Indonesia bakal memasuki masa kampanye pada 28 November 2023 sampai pada 10 Februari 2024. Semua pihak pun berharap agar pelaksanaan kampanye Pemilu 2024 berjalan damai.
Bahkan untuk membangun dan meningkatkan komitmen peserta pemilu agar pemilu berjalan secara damai, Komisi Pemilihan Umum (KPU) bakal menggelar deklarasi Pemilu Damai pada Senin (27/11). Hal itu tentunya juga dimaksudkan untuk memaknai pesta demokrasi harus dilakukan dengan suasana riang dan bahagia.
Deklarasi yang diselenggarakan penyelenggara pemilu itu sangat penting. Mengingat, penyelenggara pemilu, yakni KPU, Bawaslu, dan DKPP sangat berkepntingan menjaga damainya Pemilu 2024. Di sisi lain, KPU, Bawaslu, dan DKPP harus betul-betul adil dan berpegang teguh pada aturan yang benar agar pelaksanaan pemilu bisa damai.
"Tentunya yang harus berkomitmen menjalankan pemilu damai bukan hanya penyelenggara pemilu. Tetapi juga beberapa unsur lainnya. Seperti masyarakat, pemerintah, serta peserta pemilu," ucap pengamat politik dari UI Cecep Hidayat, saat dihubungi Alinea.id, Senin (20/11).
Masyarakat selaku pemilik hak pilih, harus bisa mengawal agar Pemilu 2024 berjalan dengan damai. Di mana, masyakat perlu memilih dengan bijak peserta pemilu yang akan dipilih dengan tetap menjaga perdamaian bangsa. Dan itu bukan hal yang sulit tetapi juga tidak mudah.
Di mana, masyarakat harus bisa menghargai setiap pilihan dan perbedaan yang ada. Perdebatan yang terjadi harus mengedepankan rasionalitas sesuai dengan visi dan misi peserta pemilu. Termasuk di dalamnya menyaring informasi yang beredar di sosial media dan tidak mudah terprovokasi. Setelah memilih, masyarakat juga menerima hasilnya dengan lapang dada. Jika itu semua bisa dilakukan, maka tidak ada lagi informasi soal rusaknya hubungan antarsesama warga negara akibat pemilu.
Di ranah ini, juga ada masyarakat sipil yang harus melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan Pemilu 2024 agar bisa berjalan dengan damai. Di dalamnya termasuk media. Dewan Pers sendiri telah meminta agar media ikut menjaga agar pemilu berjalan dengan damai.
Di sisi pemerintah, pemilu damai bisa terwujud dengan menjaga netralitas seluruh aparatur negara. Mulai dari tingkat pusat hingga desa. Dan itu bukan hanya lips service saja. Tetapi harus benar-benar dilaksanakan. Dan sayangnya, hal ini masih diragukan sejumlah kalangan. Terlebih, ada anak dari petinggi negara ikut menjadi peserta Pilpres 2024.
"ASN, Polri, dan TNI harus bisa menjaga netralitas. Tidak boleh ada konflik kepentingan karena adanya kerabat pemimpin negara menjadi salah satu kontestan Pilpres 2024," tutur dia.
Ketika pemerintah tidak bisa menjaga netralitas mereka, ini bisa meningkatkan ketidakpercayaan publik dalam integritas pemilihan. Rakyat bakal tidak yakin kalau pemilihan berlangsung secara adil dan bebas dari manipulasi pemerintah. Isu netralitas pemerintah menjadi penting, mengingat besarnya potensi suara yang dihasilkan serta berbagai kemudahan yang bakal diperoleh peserta pemilu.
Sementara dari sisi peserta pemilu, baik itu pilpres dan pileg, harus taat pada aturan yang telah ditetapkan penyelenggara pemilu dan kesepakatan bersama. Walaupun bisa menjaga pemilu damai di tingkat elite, tetapi di tingkat akar rumput, peserta pemilu juga harus melakukan berbagai upaya agar pemilu damai, lancar dan berintegritas bisa terwujud.
Namun, Ketua Badan Pengurus SETARA Institute Ismail Hasani malah mengkhawatirkan kalau kampanye pemilu damai dan teduh dijadikan sebagai tameng mengancam kebebasan sipil. Hal itu terjadi setelah posisi benturan kepentingan penguasa dengan kandidat tertentu.
"Ajakan damai menjadi isu demokrasi dan keadilan pemilu karena mengkritik kandidat dianggap bikin gaduh. Mendorong netralitas berpotensi berhadapan dengan hukum. Mengoreksi dan menjadikan isu pelanggaran konstitusi dan politik dinasti dianggap bikin gaduh dan menebar hoaks. Lalu situasi damai dan teduh itu ditujukan untuk apa?" tanya dia dalam keterangannya.
Berbagai keprihatinan tersebut, menjadi kegelisahan publik dan diyakininya terus akan mewarnai Pilpres dan Pemilu 2024. Bahkan ada indikasi kalau keprihatinan ini kini bertransformasi menjadi ketakutan dan teror demokrasi yang mengancam kebebasan sipil. Transformasi destruktif ini, akan semakin kencang karena posisi benturan kepentingan penguasa dengan kandidat tertentu. Sehingga akan sulit menjadi wasit yang netral. Sulit menjadi tuan rumah pertandingan yang ramah, meski berulang kali menjamu makan bersama.
Untuk itu, demi keadilan pemilu, Setara Institute mendorong netralitas genuine yang didukung oleh sistem, standar operasi, dan penyikapan atas dugaan pelanggaran alat-alat negara secara transparan dan berkeadilan. Langkah ini akan efektif hanya jika dimulai dari Presiden Jokowi.