close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Walikota Makassar Danny Pomanto (berkacamata) mengampanyekan agar publik Makassar mencoblos kotak kosong pada Pilkada 2018/ Foto Instagram
icon caption
Walikota Makassar Danny Pomanto (berkacamata) mengampanyekan agar publik Makassar mencoblos kotak kosong pada Pilkada 2018/ Foto Instagram
Pemilu
Rabu, 26 Desember 2018 17:02

Menangnya kotak kosong dan meredupnya politik dinasti 

Gelaran Pilkada 2018 melahirkan sejumlah fenomena politik.
swipe

Sebuah acara syukuran digelar Wali Kota Makassar Mohammad Ramdhan 'Danny' Pomanto di kediamannya di Jalan Amirullah, Makassar, Sulawesi Selatan, Rabu (27/6) petang itu. Para simpatisan diundang. Beragam penganan disajikan. Yel-yel pun diteriakkan.

Di depan para pendukungnya, Danny mengucap syukur. Danny bukannya sedang merayakan kemenangannya di Pilwalkot Makassar. Pasalnya, meskipun berstatus sebagai petahana, pencalonan Danny didiskualifikasi KPU Makassar karena tersangkut kasus hukum.

Alhasil, hanya ada satu calon tunggal di Pikada Makassar, yakni pasangan Munafri Arifuddin-Andi Rahmatika Dewi (Appi-Cicu). Tak tinggal diam, Danny mengampanyekan agar publik Makassar mencoblos kotak kosong. 

Nyatanya, kampanye Danny sukses. Sejumlah lembaga survei mendapuk kotak kosong sebagai pemenang Pilkada Makassar. Sekitar 53% pemegang hak pilih di Makassar mencoblos kotak kosong. Hasil serupa juga diungkapkan KPUD Makassar. "Kota Makassar mencetak sejarah baru di Indonesia. Calon tunggal kalah dari kotak kosong," ujar Danny ketika itu. 

Itu memang kali pertama kotak kosong memenangi kontestasi pilkada. Di Pilkada Serentak 2015, 2016 dan 2017, fenomena pasangan calon 'bertarung' melawan kotak kosong juga terjadi di sejumlah daerah. Namun, kotak kosong tak pernah menang.

Total ada 171 kabupaten kota dan tujuh provinsi yang ikut ambil bagian dalam Pilkada Serentak 2018. Tercatat ada 15 calon tunggal dan 11 petahana yang bertarung melawan kotak kosong. 

Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraeni, mengatakan, fenomena kotak kosong di Makassar unik karena pencalonan petahana ditolak KPU. Di sisi lain, kotak kosong mampu mengalahkan koalisi gemuk 10 partai. 

"Kejutan calon tunggal di Kota Makassar mengindikasikan bahwa pemilih mulai mampu mengkonsolidasi diri untuk melawan oligarki elit partai politik. Ini jadi pembelajaran dan evaluasi bagi parpol agar tidak menyepelekan aspirasi dan kehendak politik rakyat," ujar Titi kepada Alinea.id di Jakarta, belum lama ini.  

Sebuah acara syukuran digelar Wali Kota Makassar Mohammad Ramdhan 'Danny' Pomanto di kediamannya di Jalan Amirullah, Makassar, Sulawesi Selatan, Rabu (27/6) petang itu. Para simpatisan diundang. Beragam penganan disajikan. Yel-yel pun diteriakkan.

Di depan para pendukungnya, Danny mengucap syukur. Danny bukannya sedang merayakan kemenangannya di Pilwalkot Makassar. Pasalnya, meskipun berstatus sebagai petahana, pencalonan Danny didiskualifikasi KPU Makassar karena tersangkut kasus hukum.

Alhasil, hanya ada satu calon tunggal di Pikada Makassar, yakni pasangan Munafri Arifuddin-Andi Rahmatika Dewi (Appi-Cicu). Tak tinggal diam, Danny mengampanyekan agar publik Makassar mencoblos kotak kosong. 

Nyatanya, kampanye Danny sukses. Sejumlah lembaga survei mendapuk kotak kosong sebagai pemenang Pilkada Makassar. Sekitar 53% pemegang hak pilih di Makassar mencoblos kotak kosong. Hasil serupa juga diungkapkan KPUD Makassar. "Kota Makassar mencetak sejarah baru di Indonesia. Calon tunggal kalah dari kotak kosong," ujar Danny ketika itu. 

Itu memang kali pertama kotak kosong memenangi kontestasi pilkada. Di Pilkada Serentak 2015, 2016 dan 2017, fenomena pasangan calon 'bertarung' melawan kotak kosong juga terjadi di sejumlah daerah. Namun, kotak kosong tak pernah menang.

Total ada 171 kabupaten kota dan tujuh provinsi yang ikut ambil bagian dalam Pilkada Serentak 2018. Tercatat ada 15 calon tunggal dan 11 petahana yang bertarung melawan kotak kosong. 

Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraeni, mengatakan, fenomena kotak kosong di Makassar unik karena pencalonan petahana ditolak KPU. Di sisi lain, kotak kosong mampu mengalahkan koalisi gemuk 10 partai. 

"Kejutan calon tunggal di Kota Makassar mengindikasikan bahwa pemilih mulai mampu mengkonsolidasi diri untuk melawan oligarki elit partai politik. Ini jadi pembelajaran dan evaluasi bagi parpol agar tidak menyepelekan aspirasi dan kehendak politik rakyat," ujar Titi kepada Alinea.id di Jakarta, belum lama ini.  

Meredupnya dinasti politik

Bukan hanya kemenangan kotak kosong saja yang jadi fenomena. Pilkada 2018 juga mengindikasikan melemahnya kekuatan dinasti politik. Di Kalimantan Barat misalnya, Karolin Margret Natasha gagal meneruskan dinasti politik yang selama lebih dari 10 tahun dibangun sang ayah, Cornelis. 

Karolin yang berpasangan dengan Suryatman G dikalahkan pasangan Sutarmidji dan Ria Norsan yang meraup 51,55% suara. Adapun pasangan Karolin-Suryatman hanya memeroleh 41,79% suara. 

Kondisi serupa terjadi di Sumatra Selatan (Sumsel) dan Sulawesi Selatan (Sulsel). Di Sumsel, Dodi Reza Alex Noerdin gagal mengambil alih tampuk kepemimpinan dari sang ayah, Alex Noerdin. Di Sulsel, Nurdin Abdullah sukses memenangi pilgub di tengah dominasi dinasti politik keluarga Limpo, Mudzakkar dan Nu'mang. 

Hasil Pilkada Serentak 2018, khususnya di tingkat provinsi, juga menunjukkan melempemnya kubu petahana. Dari enam petahana yang ikut serta dalam kontestasi, hanya dua petahana yang mampu mempertahankan kursi gubernur, yakni Ganjar Pranowo di Jawa Tengah dan Ali Mazi di Sulawesi Tenggara. 

Berkaca pada sejumlah hasil survei, hasil Pilkada 2017 dan Pilkada 2018, Komisioner KPU Viryan Aziz mengatakan, terjadi perubahan perilaku pemilih dalam kontestasi elektoral. Publik, ia nilai, kian rasional dan mulai meninggalkan politik uang.  

"Masyarakat sudah tidak mau lagi suaranya dipakai untuk memilih pemimpin yang tidak sesuai dengan keinginan. Memang mental masih berkembang sampai sekarang. Masih ada upaya-upaya, tapi masyarakat semakin rasional," jelasnya.

Catatan buruk

Meskipun diwarnai gerak ke arah perbaikan, Pilkada 2018 juga punya beragam catatan buruk. Salah satunya ialah terpilihnya dua tersangka kasus korupsi sebagai kepala daerah, yakni calon Bupati Tulungagung Syahri Mulyo dan calon Gubernur Maluku Utara Ahmad Hidayat Mus. 

Itu karena KPU tak mampu melarang tersangka korupsi maju sebagai calon kepala daerah. Usai perdebatan panjang, pemerintah dan DPR sepakat memerbolehkan tersangka kasus korupsi maju sebagai calon. 

Namun demikian, status sebagai pemenang pemilu ternyata tidak mampu meloloskan keduanya dari jerat hukum. Juli lalu, KPK menahan Ahmad Hidayat karena diduga terlibat korupsi pembebasan lahan bandara. Sedangkan Syahri Mulyo dibui karena kasus dugaan korupsi proyek infrastruktur.

Catatan buruk lainnya ialah masih maraknya pelanggaran selama Pilkada 2018 berlangsung. Bawaslu mencatat terdapat 3.133 kasus pelanggaran, baik berupa hasil temuan maupun hasil laporan. Bawaslu berkilah, tingginya jumlah pelanggaran karena daerah peserta Pilkada 2018 jauh lebih besar jumlahnya ketimbang Pilkada 2017. 

Meskipun masih diwarnai pelanggaran, kecurangan dan penundaan pemungutan suara di beberapa daerah, Titi mengatakan, Pilkada 2018 berjalan dengan cukup lancar. Terlebih, pilkada dilaksanakan di 171 daerah secara serentak. 

"Memang ada hal yang perlu ditingkatkan terkait dengan pelayanan hak pilih terhadap WNI khususnya yang belum memiliki KTP elektronik, terus profesionalisme penyelenggara pemilu, kemudian juga optimalisasi KPU dalam menyampaikan informasi yang memadai," ujarnya. 

Isu netralitas penyelenggara sempat mencuat tatkala beberapa oknum petugas KPU dan Bawaslu Garut terkena operasi tangkap tangan tim Sapu Bersih Pungutan Liar (Saber Pungli) karena menerima suap dari peserta pemilu. Di Kabupaten Puncak, Papua, Ketua KPU Puncak diberhentikan karena kedapatan memihak salah satu kandidat. 

Berkaca dari dua kasus itu, Titi mengatakan, KPU harus terus membenahi diri dengan memperkuat sistem pengawasan internal, meningkatkan kualitas rekrutmen, dan menggelar pelatihan secara berkala kepada para petugas lapangan. 

"Kemudian meningkatkan akuntabilitas kinerja KPU dengan memelihara kultur kerja yang mengedepankan good government. Terakhir, melibatkan masyarakat dalam proses pemilu sekaligus untuk membantu kontrol kinerja penyelenggara pemilu," jelasnya. 

Manajer Pemantauan Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR), Alwan Ola Riantoby, mengatakan, sejumlah persoalan yang muncul pada Pilkada 2018 harus dijadikan bahan pembelajaran bagi penyelenggara demi mempersiapkan Pemilu 2019. 

"Pertama, terkait tahapan logistik yang masih belum memenuhi pirinsip, yaitu tepat jumlah, tepat waktu dan tepat spesifik mengingat 2019 adalah pemilu dengan lima surat suara, maka aspek logistik sangat krusial. Kedua, distribusi C6 harus tuntas. Ketiga, kesiapan penyelenggara dalam hal bimtek untuk KPPS. Terakhir, tidak ada lagi aktivitas kampanye di masa tenang," cetusnya. 

img
Ayu mumpuni
Reporter
img
Christian D Simbolon
Reporter
img
Christian D Simbolon
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan