Analis politik Universitas Telkom Dedi Kurnia Syah Putra menyebut acara Munajat 212 sebagai upaya memelihara politik identitas. Pasalnya, acara yang digelar alumni aksi 212 itu masih berkutat di persoalan memilih pemimpin yang sejalan dengan ideologi politik mereka.
"Asosiasi 212 tidak dapat dipisahkan dari aktivitas politik identitas. Sejak awal pesan mereka jelas memilih dari kalangan yang mereka anggap sejalan secara ideologis, kondisi itu sengaja dipelihara untuk menjalankan politik identitas," kata Dedi saat dihubungi Alinea.id, Jumat (22/2).
Munajat 212 digelar di Silang Monas, Jakarta Pusat, Kamis (21/2). Sejumlah petinggi partai politik pengusung Prabowo-Sandi hadir dalam acara tersebut, semisal Ketua Umum Partai Amanat Nasional (PAN) Zulkifli Hasan, Wakil Ketua Dewan Syuro PKS Hidayat Nurwahid dan Wakil Ketua Umum Partai Gerindra Fadli Zon.
Menurut Dedi, pergeseran niat telah terjadi dalam Munajat 212 tersebut. Awalnya gerakan 212 disebut sebagai reaksi sebagian Muslim terhadap pernyataan mantan Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama (BTP) yang mengutip surat Al Maidah.
Namun, kini BTP telah bebas setelah menjalani hukuman karena pernyataanya tersebut. Karena itu, embel-embel 212 dalam Munajat 212 tidak lagi relevan. "Tidak adanya konsistensi antara gerakan dengan isu yang diperjuangkan," kata dia.
Indikasi Munajat 212 sebagai gerakan politik, jelas Dedi, mudah terlihat dari inkonsistensi perjuangan mereka. Saat ini, para alumni 212 tidak sedang berurusan dengan 'musuh Islam'. Di lain sisi, pesan yang disampaikan masih sama, yaitu ihwal memilih pemimpin. "Tentu yang demikian itu politis," ujarnya.
Dalam Munajat 212, Zulkifli sempat didapuk untuk berorasi di depan massa. Dalam orasinya, Zulkifli berulangkali melontarkan pernyataan tendensius 'menggelitik' reaksi massa.
"Pemilihan menentukan nasib kita, nasib Indonesia. Persatuan nomor 1, soal presiden?" ujar Zulkifli hingga tiga kali.
Ribuan massa Munajat 212 pun langsung koor. "Nomor 2!" teriak mereka secara serempak.
Selain orasi Zulkifli, Fadli Zon juga menampilkan salam 2 jari di acara tersebut.
Juru bicara Tim Kampanye Nasional Jokowi-Ma'ruf Tb Ace Hasan Syadzily mengatakan nuansa politis sangat kentara dalam acara tersebut. "Patut diduga acara itu merupakan bagian dari politisasi agama dan kampanye politik," ujar Ace.
Kumpulkan bukti
Direktur Hukum dan Advokasi TKN Jokowi-Ma'ruf Amin, Ade Irfan Pulungan menyayangkan acara selawat dan zikir bersama itu dirasuki kepentingan politik. "Jangan dijadikan acara yang bersifat keagamaan, judulnya keagamaan, tetapi isinya melakukan kampanye terhadap pasangan calon tertentu. Ini yang kami protes," katanya.
TKN Jokowi-Ma'ruf, kata Irfan, sedang menghimpun bukti-bukti foto dan video Munajat 212 untuk dilaporkan ke Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu). "Banyak dugaan memang terjadi pelanggaran karena memang ada beberapa pengurus BPN yang hadir saat Munajat 212. Mereka juga melontarkan kalimat yang terindikasi dugaan kampanye untuk nomor urut 02," tuturnya.
Irfan juga menyayangkan pemberian izin pelaksanaan acara tersebut oleh Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan. "Kami menganggap itu ditunggangi kelompok tertentu, kalau memang izinnya terkait masalah keagamaan seharusnya ada pantauan secara resmi dari pihak gubernur," ucapnya.