Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI menindaklanjuti data masuknya nama 103 warga negara asing (WNA) pemilik KTP elektronik ke dalam daftar pemilih tetap (DPT). Data itu dirilis Direktorat Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Dukcapil) Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), Senin (4/3) lalu.
"KPU RI langsung menindaklanjuti data tersebut hari ini dengan mengintruksikan ke KPU di 17 provinsi dan 54 kabupaten/kota untuk langsung melakukan verifikasi data dan verifikasi faktual, menemui 103 yang diduga WNA masuk ke DPT," kata Komisioner KPU Viryan Azis di Jakarta, Selasa (5/3).
Viryan mengatakan KPU bakal mengebut verifikasi data terhadap WNA yang masuk dalam DPT. Hasilnya akan disampaikan ke Dukcapil, Bawaslu (Badan Pengawas Pemilu), peserta pemilu dan masyarakat.
"Kegiatan verifikasi yang dilakukan KPU meliputi pengecekan data ke daftar pemilih, penelusuran lapangan dengah menemui WNA tersebut guna memastikan keberadaannya," ucapnya.
Menurut Viryan, ada tiga kemungkinan 'nasib' data tersebut. Pertama, nama-nama WNA sudah tidak ada dalam DPT. Kedua, WNA pemilik KTP elektronik tersebut masuk dalam DPT akan langsung dicoret. "Ketiga, hal lain di luar kedua kemungkinan tersebut yang ditemui di lapangan," katanya.
Ketua Bawaslu Abhan meminta KPU segera mencoret WNA yang masuk dalam DPT. "Kami rekomendasi untuk segera dicoret dari DPT-nya karena mereka tidak memenuhi syarat sebagai pemilih. Sebab (mereka) bukan warga negara Indonesia (WNI)," kata dia.
Direktur Eksekutif Perludem Titi Anggraeni menambahkan, selain KPU, Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) dan Kementerian Dalam Negeri seharusnya melakukan penelusuran dan menjelaskan kepada masyarakat mengenai hal tersebut. Dengan masuknya sejumlah WNA dalam DPT, evaluasi dinilai perlu dilakukan.
“Penelusuran dan evaluasi KPU menjadi penting, sehingga ada koreksi administratif dan juga kinerja dari jajaran KPU.” ujarnya di Gedung Mahkamah Konstitusi, Selasa (5/3).
Titi pun mendesak dihapusnya ratusan WNA dari DPT. Ia juga mendesak adanya pemutakhiran data pemilih dilakukan oleh KPU setelah 103 WNA itu benar-benar tidak terdapat dalam DPT.
KPU harus memastikan mereka dikeluarkan dan dicoret dari DPT. KPU juga harus melaporkannya kepada masyarakat secara berkala mengenai pencermatan DPT karena masyarakat memiliki hak untuk mengetahui DPT sampai satu hari sebelum pencoblosan.
Keterbukaan tersebut dapat menghindari potensi politisasi isu yang belakangan terus berkembang. Ia mengatakan keterbukaan informasi oleh KPU berkaitan dengan akuntabilitas KPU sebagai penyelenggara pemilu.
“Kalau KPU tidak mampu membangun komunikasi dan penjelasan kepada publik, isu ini rentan dipolitisir dan digunakan secara tidak bertanggung jawab. Secara emosional memengaruhi persepsi masyarakat soal pemilu 2019,” tuturnya.
Pendataan jadi tantangan
Sementara itu, Bawaslu Daerah Istimewa Yogyakarta menemukan tambahan daftar WNA yang masuk dalam DPT Pemilu 2019. Temuan terbaru sementara, ada tujuh WNA yang masuk DPT di Kabupaten Bantul.
Sebelumnya, Dinas kependudukan dan catatan sipil RI menemukan 3 WNA yang masuk dalam DPT. Koordinator Divisi Pengawasan dan Hubungan antarLembaga (PHL) Bawaslu DIY Jogyakarta, Amir Nasiruddin merinci ketujuh WNA yang masuk dalam DPT yaitu Dominique Oberson, Linda Loum Fliam, Rudy Satyawan, Willem Cornelis, Maudy Calbo, Taeko Moromoto, Kamaru Azman.
Total WNA yang masuk DPT hingga Selasa (3/5), menurut Amir mencapai 10 orang. Ketujuh WNA tersebut berada di Bantul dan sisanya berada di Gunung Kidul, Sleman, dan Kota Jogyakarta.
"Mungkin entah yang teledor KPU, atau karena sistem berdasarkan KTP elektronik, karena WNA sudah memiliki KTP-el. Akhirnya semua yang mempunya NIK dimasukan," katanya.
Elemen yang ditemukan cukup detail mulai dari NIK, nama, alamat sampai tempat pemungutan suara (TPS).
Komisioner Bawaslu RI Mochammad Afifuddin mengatakan dari sisi kecurangan indeks kerawanan memang paling dominan soal DPT. Soal DPT terbukti berulang kali kejadian, mengulang beberpa pelaksanaan pemilu sebelumnya, karena tantangan kita ada di pendataan.