Ketua Perhimpunan Survei Opini Publik Indonesia (Persepi), Philips Vermonet, akhirnya angkat bicara soal tuduhan yang dialamatkan kepada Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang dianggap berbuat curang dalam melaksanakan pemilihan umum atau Pemilu 2019.
Menurutnya, hoaks yang beredar mengenai tuduhan KPU curang dan meninggalnya petugas Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) yang terus beredar luas semakin menyebalkan dan sungguh keterlaluan. Karena itu, dirinya merasa perlu menyampaikan pandangannya terhadap hal tersebut.
Philips mengatakan, Sistem Informasi Penghitungan Suara (Situng) KPU yang memperlihatkan real count itu dibuat sebagai proses transparansi, sehingga masyarakat dapat mengaksesnya kapan dan di mana pun. Jika ada kesalahan dari proses penghitungan suara, masyarakat bisa melaporkan kesalahan itu.
“Situng ini menjadi aksesibel buat publik dengan maksud transparansi. KPU taruh semua scanned C1 itu di web supaya kita semua bisa memeriksa. Jadi logikanya di mana kalau KPU secara sistematis mencurangi?? Kalau mau curang, tidak ada itu KPU membuka akses untuk publik melihat,” kata Philips dalam keterangannya pada Minggu, (12/5).
Menurut Philips, yang paling mungkin berbuat curang adalah para calon legislatif. Pasalnya, mereka tersebar dan bisa fokus pada tempat pemungutan suara daerah pemilihannya. Sebaliknya, jika untuk calon presiden, kata dia, agak sulit jika hendak berbuat curang.
“Mau mencurangi TPS seperti menggarami air laut. Ingat ada 813 ribu TPS di seluruh Indonesia, mengurus satu TPS saja sudah ada yang kelahi,” ujarnya.
Kemudian, mengenai 500 petugas yang meninggal dunia karena diracun, Philips mempertanyakan tujuannya. Dia pun menjelaskan, pada Pemilu 2019 tiap TPS hanya melayani 300 pemilih. Jumlah ini lebih sedikit ketimbang Pemilu 2014 yang bisa melayani 600 pemilih.
“Mari asumsikan 500 yang meninggal dunia itu tersebar di 500 TPS (satu TPS ada satu petugas meninggal dunia). Hitunglah suara yang mungkin dicurangi karena meninggalnya sang petugas: berarti 500 TPS dikali dengan 300 suara per TPS itu = 150 ribu suara,” ucap Philips.
“Orang gila mana yang mau meracun 500 orang hanya untuk 150 ribu suara????”
Lebih lanjut, kata dia, dengan jumlah pemilih yang terdaftar sampai 190 juta orang dan tingkat partisipasi sekitar 81%, maka menurut quick count ada sekitar 154 juta suara yang diperebutkan. “Jadi ya bapak dan ibu sekalian: 150 ribu suara itu secara jumlah bisa diabaikan,” katanya.
Adapun petugas KPPS meninggal dunia bukan hanya terjadi pada pemilu kali ini saja. Philips mengatakan, pada Pemilu 2014 ada kurang lebih 144 petugas pemilu yang meninggal dunia. Pada Pemilu 2019, jumlah petugas meninggal dunia lebih banyak karena pekerjaannya pada pemilu kali ini jauh lebih berat.
Berdasarkan pengalamannya selama melakukan hitung cepat atau quick count, kata Philips, pihaknya pada hari pencoblosan 17 April 2019 sampai pukul 23.00 WIB belum 100% data masuk dari TPS yang menjadi sampelnya. Artinya, pada jam tersebut masih ada banyak TPS belum selesai melakukan penghitungannya. Padahal, quick count yang digelar pihaknya hanya pilpres dan pileg untuk DPR.
“Di Pemilu 2019, petugas KPPS ini tugasnya menghitung 5 surat suara. Mereka harus selesai menghitung dalam 24 jam. Para petugas KPPS ini mungkin sudah tidak tidur sejak sehari sebelumnya, bangun tenda urusan admin dan ini itu, tambah lagi sehari lagi menghitung dan semalaman ada di TPS masing-masing,” ucap Philips.
“You, saya dan kita, habis nyoblos pulang dulu ngadem, makan, minum, tidur. Mereka stay on di TPS. Jadi, mempolitisasi meninggalnya para pahlawan pemilu ini sangat keterlaluan. Make sure your brain is in gear when you are engaging your mouth.”
Terakhir, kata Philips, mengenai terjadinya kecurangan sampai 2000, 3000 atau 4000 TPS, secara jumlah relatif tidak mengubah apa-apa. Mengingat, ada 813 ribu TPS tersebar di seluruh Indonesia dan luar negeri.