Mencermati gaya komunikasi capres dan cawapres
Memanfaatkan masa kampanye, pasangan calon presiden dan calon wakil presiden Joko Widodo-Ma’ruf Amin dan Prabowo Subianto-Sandiaga Salahuddin Uno, saling melempar narasi dengan gaya komunikasi masing-masing.
Jokowi selalu tampil apa adanya, dan blusukan ke tengah-tengah masyarakat. Sedangkan Prabowo, menampilkan retorika tegas saat berpidato.
Menurut pengamat komunikasi politik dari Universitas Paramadina Hendri Satrio, gaya komunikasi pasangan capres dan cawapres yang paling efektif, tergantung kepada audiensnya.
Blusukan vs teknokrat
Gaya komunikasi Jokowi, kata Hendri, yang kerap blusukan dan bertatap muka secara langsung sudah sangat efektif.
“Itu bagus sekali untuk Jokowi,” kata Hendri ketika dihubungi, Senin (7/1).
Akan tetapi, menurut Hendri, saat Jokowi berbicara dengan gaya teknokrat, dia akan terbata-bata. Sebaliknya, gaya komunikasi ala teknokrat lebih cocok untuk Prabowo Subianto dan Sandiaga Uno.
Prabowo, katanya, tak akan tepat bila menggunakan komunikasi blusukan dan tatap muka, seperti Jokowi. Sedangkan gaya komunikasi cawapres nomor urut 01 Ma’ruf Amin, yang punya latar belakang ulama, menurutnya, harus difasilitasi keulamaannya.
“Jangan disuruh bicara dengan gaya milenial,” ujar Hendri.
Hendri melihat, gaya komunikasi masing-masing pasangan capres dan cawapres sudah pas dan efektif. Baik pasangan Jokowi-Ma’ruf dan Prabowo-Sandi, sudah dapat membedakan siapa saja audiens yang akan disasarnya.
“Tinggal kita lihat siapa yang paling bisa mendekati masyarakat,” katanya.
Sebab, lanjut Hendri, masyarakat lebih membutuhkan sosok capres dan cawapres yang bisa dekat dengan mereka, ketimbang hanya memberikan harapan-harapan melalui retorika belaka.
Memanfaatkan masa kampanye, pasangan calon presiden dan calon wakil presiden Joko Widodo-Ma’ruf Amin dan Prabowo Subianto-Sandiaga Salahuddin Uno, saling melempar narasi dengan gaya komunikasi masing-masing.
Jokowi selalu tampil apa adanya, dan blusukan ke tengah-tengah masyarakat. Sedangkan Prabowo, menampilkan retorika tegas saat berpidato.
Menurut pengamat komunikasi politik dari Universitas Paramadina Hendri Satrio, gaya komunikasi pasangan capres dan cawapres yang paling efektif, tergantung kepada audiensnya.
Blusukan vs teknokrat
Gaya komunikasi Jokowi, kata Hendri, yang kerap blusukan dan bertatap muka secara langsung sudah sangat efektif.
“Itu bagus sekali untuk Jokowi,” kata Hendri ketika dihubungi, Senin (7/1).
Akan tetapi, menurut Hendri, saat Jokowi berbicara dengan gaya teknokrat, dia akan terbata-bata. Sebaliknya, gaya komunikasi ala teknokrat lebih cocok untuk Prabowo Subianto dan Sandiaga Uno.
Prabowo, katanya, tak akan tepat bila menggunakan komunikasi blusukan dan tatap muka, seperti Jokowi. Sedangkan gaya komunikasi cawapres nomor urut 01 Ma’ruf Amin, yang punya latar belakang ulama, menurutnya, harus difasilitasi keulamaannya.
“Jangan disuruh bicara dengan gaya milenial,” ujar Hendri.
Hendri melihat, gaya komunikasi masing-masing pasangan capres dan cawapres sudah pas dan efektif. Baik pasangan Jokowi-Ma’ruf dan Prabowo-Sandi, sudah dapat membedakan siapa saja audiens yang akan disasarnya.
“Tinggal kita lihat siapa yang paling bisa mendekati masyarakat,” katanya.
Sebab, lanjut Hendri, masyarakat lebih membutuhkan sosok capres dan cawapres yang bisa dekat dengan mereka, ketimbang hanya memberikan harapan-harapan melalui retorika belaka.
Mirip Soekarno dan Soeharto
Hendri mengatakan, ada kesamaan gaya komunikasi masing-masing pasangan capres, dengan presiden-presiden Indonesia sebelumnya.
“Prabowo kadang orasi seperti Bung Karno. Gaya-gaya komunikasi Jokowi juga kadang mengikuti gaya Soeharto kalau lagi bicara,” ujar Hendri.
Namun, katanya, gaya komunikasi ini tetap tak bisa disamakan. Mereka memiliki gaya-gaya komunikasinya sendiri.
Pakar komunikasi dan pengamat politik Tjipta Lesmana dalam bukunya Dari Soekarno sampai SBY: Intrik & Lobi Politik Para Penguasa (2008) menganalisis gaya komunikasi presiden-presiden Indonesia.
Calon Presiden nomor urut 02 Prabowo Subianto berpidato saat menghadiri peringatan Hari Disabilitas Internasional di Jakarta, Rabu (5/12/2018). (Antara Foto).
Mengutip teori great man dari van Wagner, Tjipta menulis, Soekarno dilahirkan sebagai sosok pemimpin besar.
“Segala karakteristik pemimpin besar, seperti tegas, berani, teguh pada prinsip, tekun, bertanggung jawab, empati pada rakyat jelata, dan konsisten dimiliki oleh Soekarno,” tulis Tjipta di dalam bukunya.
Tjipta menulis, di mana saja Soekarno berada, dia acapkali berbicara dan berpidato dengan penuh percaya diri.
“Salah satu ciri khas Soekarno kalau berpidato ialah sekujur tubuhnya tidak bisa diam, he swings fast, seperti orang menari Samba sambil mengacung-acungkan atau menunjuk-nunjuk jari telunjuk ke satu arah, atau bertolak pinggang. Di atas panggung, Soekarno seperti seekor singa yang ganas,” tulis Tjipta.
Sementara itu, gaya komunikasi presiden kedua Indonesia Soeharto, menurut Tjipta, kental dengan kultur Jawa dan kepura-puraan. Hal tersebut membuat publik mesti berhati-hati dengannya. Tjipta menyebut, Soeharto kerap kali berbicara dengan bahasa-bahasa nonverbal, dan hanya bisa dimengerti oleh menteri-menterinya.
Gestur dan ekspresi nonverbal
Selain gaya komunikasi verbal, pasangan capres dan cawapres juga memiliki gaya komunikasi nonverbal yang khas. Pakar gestur dan pendeteksi kebohongan Handoko Gani mencoba menganalisis beberapa video di Youtube, menyoal gaya komunikasi dan ekspresi para pasangan capres dan cawapres ini.
Dalam video “Detik-detik Presiden Jokowi ingin cari dan ‘tabok’ penyebar hoaks”, Handoko mengatakan, Jokowi terbukti sangat marah ketika dirinya dituduh bagian dari Partai Komunis Indonesia (PKI), dan dikaitkan dengan pemimpin PKI DN Aidit.
Hal itu dilontarkan Jokowi ketika berpidato dalam acara pembagian sertifikat lahan kepada 1.300 warga di Kabupaten Lampung Tengah, Lampung, pada 23 November 2018.
Ekspresi wajah Joko Widodo saat berpidato menyampaikan kemarahannya, karena dituduh PKI. (Youtube).
“Namun, saat membicarakan soal keinginan ‘mau saya tabok’, tidak ditemukan kemarahan,” kata Handoko saat dihubungi, Senin (7/1).
Soal Jokowi kerap dituduh PKI tersebut, cawapres nomor urut 02 Sandiaga Uno pun berkomentar pada 8 Desember 2018. Pernyataan Sandi ada di video Youtube bertajuk “Soal isu PKI, Sandiaga Uno bersimpati kepada Jokowi”.
Dalam analisis Handoko, ekspresi wajah Sandi menunjukkan rasa prihatin kepada Jokowi atas tuduhan PKI.
“Namun, saya luruskan, alis berkerut seperti itu bukan tanda sedih,” kata Handoko, merujuk video yang dianalisisnya. “Tidak ada patokan universal bahwa sedih itu seperti demikian. Dan satu lagi, prihatin itu tidak memiliki tanda universal. Artinya, variatif setiap orang,” lanjutnya.
Lebih lanjut, Handoko mengakui, dirinya tak bisa menyatakan Sandi benar-benar prihatin. “Perlu indikator atau alat ukur lainnya dalam menghitung prihatin. Itupun jika ada,” kata Handoko.
Handoko pun menganalisis ekspresi wajah dan gestur capres nomor urut 02 Prabowo Subianto. Dalam video bertajuk “Prabowo: Kalau kita kalah, negara bisa punah” yang dilontarkan Prabowo saat pidato di acara Konfernas Partai Gerindra di Sentul International Convention Center, Bogor, pada 17 Desember 2018 itu, Handoko mengakui, tak bisa melakukan analisis ekspresi wajah dan gestur secara optimal.
“Apapun emosi yang dirasakan Prabowo saat berpidato berapi-api tersebut, kurang relevan untuk dianalisis,” ujar Handoko.
Alasannya, saat Prabowo mengatakan “rakyat ingin pemerintah yang bersih dan tidak korupsi,” Handoko mengatakan, hal tersebut perlu diverifikasi. Demikian juga perkataan Prabowo yang menyebutkan “elit yang berkuasa puluhan tahun, sudah terlalu lama mereka memberi arah yang keliru.”
“Kalaupun Prabowo marah dalam pidato tersebut, kita tidak bisa membuat hipotesa kenapa Prabowo marah? Apakah kemarahannya benar? Dan sebagainya,” kata Handoko.
Terakhir, dalam pidato bertajuk “Pidato Ma’ruf Amin ucapkan ‘buta dan budek’, Sandiaga berkomentar”, Handoko melihat, ekspresi Ma’ruf memang terlihat menunjukkan kesungguhan dalam kata-katanya itu.
Sebagai catatan, cawapres nomor urut 01 tersebut mengatakan hal itu saat memberikan sambutan dalam acara deklarasi Barisan Nusantara pada 10 November 2018. Ketika itu, dia berujar, hanya orang “buta” dan “budek” yang tak bisa melihat prestasi pemerintahan Jokowi dan Jusuf Kalla.
Lantas, siapakah yang lebih meyakinkan dari gaya berkomunikasi para pasangan capres dan cawapres ini?