Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan ambang batas parlemen (parliamentary threshold) 4% tidak diterapkan pada Pemilihan Umum (Pemilu) 2029. Namun, kebijakan tersebut tetap berlaku pada Pemilu 2024.
CEO Voxpol Center Research and Consulting, Pangi Syarwi Chaniago, mendukung parliamentary threshold diturunkan karena membuka peluang partai kecil dan baru untuk memiliki perwakilan di DPR. Sebab, jika merujuk hasil hitung cepat (quick count) Pemilu 2024, raihan suara mereka hanya sekitar 0,2-2,6%.
Ia melanjutkan, ketika parliamentary threshold 4% diberlakukan pada Pemilu 2024, banyak suara rakyat yang terbuang sia-sia, khususnya kepada partai kecil. Pangkalnya, tidak bisa dikonversi menjadi kursi mengingat suara total yang diraih partai tersebut tidak menembus ambang batas parlemen.
"Suaranya ada di atas 100.000 bahkan ada yang menembus 200.000 perolehan suara pribadi yang diperoleh caleg tersebut. Namun, tidak lolos dan tidak menjadi kursi di parlemen karena partai tersebut tak lolos ambang batas 4%," jelasnya kepada Alinea.id.
Diperkirakan total suara yang hilang pada Pemilu 2024 mencapai 15,6 juta suara. Itu berasal dari partai-partai yang tidak menembus parliamentary treshold, seperti Partai Buruh, Partai Solidaritas Indonesia (PSI), Partai Bulan Bintang (PBB), Partai Perindo, Partai Gelora, dan Partai Ummat.
Menurut Ipang, sapaannya, ambang batas parlemen sebaiknya diturunkan menjadi 1-2%. Tujuannya, tidak ada suara rakyat yang terbuang karena bisa dikonversi menjadi kursi.
Terpisah, pengamat politik Universitas Al Azhar, Ujang Komarudin, menilai, ambang batas parlemen 1% ideal. Apalagi, angka tersebut sesuai permohonan Perludem, yang menggugat parliamentary threshold 4% ke MK.
Apabila ambang batas parlemen dihapus alias 0%, sambungnya, justru membuat situasi akan berantakan. Alasannya, menjadikan partai tidak bersusah payah berjuang meraih suara rakyat.
"Harus ada pembatasan, jangan sampai 0% karena nanti banyak partai gaib yang tahu-tahu lolos ke parlemen. Itu lucu juga," jelasnya kepada Alinea.id.
Di sisi lain, Ujang berpendapat, putusan MK tentang parliamentary threshold bisa menjadi yurisprudensi untuk menggugat ambang batas presiden (presidential threshold) 20%. Jika itu terjadi dan presidential threshold menjadi 0%, maka semua partai berhak mengajukan pasangan calon presiden (capres).
"Gemboknya sudah terbuka untuk mengajukan ambang batas presiden," ucapnya.