close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Capres nomor urut 01 Joko Widodo dan capres nomor urut 02 Prabowo Subianto berfoto bersama dengan moderator saat mengikuti debat capres putaran keempat di Hotel Shangri La, Jakarta, Sabtu (30/3)./ Antara Foto
icon caption
Capres nomor urut 01 Joko Widodo dan capres nomor urut 02 Prabowo Subianto berfoto bersama dengan moderator saat mengikuti debat capres putaran keempat di Hotel Shangri La, Jakarta, Sabtu (30/3)./ Antara Foto
Pemilu
Minggu, 31 Maret 2019 15:20

Kelemahan Jokowi dan Prabowo pada isu pertahanan di debat keempat

Jawaban Jokowi dan Prabowo soal pertahanan di debat Pilpres 2019 dinilai kurang memuaskan.
swipe

Dua kandidat calon presiden pada Pilpres 2019, dinilai kurang menguasai isu pertahanan yang menjadi salah satu bahasan pada debat keempat Pilpres 2019 di Hotel Shangri La, Jakarta, Sabtu (30/3) malam. Baik Joko Widodo (Jokowi) maupun Prabowo Subianto, dinilai sama-sama memberikan pernyataan yang tak memuaskan untuk menjawab isu pertahanan.

Anggota Komisi I DPR RI dari Fraksi PDI Perjuangan, Charles Honoris, mempertanyakan pernyataan Prabowo yang menilai pertahanan Indonesia rapuh. Menurut dia, Prabowo telah menyampaikan informasi yang salah.

Charles kemudian menyitir data indeks kekuatan militer yang dirilis Global Firepower (GFP) 2019. Menurut data GFP, kekuatan TNI berada di urutan pertama untuk level Asia Tenggara, dan urutan ke-15 untuk dunia. Bahkan, kekuatan militer Indonesia mengalahkan Israel (urutan 16), yang selama ini dikenal punya militer kuat.

"Meski yang bersangkutan mantan militer, ternyata tidak mengetahui dengan benar kekuataan TNI saat ini. Oleh karena itu, tidak salah jika Jokowi mengatakan ‘Pak Prabowo tidak percaya pada TNI kita.’ Prabowo yang mantan TNI justru tidak percaya TNI kuat, karena dia mendapatkan data yang salah," kata Charles dalam pernyataan tertulisnya.

Anggota komisi pertahanan di DPR RI itu juga mengapresiasi pandangan Jokowi yang menilai penguasaan teknologi persenjataan dan cyber merupakan hal penting. Bagi Jokowi, hal ini disebabkan perang ke depan adalah perang teknologi, seperti perang siber (cyber warfare).

Menurut Charles, hal ini menunjukkan pemahaman Jokowi dalam pertahanan negara jauh lebih komprehensif. Adapun Prabowo, disebutnya masih fokus pada pertahanan konvensional.

Terkait anggaran, pernyataan Prabowo dinilai mengabaikan fakta bahwa alokasi pertahanan di era Jokowi meningkat ketimbang era Susilo Bambang Yudhoyono. Anggaran pertahanan dalam APBN 2019, naik 80% menjadi Rp108,4 triliun dari Rp86,2 triliun di APBN 2014 saat SBY masih menjabat.

Hanya saja, anggaran pertahanan yang direalisasikan Jokowi melenceng dari yang ia janjikan pada 2014 lalu. Saat itu, Jokowi berjanji akan meningkatkan anggaran pertahanan hingga Rp250 triliun.

Juru bicara Badan Pemenangan Nasional (BPN) Prabowo-Sandiaga Uno, Nizar Zahro mengatakan, Jokowi memiliki pemikiran yang salah di bidang pertahanan. Hal ini menanggapi pernyataan Jokowi dalam debat yang menyebut tidak akan ada serangan musuh dalam 20 tahun ke depan. 

"Pantas saja anggaran militer sedikit sekali, tidak sebanding dengan luas teritorial dan jumlah penduduk. Jokowi telah melemahkan negara ini," katanya.

Bagi dia, pandangan Jokowi yang memprioritaskan penguasaan teknologi persenjataan dan cyber juga berlebihan. Sebab menurut Nizar, hal paling penting adalah mental pengguna dan pejabatnya.

"Jokowi terlalu memuja teknologi informasi. Ingin selalu cepat. Faktanya, mental elit dan pejabat masih bobrok. Sehebat apapun teknologi yang dipakai, bila mentalnya bobrok, bila praktik jual beli jabatan masih marak, maka jangan harap ada pelayanan publik yang prima," kata Nizar menjelaskan.

img
Gema Trisna Yudha
Reporter
img
Gema Trisna Yudha
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan