Kisah para petugas KPPS dan buruknya sistem pemilu serentak
Pemilihan umum bukan saja mempertaruhkan dana dan tenaga, tetapi juga nyawa. Saat Indonesia menggelar pemilu pertama pada 1955, ada beberapa petugas pemilu yang wafat.
Faishal Hilmy Maulida menyinggungnya di dalam bukunya Di Balik Bilik Suara: Konstruksi Pemilu Pertama di Indonesia 1953-1956. Menurut Faishal, selama masa persiapan pemilu terjadi beberapa kasus panitia badan penyelenggara pemilu di daerah yang diculik dan gugur saat menjalankan tugas.
Misalnya, penculikan yang menimpa anggota Panitia Penyelenggara Pemilu (PPP) Pinrang, Sulawesi, bernama Andi Djije dan anggota Panitia Pemungutan Suara (PPS) Pinrang bernama Muh. Junus. Andi diculik dari rumahnya pada 20 Agustus 1955 dan dibawa masuk ke hutan. Sedangkan Muh. Junus hilang sejak 7 Juli 1955.
Di Brebes, Jawa Tengah dilaporkan 10 orang anggota Panitia Penyelenggara Pemilu gugur dalam menjalankan tugasnya. Seluruhnya diculik dan dibunuh gerombolan pengacau.
Saat ini, publik terhenyak dengan pemberitaan banyaknya anggota Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) yang meninggal dunia di sejumlah daerah usai melaksanakan tugas menyukseskan Pemilu 2019. Hingga Selasa (23/4) sore, jumlah petugas KPPS yang wafat 111 orang. Terbanyak menimpa anggota KPPS di Jawa Barat, yakni 44 orang.
Suka duka petugas KPPS
Fajar Ramadhan adalah salah seorang petugas KPPS di tempat pemungutan suara (TPS) 008 Kelurahan Pabuaran, Kecamatan Cibinong, Jawa Barat. Di TPS tempat Fajar bertugas ada lima orang saksi, tiga orang petugas keamanan, dan tujuh orang petugas KPPS.
Ia bertugas mulai pukul 06.30 WIB pada 17 April hingga 02.00 WIB pada 18 April. “Penghitungan suara harus hati-hati, makan waktu. Istirahat hanya saat salat zuhur, istirahat sore, istirahat magrib. Istirahat cuma ibadah, colong-colongan,” ujar Fajar ketika dihubungi reporter Alinea.id, Selasa (23/4).
Menurut Fajar, surat suara dihitung satu per satu. Kemudian dibuat dalam tujuh salinan berkas C1 hasil penghitungan suara, yang terdiri dari C1 pemilihan presiden, pemilihan tingkat Dewan Perwakilan Daerah (DPD), Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kota, dan DPRD Provinsi.
Tujuh salinan itu, selain diberikan kepada lima orang saksi, satu rangkap diserahkan kepada petugas di Kelurahan Pabuaran dan satu rangkap lagi sebagai arsip yang disimpan Ketua KPPS. Ia mengatakan, ada ketentuan batas penghitungan suara selesai pada keesokan harinya, yakni Kamis (18/4).
“Paling lambat jam satu siang harus sudah diserahkan ke kelurahan,” kata Fajar.
Dengan ketentuan itu, Fajar dan petugas KPPS lainnya baru bisa tidur total setelah subuh. Sedangkan hari Kamis siang, Fajar mesti masuk kantor untuk bekerja.
Ia menuturkan, ayahnya menjadi Ketua KPPS pun kerepotan saat mengumpulkan berkas-berkas yang akan diserahkan ke kelurahan. “Misal amplop-amplop khusus untuk menyimpan surat suara sah, tidak sah, dan rusak,” tuturnya.
Selain Fajar, ada Eva Khulaevah yang menjadi petugas KPPS di TPS 012 Desa Dukuh, Kecamatan Kapetakan, Kabupaten Cirebon, Jawa Barat. Eva berkisah, ia ditunjuk sebagai petugas KPPS oleh Panitia Pemungutan Suara (PPS) atau pemuka rukun tetangga di kampungnya.
“Di wilayah saya, khususnya di Kabupaten Cirebon, kekurangan SDM (sumber daya manusia) untuk jadi KPPS,” kata Eva ketika dihubungi, Senin (22/4).
Menurut Eva, surat pernyataan dan keterangan sehat dari puskesmas menjadi salah satu syarat menjadi petugas KPPS. Eva harus membayar Rp14.000 per orang untuk mengurus surat keterangan sehat itu. Bila diurus secara kolektif, biayanya Rp10.000 per orang.
“Uangnya diambil dari dana operasional pendirian TPS,” ucapnya.
Namun, Eva mengaku, pembuatan surat keterangan sehat itu hanya sebatas formalitas. “Dibilangnya sehat semua, yang ngecek bukan dokter, tapi bidan biasa,” ujar Eva.
Eva pun mengaku, ia tak mendapatkan pengecekan kesehatan, seperti memeriksa tekanan darah, berat badan, dan tinggi badan.
Menjadi petugas KPPS bukan hanya sibuk di hari pencoblosan. Aktivitasnya dilakukan beberapa hari sebelum hari H. Eva mengatakan, para petugas KPPS diberikan pelatihan sebelum hari H berupa bimbingan teknis sebanyak dua kali. Kemudian, mereka ditugaskan membagi undangan C6 ke 12 TPS di desa, serta pembagian logistik pemilu.
Selain itu, Eva menuturkan, para petugas KPPS pun disibukkan dengan pendirian TPS, dekorasi TPS, hingga pelaksanaan dan penghitungan suara. Dengan tanggung jawab seberat itu, Eva mengatakan, ada temannya yang tertekan.
“Secara psikologis, mentalnya shock. Karena tidak berpengalaman, shock, mual, dan muntah-muntah. Akhirnya dia digantikan oleh orang lain,” kata Eva.
Pada 17 April 2019, setelah mengatur pelaksanaan pemilu sejak pukul 06.00 WIB, para petugas KPPS mulai menghitung suara sejak pukul 13.00 WIB hingga pukul 06.00 WIB keesokan harinya. Durasi tersebut sudah termasuk menghitung suara yang sempat keliru. Eva mengeluhkan, untuk kerja seberat ini, honor yang diterima tak sebanding.
“Honor Rp500.000 dan uang makan Rp135.000. Dapat jatah makan siang yang disediakan secara swadaya atas inisitaif desa pada pukul 12.00 dan 17.00,” ucapnya.
Di luar itu, tak ada jaminan asuransi kesehatan apa pun bagi petugas KPPS. Eva menuturkan, pengajuan dari KPPS untuk meningkatkan besaran honor pun tak disambuk baik oleh pihak KPU kabupaten/kota setempat.
Eva pun mengkritik KPU, yang menurutnya bekerja kurang efisien dan efektif dalam penyelenggaraan pemilu.
“Honor enggak seberapa, tapi kerjanya kayak sistem kerja rodi, atau tanam paksa. Saya menyesal, enggak mau ikutan lagi,” tuturnya.
Kondisi petugas KPPS di Jakarta tak jauh berbeda dengan petugas KPPS di daerah. Juli Yanti, salah seorang anggota KPPS di TPS 001, Kelurahan Gelora, Kecamatan Tanah Abang, Jakarta Pusat merasakan hal yang nyaris mirip dengan Fajar dan Eva.
Juli mengaku, menjadi petugas KPPS tanpa melampirkan surat keterangan sehat. Bersama empat orang anggota KPPS lainnya, ia bertugas sejak Rabu (17/4) pukul 05.00 WIB hingga keesokan harinya.
Juli bertugas melakukan sinkronisasi daftar pemilih tetap (DPT), menerima berkas C6, dan mengolah data isian formulir C7. Bersama Ketua KPPS, ia pun mendampingi proses penandatanganan 1.000 lebih berkas C1.
“Saya benar-benar enggak bisa duduk dari jam 7 sampai 1 siang. Kalaupun jeda sebentar, kita tak boleh meninggalkan TPS begitu saja,” ujarnya saat dihubungi, Senin (22/4).
Ia mengusulkan perbaikan sistem secara digital untuk efisiensi waktu dan beban kerja. Menurutnya, penyalinan ribuan formulir C1 tidak terlalu esensial karena lebih mencakup pencatatan nama TPS, kelurahan, dan kecamatan.
Pemilihan umum bukan saja mempertaruhkan dana dan tenaga, tetapi juga nyawa. Saat Indonesia menggelar pemilu pertama pada 1955, ada beberapa petugas pemilu yang wafat.
Faishal Hilmy Maulida menyinggungnya di dalam bukunya Di Balik Bilik Suara: Konstruksi Pemilu Pertama di Indonesia 1953-1956. Menurut Faishal, selama masa persiapan pemilu terjadi beberapa kasus panitia badan penyelenggara pemilu di daerah yang diculik dan gugur saat menjalankan tugas.
Misalnya, penculikan yang menimpa anggota Panitia Penyelenggara Pemilu (PPP) Pinrang, Sulawesi, bernama Andi Djije dan anggota Panitia Pemungutan Suara (PPS) Pinrang bernama Muh. Junus. Andi diculik dari rumahnya pada 20 Agustus 1955 dan dibawa masuk ke hutan. Sedangkan Muh. Junus hilang sejak 7 Juli 1955.
Di Brebes, Jawa Tengah dilaporkan 10 orang anggota Panitia Penyelenggara Pemilu gugur dalam menjalankan tugasnya. Seluruhnya diculik dan dibunuh gerombolan pengacau.
Saat ini, publik terhenyak dengan pemberitaan banyaknya anggota Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) yang meninggal dunia di sejumlah daerah usai melaksanakan tugas menyukseskan Pemilu 2019. Hingga Selasa (23/4) sore, jumlah petugas KPPS yang wafat 111 orang. Terbanyak menimpa anggota KPPS di Jawa Barat, yakni 44 orang.
Suka duka petugas KPPS
Fajar Ramadhan adalah salah seorang petugas KPPS di tempat pemungutan suara (TPS) 008 Kelurahan Pabuaran, Kecamatan Cibinong, Jawa Barat. Di TPS tempat Fajar bertugas ada lima orang saksi, tiga orang petugas keamanan, dan tujuh orang petugas KPPS.
Ia bertugas mulai pukul 06.30 WIB pada 17 April hingga 02.00 WIB pada 18 April. “Penghitungan suara harus hati-hati, makan waktu. Istirahat hanya saat salat zuhur, istirahat sore, istirahat magrib. Istirahat cuma ibadah, colong-colongan,” ujar Fajar ketika dihubungi reporter Alinea.id, Selasa (23/4).
Menurut Fajar, surat suara dihitung satu per satu. Kemudian dibuat dalam tujuh salinan berkas C1 hasil penghitungan suara, yang terdiri dari C1 pemilihan presiden, pemilihan tingkat Dewan Perwakilan Daerah (DPD), Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kota, dan DPRD Provinsi.
Tujuh salinan itu, selain diberikan kepada lima orang saksi, satu rangkap diserahkan kepada petugas di Kelurahan Pabuaran dan satu rangkap lagi sebagai arsip yang disimpan Ketua KPPS. Ia mengatakan, ada ketentuan batas penghitungan suara selesai pada keesokan harinya, yakni Kamis (18/4).
“Paling lambat jam satu siang harus sudah diserahkan ke kelurahan,” kata Fajar.
Dengan ketentuan itu, Fajar dan petugas KPPS lainnya baru bisa tidur total setelah subuh. Sedangkan hari Kamis siang, Fajar mesti masuk kantor untuk bekerja.
Ia menuturkan, ayahnya menjadi Ketua KPPS pun kerepotan saat mengumpulkan berkas-berkas yang akan diserahkan ke kelurahan. “Misal amplop-amplop khusus untuk menyimpan surat suara sah, tidak sah, dan rusak,” tuturnya.
Selain Fajar, ada Eva Khulaevah yang menjadi petugas KPPS di TPS 012 Desa Dukuh, Kecamatan Kapetakan, Kabupaten Cirebon, Jawa Barat. Eva berkisah, ia ditunjuk sebagai petugas KPPS oleh Panitia Pemungutan Suara (PPS) atau pemuka rukun tetangga di kampungnya.
“Di wilayah saya, khususnya di Kabupaten Cirebon, kekurangan SDM (sumber daya manusia) untuk jadi KPPS,” kata Eva ketika dihubungi, Senin (22/4).
Menurut Eva, surat pernyataan dan keterangan sehat dari puskesmas menjadi salah satu syarat menjadi petugas KPPS. Eva harus membayar Rp14.000 per orang untuk mengurus surat keterangan sehat itu. Bila diurus secara kolektif, biayanya Rp10.000 per orang.
“Uangnya diambil dari dana operasional pendirian TPS,” ucapnya.
Namun, Eva mengaku, pembuatan surat keterangan sehat itu hanya sebatas formalitas. “Dibilangnya sehat semua, yang ngecek bukan dokter, tapi bidan biasa,” ujar Eva.
Eva pun mengaku, ia tak mendapatkan pengecekan kesehatan, seperti memeriksa tekanan darah, berat badan, dan tinggi badan.
Menjadi petugas KPPS bukan hanya sibuk di hari pencoblosan. Aktivitasnya dilakukan beberapa hari sebelum hari H. Eva mengatakan, para petugas KPPS diberikan pelatihan sebelum hari H berupa bimbingan teknis sebanyak dua kali. Kemudian, mereka ditugaskan membagi undangan C6 ke 12 TPS di desa, serta pembagian logistik pemilu.
Selain itu, Eva menuturkan, para petugas KPPS pun disibukkan dengan pendirian TPS, dekorasi TPS, hingga pelaksanaan dan penghitungan suara. Dengan tanggung jawab seberat itu, Eva mengatakan, ada temannya yang tertekan.
“Secara psikologis, mentalnya shock. Karena tidak berpengalaman, shock, mual, dan muntah-muntah. Akhirnya dia digantikan oleh orang lain,” kata Eva.
Pada 17 April 2019, setelah mengatur pelaksanaan pemilu sejak pukul 06.00 WIB, para petugas KPPS mulai menghitung suara sejak pukul 13.00 WIB hingga pukul 06.00 WIB keesokan harinya. Durasi tersebut sudah termasuk menghitung suara yang sempat keliru. Eva mengeluhkan, untuk kerja seberat ini, honor yang diterima tak sebanding.
“Honor Rp500.000 dan uang makan Rp135.000. Dapat jatah makan siang yang disediakan secara swadaya atas inisitaif desa pada pukul 12.00 dan 17.00,” ucapnya.
Di luar itu, tak ada jaminan asuransi kesehatan apa pun bagi petugas KPPS. Eva menuturkan, pengajuan dari KPPS untuk meningkatkan besaran honor pun tak disambuk baik oleh pihak KPU kabupaten/kota setempat.
Eva pun mengkritik KPU, yang menurutnya bekerja kurang efisien dan efektif dalam penyelenggaraan pemilu.
“Honor enggak seberapa, tapi kerjanya kayak sistem kerja rodi, atau tanam paksa. Saya menyesal, enggak mau ikutan lagi,” tuturnya.
Kondisi petugas KPPS di Jakarta tak jauh berbeda dengan petugas KPPS di daerah. Juli Yanti, salah seorang anggota KPPS di TPS 001, Kelurahan Gelora, Kecamatan Tanah Abang, Jakarta Pusat merasakan hal yang nyaris mirip dengan Fajar dan Eva.
Juli mengaku, menjadi petugas KPPS tanpa melampirkan surat keterangan sehat. Bersama empat orang anggota KPPS lainnya, ia bertugas sejak Rabu (17/4) pukul 05.00 WIB hingga keesokan harinya.
Juli bertugas melakukan sinkronisasi daftar pemilih tetap (DPT), menerima berkas C6, dan mengolah data isian formulir C7. Bersama Ketua KPPS, ia pun mendampingi proses penandatanganan 1.000 lebih berkas C1.
“Saya benar-benar enggak bisa duduk dari jam 7 sampai 1 siang. Kalaupun jeda sebentar, kita tak boleh meninggalkan TPS begitu saja,” ujarnya saat dihubungi, Senin (22/4).
Ia mengusulkan perbaikan sistem secara digital untuk efisiensi waktu dan beban kerja. Menurutnya, penyalinan ribuan formulir C1 tidak terlalu esensial karena lebih mencakup pencatatan nama TPS, kelurahan, dan kecamatan.
Santunan dan prasasti
Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) Daerah Jawa Barat Divisi Teknis Endun Abdul Haq mengatakan, data terakhir 44 petugas KPPS di Jawa Barat meninggal dunia.
“KPU Jawa Barat turut berbela sungkawa sebagai institusi atas pahlawan demokrasi yang meninggal,” kata Endun saat dihubungi, Selasa (23/4).
Endun mengatakan, penyebab utama gugurnya para petugas KPPS karena faktor kelelahan fisik dan psikis. Sebelum hari pencoblosan, menurut Endun, KPU Jawa Barat juga sudah menginstruksikan KPU di setiap kabupaten/kota di Jawa Barat untuk bisa mengkoordinasikan pengawasan kesehatan dan keselamatan petugas bersama pihak puskesmas setempat.
“Pengecekan kesehatan ini bertujuan memastikan aspek kesehatan bagi petugas penghitungan di tahap kecamatan,” tutur Endun.
Selain itu, kata dia, disiapkan pula petugas kesehatan yang berkoordinasi dengan pihak KPU kabupaten/kota dengan Dinas Kesehatan. Mereka bertugas melakukan cek tekanan darah dan menyediakan stok vitamin.
Endun mengatakan, Selasa (23/4) sore, pihaknya melakukan penyerahan santunan untuk keluarga petugas KPPS yang meninggal dunia. Penyerahan santunan secara simbolik kepada perwakilan keluarga dilakukan Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil di Kantor Pemerintah Jawa Barat, Gedung Sate, Bandung, Jawa Barat.
“Nominal santunan sekitar Rp50 juta untuk satu orang yang meninggal,” kata Endun.
Selain itu, KPU Jawa Barat juga berencana membangun prasasti sebagai peringatan atas jasa para petugas KPPS yang meninggal. “Karena bagaimana pun mereka telah menyukseskan pemilihan umum,” ujar Endun.
Pembagian waktu kerja
Menanggapi hal ini, dokter olahraga dan ahli fisiologi olahraga Ermita Isfandiary Ibrahim Ilyas menyayangkan lemahnya penerapan aturan syarat kesehatan bagi petugas KPPS.
“Mengapa tidak dilakukan pengecekan kesehatan dengan serius? Padahal mereka akan kerja beberapa hari,” kata Ermita saat dihubungi, Selasa (23/4).
Rata-rata petugas KPPS yang meninggal dunia akibat kelelahan dan stres. Menurut Ermita, stres bisa terjadi akibat pekerjaan yang banyak belum tuntas, dikejar tenggat waktu, dan tak tidur. Ermita mengatakan, setiap manusia terbiasa tidur pada malam hari dan terjaga pada siang hari. Setiap manusia pun punya irama sirkadian—proses biologis yang menunjukkan osilasi endogen dan berulang setiap sekitar 24 jam.
Ermita lebih sepakat bila ada pengaturan jam kerja bagi petugas KPPS. Hal ini, katanya, bertujuan mencegah gangguan kesehatan pada petugas.
“Seharusnya kalau memang mereka harus bekerja nonstop beberapa hari, perlu dibuat shift kerja, 2 sampai 3 shift. Makanan dan minuman harus tersedia cukup dan tepat waktu,” ujarnya.
Selain itu, ambulans juga harus disediakan untuk cakupan luas area tertentu, demi memudahkan tindak lanjut penanganan ke rumah sakit terdekat. “Minimal ada persediaan obat-obatan di setiap TPS. Ada dokter stand by untuk luas area tertentu,” katanya.
Senada dengan Ermita, peneliti di Pusat Penelitian Politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Wasisto Raharjo Jati menilai, kelemahan pelaksanaan Pemilu 2019 adalah ketiadaan pola pembagian waktu kerja bagi petugas KPPS.
Yang perlu diingat, Pemilu 2019 adalah pemilu pertama yang dilakukan secara serentak, yakni pemilihan presiden (pilpres) dan pemilihan calon anggota legislatif (pileg).
“Idealnya pemilu serentak ini dapat memangkas tahapan pemilu yang panjang. Tetapi sayangnya tidak humanis dalam pelaksanannya,” ujar Wasisto saat dihubungi, Selasa (23/4).
Tak hanya itu, menurutnya, pemilu serentak yang menguras emosi dan tenaga, juga mengharuskan penghitungan suara bersamaan untuk empat tingkatan pemilihan. Ia pun menyayangkan besaran honorarium bagi petugas KPPS yang tidak sepadan dengan tanggung jawabnya.