close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Anwar Usman membetulkan posisi kacamatanya saat memimpin sidang putusan akhir untuk perkara sengketa hasil Pemilu Legislatif 2019 di Ruang Sidang Pleno Gedung MK, Jakarta, Jumat (9/8). /Antara Foto
icon caption
Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Anwar Usman membetulkan posisi kacamatanya saat memimpin sidang putusan akhir untuk perkara sengketa hasil Pemilu Legislatif 2019 di Ruang Sidang Pleno Gedung MK, Jakarta, Jumat (9/8). /Antara Foto
Pemilu
Senin, 12 Agustus 2019 21:10

Kinerja MK putuskan PHPU Pileg 2019 dikritik 

Hanya 12 perkara yang dikabulkan permohonannya oleh MK.
swipe

Ketua KoDe Inisiatif Veri Junaidi mengapresiasi kinerja Mahkamah Konstitusi (MK) dalam mengadili dan memutus perkara-perkara Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) Pileg 2019. Namun demikian, menurut Veri, masih ada catatan kritis yang perlu diperhatikan MK dalam mengadili PHPU. 

Salah satunya ialah terkait pengelompokan pengajuan permohonan. Menurut Veri, MK saat ini masih mendasarkan pengelompokan permohonan pada kasus yang telah terigistrasi. Seharusnya, lanjut Veri, MK menelusuri satu per satu kasus di setiap daerah pemilihan.

"Ini problem. Bisa dicek dalam permohonan yang diajukan ke MK, kita bisa lihat satu partai, dia mengajukan kasus misal di kabupaten di daerah mana gitu, itu permohonannya hanya satu lembar. Padahal buktinya banyak. Jadi, tidak cukup efektif sebenarnya model begini yang semuanya harus di pool di tingkat DPP, di pusat," tegas Veri dalam diskusi di Kantor KoDe Inisiatif, Tebet, Jakarta Selatan, Senin (12/8). 

Model seperti itu, menurut Veri, efektif untuk menyingkat kerja MK, namun tidak menguntungkan bagi pihak-pihak yang bersidang di MK. "Kalaupun DPP mengumpulkan seluruh permohonan, dari mulai kabupaten kota hingga RI, konsentrasinya dapat terpecah," ujar dia. 

Selain soal model cluster, Veri juga menyoroti desain penegakan hukum yang nampak di persidangan MK. Salah satunya ialah terkait keputusan MK menerima pengajuan permohonan perkara yang sudah diputus di tingkat Bawaslu.

"Kan selama ini MK selalu mendorong bahwa selesaikan permasalahan di dalam proses. Nah, tapi kalau kemudian ada proses pemilu yang memang sudah ada putusan hukum sebelumnya (level Bawaslu), MK pun mestinya juga bisa melihat proses itu dan bahkan tunduk dengan putusan hukum itu," kata dia.

Menurut catatan KoDe Inisiatif, ada 260 perkara PHPU Pileg 2019 yang masuk ke MK. Dari angka itu, sebanyak 106 perkara ditolak, 99 tidak diterima, 33 dinyatakan gugur, 12 permohonan dikabulkan, dan 10 permohonan ditarik.

Hal senada diungkapkan anggota Bawaslu RI Rahmat Bagja. Dalam sejumlah perkara, menurut dia, MK tidak mengakui kinerja Bawaslu dalam memeriksa dan memutus perkara sengketa pemilu yang sama di persidangan. 

"Walau putusan kami tidak diakui oleh MK tapi dianggap fakta hukumnya. Ini sih juga menarik, catatan untuk MK. Tidak diakui putusannya, tapi kok faktanya diambil," kata Bagja.

Menurut Bagja, seharusnya MK tegas menolak meregistrasi dan mengadili perkara yang sudah diputus Bawaslu. Dengan begitu, tidak muncul anggapan kewenangan MK tumpang tindih dengan kewenangan Bawaslu.

"Catatan perbaikan ke depan adalah penempatan putusan Bawaslu. Pelanggaran administrasi itu harus diperjelas sehingga kemudian tidak ada alasan KPU untuk tidak menindaklanjuti putusan Bawaslu," ujar dia. 

img
Fadli Mubarok
Reporter
img
Christian D Simbolon
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan