Koalisi partai politik (parpol) pengusung Jokowi-Ma'ruf disarankan menolak Partai Amanat Nasional (PAN) dan Partai Demokrat masuk ke barisan parpol pendukung pemerintah. Menurut peneliti Centre for Strategic and International Studies (CSIS) Arya Fernandes, bergabungnya kedua partai itu akan membuat parlemen tumpul.
"Saya melihat dari sisi koalisi, ya. Nah kalau kita lihat kan kemaren Jokowi bertemu Zulkifki Hasan dan Agus Harimurti Yudhoyono dan ada sinyal bergabung. Nah, kalau mereka benar-benar gabung suaranya hampir 77%," kata Arya dalam diskusi di Populi Center, Jakarta Barat, Kamis (23/5).
Arya khawatir fungsi parlemen sebagai pengawas kinerja pemerintahan bakal melempem jika mayoritas penghuni Gedung DPR adalah kader-kader yang parpolnya mendukung Jokowi-Ma'ruf. Karena itu, ia berharap Jokowi tidak mengajak PAN dan Demokrat bergabung.
"Kita bayangkan kalau komposisi dukungan 77%, tentunya parlemen akan mandul. Tidak kritis lagi. Tidak ada perdebatan di parlemen dan seterusnya," kata dia.
Jika disahkan sebagai pemenang Pilpres 2019, menurut Arya, Jokowi sudah tidak lagi memiliki beban politik lantaran tidak mungkin mencalonkan diri lagi pada pilpres berikutnya.
Karena itu, ketimbang menambah jumlah peserta koalisi, Arya menyarankan agar Jokowi memperkuat oposisi di parlemen agar kontrol terhadap kinerja pemerintahan tetap kuat.
Dengan begitu, lanjut Arya, Jokowi juga bisa memberikan pendidikan politik kepada publik dengan menunjukkan bahwa koalisi tidak dibangun hanya berbasis pragmatisme saja, tetapi juga karena kesamaan platform perjuangan.
"Kalau sekarang kan (tidak berbasis kesamaan platform). Jika sebagai contoh, Anda jika di pilpres beda dukungan, kemudian ada kursi atau kesempatan, dengan mudahnya Anda bisa menjadi partai pemerintahan," ujar dia.