo. Dukungan mereka dideklarasikan pada 14 Juli 2023 di Kota Semarang, Jawa Tengah.
Tak hanya itu, mereka membentuk kelompok sukarelawan bernama Pergerakan Generasi Alumni Muda dan Akademisi Bersama Ganjar Pranowo (Pena Mas Ganjar). Reza dipilih sebagai koordinatornya.
Menurut Reza, dukungan kepada politikus PDI-P itu diberikan berdasarkan hasil penelaahan rekam jejak kinerja dan digital. Mereka menilai, Ganjar tak pernah terlibat politik identitas dan pelanggaran hak asasi manusia.
“Ditambah lagi memang Pak Ganjar di Jateng sangat luar biasa. Selama 10 tahun memimpin Jateng (sebagai gubernur), perkembangan Jateng sangat signifikan,” ucap Reza kepada Alinea.id, Senin (28/8).
Gerakan sukarelawan
Pena Mas Ganjar terus membangun jaringan. Hingga 28 Agustus 2023, organisasi sukarelawan ini sudah ada di 14 kabupaten/kota di Jawa Tengah. Reza mengatakan, mereka menargetkan merambah kabupaten/kota se-Jawa Tengah, yang totalnya ada 29 kabupaten dan enam kota. Setelah itu, bakal membidik alumni Undip, Unnes, dan UNS yang ada di luar Jawa Tengah.
“Kita akan mengajak mereka dalam diskusi, kegiatan, rumusan-rumusan kebijakan,” ujarnya.
Di sisi lain, sejumlah alumni dari organisasi pergerakan mahasiswa, seperti Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM), Perhimpunan Mahasiswa Katolik RI (PMKRI), Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI), Liga Mahasiswa Nasional untuk Demokrasi (LMND), dan Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) beberapa waktu lalu berhimpun dalam Kolaborasi Patriot Indonesia (KOPI). Mereka mendukung Menteri Pertahanan Prabowo Subianto sebagai capres pada pemilu mendatang.
Aktivis mahasiswa tersebut berasal dari berbagai alumni perguruan tinggi, seperti Universitas Negeri Lampung (Unila), Universitas Indonesia (UI), Universitas Hasanuddin (Unhas), Universitas Airlangga (Unair), dan Universitas Gadjah Mada (UGM). Ketua KOPI, Gigih Guntoro menyebut, organisasi sukarelawan ini lahir karena ada interaksi para anggota—sesama aktivis mahasiswa—sejak 2007.
Sebelum melabuhkan dukungan ke Ketua Umum Partai Gerindra tersebut, Gigih mengatakan, para penggagas KOPI terlebih dahulu mempelajari perkembangan geopolitik internasional.
Misalnya, imbas perang Rusia versus Ukraina, yang menyasar pangan dan energi. Mereka juga melihat kebangkitan ekonomi usai pandemi.
Di samping itu, yang menjadi pertimbangan, negara butuh pemimpin visioner dalam menempatkan Indonesia sebagai salah satu yang terkuat di dunia, mampu melanjutkan orientasi Jokowi soal Indonesia Emas 2045, serta menjadikan Indonesia sebagai jalan keluar atas problem pergeseran politik internasional.
“Target-target itulah yang (jadi alasan) kenapa kita menjatuhkan pilihan kepada Pak Prabowo,” ujar Gigih, Senin (28/8).
“Dia (Prabowo) juga menjadi bagian dari pemerintahan hari ini.”
Gigih menuturkan, KOPI bakal menyampaikan gagasan-gagasan besar tentang Indonesia dan dunia kepada aktivis, mahasiswa, dan akademisi.
“Itu penting sebagai satu bahan bertukar pikiran, tidak hanya soal memperdebatkan, tapi menyelesaikan persoalan,” kata dia.
Gigih menyambut baik Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 65/PUU-XXI/2023 yang memperbolehkan lembaga pendidikan, termasuk kampus, dijadikan sebagai salah satu tempat untuk berkampanye.
“Yang penting adalah ruang kebebasan berpendapat, akademik, dan segala macam di kampus memang harus dibuka seluas-luasnya untuk menggali ide dan gagasan,” ucap Gigih.
Senada, Reza mengatakan, Pena Mas Ganjar mendukung penuh putusan MK itu. Akan tetapi, meski sudah diperbolehkan, pihaknya enggan tiba-tiba berkampanye di kampus.
Alasannya, kata Reza, mereka bakal terlebih dahulu mempelajari aturan turunannya, yang mungkin akan diterbitkan Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu). Jika tata cara kampanye sudah diatur dan Pena Mas Ganjar diundang, mereka bersedia berkampanye di kampus.
“Untuk berdiskusi tentang gagasannya Bapak Ganjar, bagaimana program yang akan ditawarkan, (dan) keberlanjutan program Pak Jokowi” ujar Reza.
Perlu diatur
Komisioner KPU Idham Holik meluruskan putusan MK, yang terkait Pasal 280 ayat (1) huruf h Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu. Intinya, kata Idham, kampanye di fasilitas pemerintah, tempat ibadah, dan tempat pendidikan dilarang.
“Kecuali fasilitas pemerintah dan tempat pendidikan yang mendapatkan izin dari penanggung jawab serta tidak menggunakan atribut,” ujar dia, Selasa (29/8).
Idham menjelaskan, sebenarnya putusan MK tersebut sudah ada di bab penjelasan Pasal 280 ayat (1) huruf h UU Pemilu. Di situ tertulis, fasilitas pemerintah, tempat ibadah, dan tempat pendidikan dapat digunakan jika peserta pemilu hadir tanpa atribut kampanye pemilu atas undangan dari pihak penanggung jawab.
Dengan adanya penambahan norma eksepsional dari putusan MK, jelas Idham, apa yang ada di bab penjelasan UU Pemilu kini masuk ke dalam batang tubuh. “Oleh karena itu, KPU akan merevisi PKPU (Peraturan KPU) Nomor 15 Tahun 2023 dan akan membuat pedoman teknis tentang pelaksanaan kampanye,” kata dia.
Idham melanjutkan, pelaksanaan kampanye di tempat pendidikan dengan izin dan tanpa atribut tak boleh mengganggu proses belajar, serta mengedepankan asas keadilan. Terkait lembaga pendidikan swasta, yang bukan tak mungkin pengurusnya berkecimpung di partai politik, Idham mengatakan, KPU akan memperhatikan hal itu, sebelum merevisi PKPU.
“Berkenaan dengan perguruan tinggi swasta, ya harus tetap menjalankan asas keadilan. Apabila memang nanti perguruan tinggi swasta tersebut mengizinkan tempat pendidikannya dijadikan sebagai tempat pelaksanaan kampanye tanpa atribut,” katanya.
Ia mengatakan, kemungkinan besar dalam pedoman teknis kampanye di institusi pendidikan hanya ada dua metode. “Pertama, metode debat. Kedua, metode kegiatan lainnya, seperti seminar, talkshow, debat publik. Yang di mana, peserta pemilunya seluruhnya hadir,” ucap dia.
Dengan kata lain, model kampanye di lembaga pendidikan didesain layaknya adu gagasan. Lebih lanjut, ia menegaskan, kampanye di tempat pendidikan yang berizin dan tanpa atribut akan menumbuhkan budaya kampanye edukatif dan programatik. Kampanye seperti itu diharapkan bisa meredam politik identitas.
“Kami berharap kampanye di tempat pendidikan ini mengaktivasi masyarakat madani untuk berpartisipasi lebih aktif,” ujarnya.
Alinea.id sudah menghubungi Ketua Bawaslu Rahmat Bagja, serta anggota Bawaslu Lolly Suhenty dan Puadi untuk mengonfirmasi pengawasan kampanye di kampus. Namun, belum ada respons.
Terpisah, Sekjen Komite Independen Pemantau Pemilu (KIPP) Kaka Suminta menegaskan, putusan MK problematik. Sebab, menurutnya, larangan kampanye di instansi pemerintah, tempat ibadah, dan lembaga pendidikan sudah cukup baik.
“Dari aspek keadilan pemilu, bagaimana lembaga pendidikan itu mampu memberikan ruang yang sama untuk semua kontestan,” kata dia saat dihubungi, Senin (28/8).
Lembaga pendidikan, menurut Kaka, mungkin akan kesulitan mengundang 18 partai politik, capres, dan calon anggota legislatif yang akan bertarung pada Pemilu 2024. Tantangan lainnya terkait dengan kesiapan. Bagi Kaka, lembaga pendidikan yang ingin menggelar kampanye perlu memastikan aspek keamanan, properti, serta menekan residu sosial dan politik setelah digelar.
“Pengalaman kita di (Pemilu) 2019 ketika masyarakat terbelah, dengan tanpa ada kampanye di tempat pendidikan saja, itu bisa terimbas yang namanya kampus, tuturnya.
“Apalagi kalau diintrodusir masuk ke kampus. Kalau masyarakat kampus atau tempat pendidikan terbelah, baik yayasan maupun punya negara, ini problematik.”
Karena putusan MK sudah final dan mengikat, maka kata Kaka, yang perlu diperhatikan adalah pengaturan kampanyenya. Hal itu tertuang dalam PKPU 15/2023. Namun, ia menilai, sebelum ada putusan MK, PKPU sendiri sudah banyak masalah. Contohnya, sosialisasi yang tak jelas, sehingga merebak spanduk atau baliho kontestan di lokasi yang tak sesuai.
“Apalagi kalau ditambah ini, beban dari putusan MK. PKPU seperti apa yang akan dibentuk oleh KPU?” ucap Kaka.
Sedangkan Bawaslu, ujar Kaka, memiliki pekerjaan rumah dalam menyiapkan mekanisme pengawasan. “Saya pikir mereka (KPU dan Bawaslu) harus serius melakukan itu, mempersiapkan PKPU dan sosialisasi jangan lupa, sehingga putusan MK ini memperkuat demokrasi, tidak sebaliknya,” kata Kaka.
Jika tidak diatur dengan baik, Kaka khawatir asas keadilan tak terjadi. Netralitas pun bisa dipertanyakan. Sebab, selain milik negara, banyak lembaga pendidikan yang dikelola swasta.
“Ini bagaimana menjamin keadilannya, ketika yayasan A memiliki afiliasi dengan partai B atau pengurus di partai C. Ini kan jauh lebih problematik lagi,” ucap dia.