Pertanyaan mengenai bagaimana dan kemana masa depan Indonesia muncul seiring dengan dinamika politik dan ekonomi akhir-akhir ini.
Kondisi pertama yang menjadi pertimbangan serius adalah terkait proses demokrasi di era Presiden Jokowi. Berbagai laporan dan analisis dari lembaga pemantau demokrasi, menunjukkan penurunan indeks kebebasan di Indonesia.
“Banyak analisis menggambarkan kondisi yang mengkhawatirkan tentang pembatasan kebebasan sipil dan penegakan hukum yang cenderung diskriminatif. Perlu refleksi serius terhadap hal tersebut,” ujar pemerhati isu-isu global dan strategis Imron Cotan, dalam webinar nasional Moya Institute, Rabu (10/1).
Selanjutnya adalah korupsi yang semakin merajalela. Kasus-kasus besar seperti skandal korupsi yang melibatkan pejabat tinggi negara telah menjadi berita utama, menandakan bahwa korupsi masih tetap menjadi masalah besar. Apalagi, pertumbuhan ekonomi stagnan pada kisaran 5 persen, yang menyulitkan Indonesia keluar dari "middle-income trap".
Menurut Imron, integritas pemilu dan regresi demokrasi menjadi topik pembahasan penting di masyarakat luas. Persepsi publik terhadap peluang kecurangan yang mungkin terjadi semakin berkembang, yang dapat mengikis kepercayaan publik terhadap sistem demokrasi dan mengancam legitimasi pemerintahan.
Kekhawatiran yang sama juga dideteksi oleh dunia internasional, seperti tercermin pada artikel-artikel yang diterbitkan oleh The New York Times, The Guardian, dan The West Australian beberapa hari belakangan ini. Mereka benar-benar mengkhawatirkan fenomena regresi demokrasi Indonesia, dan politik dinasti yang dinarasikan dibangun Presiden Jokowi, dengan diloloskannya Gibran Rakabuming Raka sebagai cawapres oleh MK.
“Pelolosan Gibran Rakabuming Raka oleh MK dalam kontestasi politik, dipandang banyak pihak menciderai semangat konstitusi,” urai Imron.
Menjawab pertanyaan siapa kandidat yang akan mampu membawa Indonesia menggapai Indonesia Emas 2045, Imron tegaskan bahwa capres yang tepat adalah yang tidak punya rekam jejak pelanggaran HAM berat dan yang memanfaatkan isu primordial untuk mencapai tujuan politik.
Direktur Eksekutif Saiful Mujani Research and Consulting Sirojudin Abbas mengatakan, bantuan sosial dipolitisasi untuk tujuan-tujuan politik pemenangan paslon yang didukung Presiden Jokowi. Sirojudin juga berpendapat, pengucuran bansos dilakukan karena presiden menyadari bahwa kepuasan terhadap kinerjanya tidak baik pada beberapa aspek, seperti rendahnya penciptaan lapangan kerja dan masih jauhnya penurunan angka kemiskinan, serta akses terhadap sektor kesehatan.
Mengenai kandidat capres ideal, Sirojudin mengatakan masyarakat perlu melihat dari tiga pasangan calon itu, mana calon yang paling kecil risikonya bagi bangsa Indonesia.
“Saya kira yang tidak punya rekam jejak membangun ketegangan, termasuk identitas. Prabowo bermasalah di sektor HAM, karakternya yang cenderung impulsif, sangat berbahaya. Ganjar dan Mahfud relatif tidak punya catatan yang signifikan. Lebih logis pilihan disandarkan pada Pak Ganjar dan Pak Mahfud, ketimbang calon yang lainnya,” ungkapnya.
Pendiri Negarawan Center Johan Silalahi, menyesalkan Presiden Jokowi saat ini ikut cawe-cawe dalam pilpres, yang berpotensi melanggar konstitusi. Siapapun yang mendukung Jokowi pada periode awal pemerintahannya tentu kecewa dengan sikap tersebut.
“Dulu saya berjuang mati-matian menjadikan Presiden Jokowi dari bukan siapa-siapa menjadi seorang tokoh (from zero to hero). Sangat disayangkan justru dia saat ini ikut cawe-cawe dalam pilpres, yang berpotensi melanggar konstitusi.
Terkait banyaknya persoalan yang kini dihadapi bangsa, Johan berpendapat Ganjar dan Mahfud sebagai harapan baru. “Untuk itu kami bertekad berjuang sekuat tenaga untuk menjadikan mereka sebagai pemimpin Indonesia paska-Jokowi agar Indonesia mampu mencapai masa depan yang gemilang,” cetusnya.
Ekonom Muhammadiyah Mukhaer Pakkanna mengatakan, dalam bidang ekonomi, keadilan sulit tegak karena adanya sikap intoleransi ekonomi pemilik modal raksasa yang secara populasi jumlahnya minoritas terhadap populasi mayoritas yang secara ekonomi berjumlah minoritas. Mukhaer juga menyebut istilah “dwifungsi oligarki”, yaitu kawinnya politik dan bisnis.
“Mereka yang memiliki kekuatan ekonomi akibat akumulasi modal di tangan segelintir orang yang justru minoritas secara populasi, harus sadar terhadap bahayanya eksplosi atau ledakan sosial jika ketidakadilan dan ketimpangan kekuatan ekonomi ini tidak terdistribusi dengan baik,” kata Mukhaer.
Disamping itu, terdeteksi kegagalan pemerintah untuk menaikkan tingkat pendidikan SDM Indonesia yg mayoritas hanya lulusan SMP. Oleh karena itu, tidak heran industri yang berkembang hanya industri ekstraktif, yang lebih menggunakan otot daripada otak.