Meski rutin wara-wiri di layar kaca, Tenaga Ahli Utama Deputi IV Kantor Staf Kepresidenan (KSP), Ali Mochtar Ngabalin gagal menembus Senayan. Di Pileg 2024, Ali diusung Partai Golkar untuk maju di daerah pemilihan Sulawesi Tenggara (Sultra).
Dari 17 kabupaten dan kota di Sultra, pria kelahiran Fakfak, Papua Barat itu hanya mendapatkan 8.483 suara. Suara Ngabalin jauh tertinggal dari politikus Partai Keadilan Bangsa (PKB) Jaelani yang lolos dengan raihan dukungan tertinggi di dapil itu. Jaelani menggaet 116.426 suara.
Adapun kursi anggota DPR untuk Golkar digaet rekan separtai Ngabalin, Ridwan Bae. Ridwan mengantongi 84.440 suara. Ridwan berstatus sebagai petahana. Sebelum jadi anggota DPR, ia pernah menjabat sebagai Bupati Muna, Sultra.
Dalam siaran pers yang diterima Alinea.id, Selasa (19/3), Ngabalin mengaku akan fokus menyelesaikan tugasnya sebagai pembantu presiden setelah gagal jadi anggota DPR RI. Ia berjanji akan mempersiapkan diri lebih baik menjelang Pileg 2024.
"Sulawesi Tenggara dan Buton adalah kampung leluhur saya dari pihak ibu karenanya saya merasa sangat penting dan perlu untuk duduk di parlemen mewakili masyarakat, menjadi vokalis terhadap semua masalah yang tak terurus di sana," ujar Ngabalin.
Nasib serupa dialami politikus kondang lainnya semisal Wasekjen Partai Demokrat Jansen Sitindaon dan mantan ketua kelompok relawan Jokowi Mania (Joman) Immanuel Ebenezer alias Noel. Jansen maju di dapil Sumatera Utara dan hanya meraup 12.461 suara. Noel diusung Gerindra di dapil Kalimantan Utara (Kaltara). Ia hanya meraih 27.806 suara.
Analis politik dari Universitas Jember Muhammad Iqbal menilai popularitas dan kekuatan logistik saja tak cukup untuk "mengongkosi" para politikus kondang ke Senayan. Faktor eksternal semisal ideologi pemilih juga turut mempengaruhi hasil akhir pileg.
"Baik yang rasional, primordial maupun pragmatis dan emosional. Bila dalam satu daerah pemilihan, postur demografis dan sosiologis pemilih cenderung dominan berkarakter pragmatis, hampir pasti menjadi battleground yang sulit bagi kandidat yang hanya andalkan integritas dan popularitas tapi minim, bahkan nihil kapital," ucap Iqbal kepada Alinea.id, Rabu (20/3).
Selain kekuatan kapital, menurut Iqbal, pemilihan dapil juga menentukan sukses atau tidaknya para politikus kondang menembus Senayan. Ia mencontohkan kegagalan caleg petahana dari PDI-P, Masinton Pasaribu di dapil DKI Jakarta I.
Menurut Iqbal, Masinton gagal mencermati pergeseran karakteristik konstituen di dapilnya. Sebagaimana hasil Pileg 2024, DKI I tak lagi "merah", tetapi sudah didominasi Partai Keadilan Sejahtera (PKS). "Itu lebih karena bertarung di basis yang jadi dapil ideologis PKS," ujar Iqbal.
Sikap yang terlalu elitis sebagai politikus, menurut Iqbal, juga jadi salah satu faktor yang mengyebabkan para caleg kondang gagal meraup suara mayoritas. Ia mencontohkan kegagalan caleg Partai Demokrat, Denny Indrayana. Denny merupakan pakar hukum tata negara yang rutin mengkritik manuver politik Jokowi jelang pencoblosan.
Di Pileg 2024, Denny bertarung di dapil Kalimantan Selatan II. Pria yang pernah menjabat Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Wamenkumham) era Presisden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) itu hanya meraup 26.573 suara.
"Karakter elitis Denny tidak kompatibel dengan kondisi sosio-politik dapil Kalsel II. Sementara kalahnya Jansen Sitindaon, caleg Demokrat di dapil Sumut III, seperti yang Jansen akui bahwa postur pemilih di dapilnya cenderung lebih bar-bar akibat maraknya politik uang," ucap Iqbal.
Pakar komunikasi politik dari Universitas Airlangga (Unair) Suko Widodo sepakat banyak caleg kondang yang terpuruk di Pileg 2024 lantaran lupa membangun ikatan dengan pemilih di dapil masing-masing. Caleg-caleg itu hanya familiar bagi publik di layar kaca.
"Karena kurang interaksi dengan rakyat. Lebih bermain di ranah media, bukan ruang nyata. Ya, mereka tidak mengakar. Popularitas mereka tinggi. Tetapi popularitas tidak selalu sejajar dengan akseptabilitas di masyarakat," ucap Suko kepada Alinea.id, Rabu (20/3).
Suko mengakui Ngabalin, Denny, Jansen, dan politikus kondang lainnya terkesan sangar di diskusi-diskusi politik di ruang publik. Namun, mereka tidak dikenal oleh sebagian besar pemilih di dapil atau bahkan sama sekali tidak memiliki ikatan emosional dengan pemilih.
"Masyarakat hanya mengenal mereka melalui layar televisi di forum gelar wicara politik. Jadi, bukan berinteraksi secara tatap muka," ucap Suko.