Niat calon presiden nomor urut 2 Prabowo Subianto untuk membangun koalisi besar sebagaimana era pemerintahan Joko Widodo (Jokowi) periode kedua kian jelas. Setelah merayu NasDem, Prabowo juga diisukan mengajak Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) untuk bergabung di koalisi parpol pendukung Prabowo-Gibran.
Rumor politik itu setidaknya dibenarkan Ketua Tim Kerja Strategis Prabowo Gibran, Bahlil Lahadalia. Tanpa merinci, ia menyebutkan akan ada partai politik dari kubu oposisi yang bergabung dengan koalisi Prabowo-Gibran.
"Semua dekat, kok... Feeling saya ada (yang akan bergabung). Warnanya sejuk," kata Bahlil kepada wartawan di Istana Kepresidenan, Jakarta, Jumat (20/3) lalu.
PKB dan NasDem merupakan parpol pengusung pasangan Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar (AMIN) di Pilpres 2024. Usai bertemu Prabowo di NasDem Tower, Jakarta Pusat, beberapa hari lalu, Ketum NasDem Surya Paloh mengaku parpolnya berpeluang bergabung dengan koalisi Prabowo-Gibran.
Tawaran untuk bergabung juga datang ke PDI-P. Februari lalu, Wakil Ketua Tim Kampanye Nasional (TKN) Prabowo-Gibran, Eddy Dwiyanto Soeparno mengatakan pintu bagi PDI-Perjuangan untuk bergabung di pemerintahan Prabowo-Gibran juga terbuka lebar.
Menurut dia, Prabowo berencana membangun koalisi besar sebagaimana yang dibentuk Presiden Jokowi. "Membentuk koalisi besar merupkan formula untuk membangun pemerintahan yang stabil," kata Eddy dalam wawancara dengan Bloomberg Television.
Jika terealisasi, analis politik dari Universitas Brawijaya (Unibraw) George Towar Ikbal Tawakkal memprediksi koalisi besar yang dibangun Prabowo bakal menghadirkan beragam masalah. Salah satunya ialah postur koalisi pendukung pemerintah dan oposisi yang timpang. Itu menyebabkan mekanisme check and balances di pemerintahan melemah.
Di lain sisi, Prabowo-Gibran juga harus menyiapkan jatah kekuasaan bagi parpol-parpol yang baru bergabung. Ada kemungkinan Prabowo menambah jabatan wakil menteri dan membentuk lembaga baru hanya untuk mengakomodasi kepentingan parpol pendukung koalisi.
"Atau bisa juga dengan transaksi dengan politik di daerah, semisal ada yang dapat satu menteri, tapi nanti akan didukung di pilgub atau pilkada di daerah. Itu sangat memungkinkan terjadi," ucap Ikbal kepada Alinea.id, Rabu (28/3).
Saat ini, Prabowo-Gibran didukung empat parpol penghuni parlemen, yakni Golkar, Gerindra, Partai Amanat Nasional (PAN), dan Demokrat. Masuknya parpol-parpol baru di koalisi itu, menurut Ikbal, potensial merusak keharmonisan di internal koalisi.
"Ada potensi pecah kongsi dan tidak harmonis apabila Nasdem dan PKB yang semula berbeda kubu dalam pilpres masuk pemerintahan. Apalagi, dampaknya mengurangi jatah menteri bagi parpol. Tentu ini akan menimbulkan kekecewaan pada pendukung awal. Pasti mereka akan kecewa," ucap Ikbal.
Jika kedua parpol itu berhasil dirayu, praktis hanya tersisa PDI-P dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS) di kubu oposisi. Meskipun ideologi kedua parpol itu berbeda, Ikbal meyakini PDI-P dan PKS bisa memegang peran sebagai penyeimbang pemerintah.
"PDI-P itu dan PKS sama- sama punya DNA oposisi. Mereka bisa menjalankan fungsi dan peran di luar pemerintahan. PDI-P dan PKS tidak harus bergandengan tangan sebagai kubu oposisi," kata dia.
Secara khusus, Ikbal menilai PDIP bisa memanfaatkan posisi oposisi untuk menguatkan kelembagaan partai dan memunculkan tokoh-tokoh baru yang potensial diusung jadi kandidat pemimpin di Pemilu 2029.
"Ketimbang menjadi koalisi pemerintah. Koalisi pemerintah hanya ikut saja, enggak akan kelihatan kinerjanya. Tetapi, jika PDI-P itu menjadi penyeimbang, bisa kelihatan," ucap Ikbal.
Peneliti politik dari Badan Riset dan Inovasi (BRIN) Firman Noor memandang peta kekuatan koalisi dan oposisi masih sangat dinamis. Menurut dia, format koalisi dan oposisi yang bakal terbangun akan sangat bergantung pada lobi-lobi politik yang dijalankan tim Prabowo-Gibran.
"Lobi-lobi itu digencarkan atau seberapa keras lobi-lobi untuk bergabung ke pemerintahan. Menurut saya, (koalisi besar yang dibangun) tidak akan jauh berbeda (dengan era Jokowi)," ucap Firman kepada Alinea.id, Rabu(27/3).
Firman sepakat upaya Prabowo membangun koalisi tambun potensial memicu friksi di internal parpol pendukung. Bukan tidak mungkin parpol yang sejak awal mengusung Prabowo-Gibran kecewa karena jatahnya berkurang dan hengkang dari koalisi.
"Artinya, segalanya bisa terjadi. Toh, memang kemudian mengambil posisi tertentu dan konsisten dilakukan oleh pemerintah yang akan datang itu juga masih belum pasti. Biasanya parpol yang ada di oposisi ini juga belum pasti bisa konsisten lama," kata Firman.