Menteri Jokowi gagal ke Senayan: Korupsi atau minim prestasi?
Sejumlah menteri Kabinet Kerja Presiden Joko Widodo - Wakil Presiden Jusuf Kalla ikut berlaga dalam Pemilu Legislatif 2019. Sebagai figur publik, rupanya tidak ada kata mudah buat mereka untuk lolos ke Senayan. Setidaknya ada empat menteri yang hampir dipastikan gagal berkantor di DPR.
Keempatnya adalah Menteri Pemuda dan Olahraga Imam Nahrawi, Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi Eko Putro Sandjojo, Menteri Tenaga Kerja Hanif Dhakiri, dan Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin.
Imam, Eko dan Hanif berasal dari partai yang sama: Partai Kebangkitan Bangsa (PKB). Sedangkan Lukman adalah dedengkot Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Imam berlaga di daerah pemilihan (dapil) DKI Jakarta I, sedangkan Eko maju dari dapil Bengkulu. Hanif dan Lukman bertarung di dapil yang sama: Jawa Barat VI.
Di luar mereka, masih ada sejumlah anggota kabinet yang mencalonkan jadi anggota DPR. Mereka adalah Menteri Hukum dan HAM Yasonna H Laoly dan Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Puan Maharani. Kedua politikus PDI Perjuangan ini masing-masing berlaga di dapil Sumatera Utara I dan Jawa Tengah V.
Mengapa empat menteri itu gagal ke Senayan? Pengamat politik Ray Rangkuti menjelaskan, bisa jadi menteri itu salah memilih dapil. Atau karena mereka tidak bisa menyapa masyarakat di dapilnya. Alasannya, terbentur menyelesaikan pekerjaan rumah menteri yang menumpuk.
"Kalau menteri kelihatannya tidak punya waktu melakukan kampanye secara personal. Meskipun spanduknya banyak, tapi mungkin tidak punya waktu melakukan pendekatan kepada masyarakat," ucap Ray.
Faktor lain, duga Ray, para menteri itu terbelit kasus korupsi. Publik tidak lagi memercayai mereka.
Saat ini, Lukman dan Imam mesti bolak-balik menghadap penyidik di Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Lukman diduga terlibat kasus suap jual beli jabatan di kementerian yang dipimpinnya. Sedangkan Imam diduga terkait kasus dugaan korupsi hibah KONI. Keduanya masih berstatus saksi.
Peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formaappi) Lucius Karus punya analisa lain. Para menteri itu kalah, kata Lucius, karena kalah pamor dengan sejumlah tokoh yang ikut mencalonkan diri ke DPR.
Untuk mendongkrak popularitas, jelas Lucius, idealnya menteri rajin turun ke daerah pemilihan, seperti caleg lainnya. Waktu yang tersedia bagi menteri untuk berkampanye memang sempit. Justru itulah tantangannya.
Sebab lain, duga Lucius, karena kinerja menteri tidak maksimal. Tidak ada sesuatu yang spesial yang membuat kinerja para menteri itu menjadi pembicaraan publik.
Bukan prestasi
Psikologi politik publik juga menjadi salah satu faktor penentu. Pengamat politik Universitas Telkom Dedi Kurnia Syah meyakini sejumlah pemilih menjatuhkan pilihan pada tokoh yang disukai, bukan mereka yang berprestasi.
Bisa jadi, lanjut Dedi, para menteri punya prestasi yang tidak diragukan. Tapi, kesukaan pemilih tidak linier dengan prestasi.
Pemilu 2019, menurut Dedi, juga tidak menguntungkan bagi tokoh-tokoh caleg karena ada sentimen antara calon presiden nomor urut 02 Prabowo Subianto dan calon presiden petahana Joko Widodo. Mereka yang menyukai Prabowo adalah anti-Jokowi. Demikian pula sebaliknya.
"Tidak bisa dipungkiri, ini berimbas pada mereka (caleg). Meskipun Jokowi memenangkan pilpres, kondisinya berbeda karena Jokowi memeroleh suara kolektif nasional. Sementara mereka (caleg) hanya per dapil," ujar Dedi.
Nama yang paling terpengaruh sentimen suara Presiden ini, jelas Dedi, adalah Hanif Dhakiri. Hanif, kata Dedi, terkena imbas karena PKB dikenal sebagai partai utama pendukung paslon 01 Jokowi-Ma'ruf Amin.
"Nah, para menteri ini terkena imbas (dari pemilih) anti-Jokowi. Meskipun Jokowi menang, tidak berarti mereka dapat suara, karena perbedaan porsi wilayah pemilihan. Mereka hanya mengandalkan suara dapil," tutur Dedi.
Secara politis, kata Dedi, beban para menteri lebih berat dari figur publik lain. Tokoh yang mengandalkan popularitas hanya perlu meyakinkan pemilih secara persuasif, sementara para menteri tidak bisa demikian. Karena kinerja mereka sudah bisa dinilai langsung publik.
"Tren pemilih saat ini juga mengalami adanya pergeseran, mereka lebih cenderung memilih tokoh daripada parpolnya. Itulah mengapa banyak juga kalangan selebritis yang tidak berhasil," ucap Dedi.
Evaluasi partai
Kegagalan Menteri Lukman lolos ke Senayan membuat PPP perlu segera melakukan evaluasi. Wakil Ketua Umum PPP Mohammad Arwani Thomafi menjelaskan, partai berencana mengevaluasi semua caleg yang gagal atau lolos.
"Kami melakukan evaluasi setelah KPU resmi memutuskan. Masih kami rekap daftarnya," kata Arwani.
Sementara itu, Ketua DPP PKB Abdul Kadir Karding, enggan berkomentar soal kadernya yang gagal menjadi anggota legislatif. "Belum tahu persis detailnya, karena pengumuman KPU belum ada," kata Karding.
Sebenarnya, pindah jalur menteri kabinet ke legislatif bukan baru di negeri ini. Pada periode kedua kepemimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (2010-2014) jumlah menteri yang menempuh cara ini lebih banyak: 10 orang.
Mereka adalah Menteri UKM Syarief Hasan, Menteri Energi dan Sumberdaya Mineral (ESDM) Jero Wacik, Menteri Perhubungan E.E. Mangindaan, Menkumham Amir Syamsuddin, dan Menpora Roy Suryo. Kelimanya dari Demokrat.
Dari PKS, ada Menteri Komunikasi dan Informatika Tifatul Sembiring dan Menteri Pertanian Suswono. Lalu dari PKB ada Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi, yang saat itu juga menjadi Ketua Umum PKB Muhaimin Iskandar dan Menteri Perumahan Desa Tertinggal Hemi Faisal.
Lalu, dari PAN ada Menteri Kehutanan Zulkifli Hasan. Dari kesepuluh nama tersebut, hanya tiga yang tidak lolos: Amir Syamsuddin, Roy Suryo, dan Suswono.