Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) 2012-2017, Hadar Nafis Gumay mendorong KPU untuk menggugat Undang-undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Kepala Daerah (pilkada) ihwal larangan eks koruptor ikut pilkada ke Mahkamah Konstitusi (MK).
Dia menyarankan agar KPU tidak membuang-buang waktu serta energi untuk mengusulkan aturan larangan bekas narapidana korupsi maju dalam kontestasi pilkada kepada DPR RI melalui Peraturan Komisi pemilihan Umum (PKPU).
Hal itu ditengarai karena berdasarkan pengamatannya, sikap DPR RI masih enggan mengabulkan rencana larangan eks koruptor ikut pilkada seperti yang dilayangkan KPU dalam PKPU.
"Satu sisi, saya menghormati (sikap DPR RI). Tetapi saya ingin mengingatkan KPU jangan terlalu membuang energi untuk hal yang pasti dibatalkan. Seperti pemilihan yang lalu ada yang menggugat PKPU-nya ke MA kan, dan akhirnya dibatalkan," tutur Hadar, saat ditemui di Kantor Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi), Matraman, Jakarta Pusat, Minggu (24/11).
Diketahui, KPU sempat melarang eks narapidana korupsi, kejahatan narkotika, dan kejahatan seksual anak, ikut pilkada pada 2018 lalu. Hal itu diatur dalam PKPU Nomor 3/2017. Namun, peraturan ini dibatalkan setelah digugat calon kepala daerah ke MK dan MA.
"Jadi memang kalau hanya level PKPU, itu sangat mungkin nanti digugat untuk dibatalkan. Nah, jadi KPU harus melakukan upaya yang lebih besar, ya mendorong betul kepada DPR RI dan pemerintah untuk mendesak merubah peraturan itu. Atau men-challenge (uji materi atau judicial review) ke MK," terangnya.
Menurutnya, lembaga pemilihan umum itu mempunyai dasar yang kuat untuk melayangkan gugatan ke MK ihwal dimasukannya aturan larangan eks narapidana korupsi maju dalam kontestasi pilkada.
"Karena rakyat punya hak untuk dapat calon terbaik, dan (KPU) sebagai penyelenggara negara ingin memastikan aturan (larangan narapidana korupsi maju dalam pilkada) ini," ucap dia.
Dikabarkan sebelumnya, KPU meminta DPR merevisi Undang-Undang Pilkada agar bekas narapidana korupsi tidak diperbolehkan ikut dalam Pilkada 2020.
Usulan tersebut dipandang perlu karena dalam Undang-undang Nomor 10 Tahun 2016 hanya memuat larangan ikut Pilkada bagi orang yang pernah melakukan tindakan tercela, seperti pemakai atau pengedar narkoba, berzina, serta melanggar kesusilaan lainnya. Termasuk mantan terpidana kasus bandar narkoba serta kejahatan seksual terhadap anak.