Partai politik rebutan pemilih dari iklan televisi
Secara sederhana, iklan adalah berita pesanan untuk mendorong atau membujuk khalayak agar tertarik pada apa yang ditawarkan. Bukan hanya barang dan jasa, urusan memengaruhi orang untuk memilih dalam konstelasi pemilu pun mesti beriklan.
Partai politik kerap “menjual diri” melalui aneka medium, seperti spanduk, bendera, media sosial, baliho, dan video di televisi.
Menurut Akhmad Danial di dalam bukunya Iklan Politik TV: Modernisasi Kampanye Politik Pasca Orde Baru (2009), Pemilu 2004 tercatat sebagai pemilu yang mampu mempertemukan dunia politik dengan dunia pemasaran. Saat itu, iklan dan media massa, terutama televisi, menjadi semacam mesin politik baru.
Di ajang Pemilu 2019, beragam konsep iklan dimunculkan 16 partai politik di televisi. Beberapa menampilkan ketua umum mereka, calon wakil presiden, calon anggota legislatif, atau calon presiden yang mereka dukung. Yang lainnya, hanya menampilkan anak-anak muda dengan latar musik mars partai.
Misalnya, Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) menampilkan video iklan kegiatan “Konsolidasi Kader PKB 1 kan Indonesia”. Calon wakil presiden nomor urut 01 Ma’ruf Amin dan Ketua Umum PKB Muhaimin Iskandar disorot dominan.
Di iklan tersebut, pidato Ma’ruf yang menginginkan orang Nahdlatul Ulama balik ke PKB ditampilkan. Partai Gerindra mengangkat calon presiden nomor urut 02 Prabowo Subianto dalam sejumlah aktivitas di berbagai tempat, dengan lagu latar Mars Gerindra.
Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) menampilkan sosok Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri yang mengajak anak muda untuk bergerak dan berpihak. Di akhir iklan, foto Joko Widodo, Megawati, dengan foto Sukarno besar dipampang sebagai latar belakang.
Figur dan milenial
Dari seluruh iklan partai politik, Partai Demokrat tampil dengan menegaskan prestasi mereka, sepanjang 10 tahun berkuasa. Komandan Komando Tugas Bersama Partai Demokrat Agus Harimurti Yudhoyono atau AHY ditampilkan untuk mengungkap prestasi partai yang identik dengan warna biru ini.
Menurut Wakil Sekretaris Jenderal Partai Demokrat Renanda Bachtar, iklan partai ini diputar di enam stasiun televisi. Sebelum menampilkan iklan memaparkan prestasi partainya selama 10 tahun berkuasa, partai ini membuat iklan berbasis animasi dan jingle.
Renanda mengatakan, ada top isu dari pesan iklan Demokrat, yakni pesan posisi Demokrat untuk menjaga persatuan, demokrasi, dan pemilu sehat, serta program usungan Demokrat.
“Iklan-iklan itu untuk memperkuat posisi kita, agar masyarakat tak tersedot hanya ada Jokowi, Prabowo, PDIP, dan Gerindra,” kata Renanda saat dihubungi reporter Alinea.id, Selasa (9/4).
Menurut Renanda, alasan memilih sosok AHY untuk menjadi “bintang iklan” Partai Demokrat, karena ia punya nilai elektabilitas. Meski, tak bisa dimungkiri, masih ada kader lainnya, seperti mantan Gubernur Jawa Timur Soekarwo.
“Harus ada regenerasi. AHY paling pas menjadi figur ketika Pak SBY tidak bisa lagi tampil,” ujar Renanda.
Konsep iklan Partai Demokrat berbeda dengan Partai Solidaritas Indonesia (PSI). Mengusung pemilih dari generasi milenial, partai kontestan baru di pemilu ini membuat beberapa video iklan sederhana.
“Masyarakat juga menanggapi positif. Mereka suka. Video kami juga menampilkan konsep baru. Selama ini, video iklan parpol umumnya ketum-ketum dengan gaya kuno,” kata juru bicara PSI sekaligus calon anggota legislatif (caleg) Sumatera Utara III Dara Adinda Kesuma Nasution saat dihubungi, Selasa (9/4).
Iklan PSI dengan ketua umum mereka, Grace Natalie dan sejumlah figur dalam partai ini, menampilkan tebak-tebakan dan lontaran garing. Lalu, kerap diakhiri dengan kalimat: “Udah? Udah?” Iklan itu, kata Dara, sebagai sosialisasi PSI.
Terakhir, mereka menghadirkan iklan dengan lagu dangdut yang mengajak orang memilih partai berlambang bunga dalam genggaman ini.
“Iklan politik bisa fun, bisa sambil menyanyi. Iklan dangdut itu masyarakat di bawah suka banget dan hafal lagunya,” tutur Dara.
Dara mengatakan, iklan PSI mendapatkan reaksi dari masyarakat dan warganet. Menurutnya, hal itu menunjukkan dari segi pengetahuan tentang PSI tercapai.
“Akhirnya masyarakat jadi ngomongin PSI,” kata dia.
Berdasarkan riset Alinea.id ketika menelusuri Twitter dari 9 November 2018 hingga 9 April 2019, iklan PSI mendapatkan respons dari anak muda berusia 18 hingga 25 tahun, sebesar 38,2% (1.321 akun). Usia 26 hingga 35 tahun sebesar 35,4% (1.225 akun). Usia 35 tahun ke atas sebesar 22,8% (789 akun), dan usia 18 tahun ke bawah 3,6% (125 akun).
Sedangkan Partai Demokrat mendapatkan respons dari usia 18 hingga 25 tahun sebesar 42,3% (907 akun), usia 26 hingga 35 tahun sebesar 31% (665 akun), di atas 35 tahun sebesar 22,4% (480 akun), dan di bawah 18 tahun sebesar 4,3% (93 akun).
Secara sederhana, iklan adalah berita pesanan untuk mendorong atau membujuk khalayak agar tertarik pada apa yang ditawarkan. Bukan hanya barang dan jasa, urusan memengaruhi orang untuk memilih dalam konstelasi pemilu pun mesti beriklan.
Partai politik kerap “menjual diri” melalui aneka medium, seperti spanduk, bendera, media sosial, baliho, dan video di televisi.
Menurut Akhmad Danial di dalam bukunya Iklan Politik TV: Modernisasi Kampanye Politik Pasca Orde Baru (2009), Pemilu 2004 tercatat sebagai pemilu yang mampu mempertemukan dunia politik dengan dunia pemasaran. Saat itu, iklan dan media massa, terutama televisi, menjadi semacam mesin politik baru.
Di ajang Pemilu 2019, beragam konsep iklan dimunculkan 16 partai politik di televisi. Beberapa menampilkan ketua umum mereka, calon wakil presiden, calon anggota legislatif, atau calon presiden yang mereka dukung. Yang lainnya, hanya menampilkan anak-anak muda dengan latar musik mars partai.
Misalnya, Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) menampilkan video iklan kegiatan “Konsolidasi Kader PKB 1 kan Indonesia”. Calon wakil presiden nomor urut 01 Ma’ruf Amin dan Ketua Umum PKB Muhaimin Iskandar disorot dominan.
Di iklan tersebut, pidato Ma’ruf yang menginginkan orang Nahdlatul Ulama balik ke PKB ditampilkan. Partai Gerindra mengangkat calon presiden nomor urut 02 Prabowo Subianto dalam sejumlah aktivitas di berbagai tempat, dengan lagu latar Mars Gerindra.
Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) menampilkan sosok Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri yang mengajak anak muda untuk bergerak dan berpihak. Di akhir iklan, foto Joko Widodo, Megawati, dengan foto Sukarno besar dipampang sebagai latar belakang.
Figur dan milenial
Dari seluruh iklan partai politik, Partai Demokrat tampil dengan menegaskan prestasi mereka, sepanjang 10 tahun berkuasa. Komandan Komando Tugas Bersama Partai Demokrat Agus Harimurti Yudhoyono atau AHY ditampilkan untuk mengungkap prestasi partai yang identik dengan warna biru ini.
Menurut Wakil Sekretaris Jenderal Partai Demokrat Renanda Bachtar, iklan partai ini diputar di enam stasiun televisi. Sebelum menampilkan iklan memaparkan prestasi partainya selama 10 tahun berkuasa, partai ini membuat iklan berbasis animasi dan jingle.
Renanda mengatakan, ada top isu dari pesan iklan Demokrat, yakni pesan posisi Demokrat untuk menjaga persatuan, demokrasi, dan pemilu sehat, serta program usungan Demokrat.
“Iklan-iklan itu untuk memperkuat posisi kita, agar masyarakat tak tersedot hanya ada Jokowi, Prabowo, PDIP, dan Gerindra,” kata Renanda saat dihubungi reporter Alinea.id, Selasa (9/4).
Menurut Renanda, alasan memilih sosok AHY untuk menjadi “bintang iklan” Partai Demokrat, karena ia punya nilai elektabilitas. Meski, tak bisa dimungkiri, masih ada kader lainnya, seperti mantan Gubernur Jawa Timur Soekarwo.
“Harus ada regenerasi. AHY paling pas menjadi figur ketika Pak SBY tidak bisa lagi tampil,” ujar Renanda.
Konsep iklan Partai Demokrat berbeda dengan Partai Solidaritas Indonesia (PSI). Mengusung pemilih dari generasi milenial, partai kontestan baru di pemilu ini membuat beberapa video iklan sederhana.
“Masyarakat juga menanggapi positif. Mereka suka. Video kami juga menampilkan konsep baru. Selama ini, video iklan parpol umumnya ketum-ketum dengan gaya kuno,” kata juru bicara PSI sekaligus calon anggota legislatif (caleg) Sumatera Utara III Dara Adinda Kesuma Nasution saat dihubungi, Selasa (9/4).
Iklan PSI dengan ketua umum mereka, Grace Natalie dan sejumlah figur dalam partai ini, menampilkan tebak-tebakan dan lontaran garing. Lalu, kerap diakhiri dengan kalimat: “Udah? Udah?” Iklan itu, kata Dara, sebagai sosialisasi PSI.
Terakhir, mereka menghadirkan iklan dengan lagu dangdut yang mengajak orang memilih partai berlambang bunga dalam genggaman ini.
“Iklan politik bisa fun, bisa sambil menyanyi. Iklan dangdut itu masyarakat di bawah suka banget dan hafal lagunya,” tutur Dara.
Dara mengatakan, iklan PSI mendapatkan reaksi dari masyarakat dan warganet. Menurutnya, hal itu menunjukkan dari segi pengetahuan tentang PSI tercapai.
“Akhirnya masyarakat jadi ngomongin PSI,” kata dia.
Berdasarkan riset Alinea.id ketika menelusuri Twitter dari 9 November 2018 hingga 9 April 2019, iklan PSI mendapatkan respons dari anak muda berusia 18 hingga 25 tahun, sebesar 38,2% (1.321 akun). Usia 26 hingga 35 tahun sebesar 35,4% (1.225 akun). Usia 35 tahun ke atas sebesar 22,8% (789 akun), dan usia 18 tahun ke bawah 3,6% (125 akun).
Sedangkan Partai Demokrat mendapatkan respons dari usia 18 hingga 25 tahun sebesar 42,3% (907 akun), usia 26 hingga 35 tahun sebesar 31% (665 akun), di atas 35 tahun sebesar 22,4% (480 akun), dan di bawah 18 tahun sebesar 4,3% (93 akun).
Kelebihan dan kelemahan
Peneliti di Pusat Penelitian Politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Wasisto Raharjo Jati mengatakan, saat ini masyarakat cenderung tertarik dengan iklan partai politik di televisi. Pesan yang bersifat multimedia, kata dia, mudah ditangkap dan terkesan profesional.
“Itu menunjukkan kesungguhan, komitmen, dedikasi dari partai,” ujarnya saat dihubungi, Selasa (9/4).
Keuntungan lainnya, video bisa diduplikasi dan disebarluaskan. Apalagi, kata dia, dalam masyarakat mengambang, isi iklan politik bisa menarik perhatian mereka untuk mau memilih.
Kelemahan video iklan partai politik, menurut Wasisto, ongkosnya lebih mahal. Selain itu, bisa jadi pesannya tidak pas.
“Karena yang kita lihat video-video parpol itu mengambil tema besar,” kata dia.
Sementara, katanya, yang dibayangkan masyarakat tidak seperti itu. Ada kesenjangan informasi.
“Misal, video antikorupsi Demokrat pada 2009, pesannya seolah-olah partai mengidentifikasi bersih dan teguh melawan korupsi. Masyarakat punya memori kuat terhadap perilaku partai politik. Jangan diasumsikan masyarakat tak punya memori akan ingatan yang sudah terjadi sebelumnya,” katanya.
Kelemahan lainnya, video bisa mudah dipelintir lewat edit video. Hal itu, katanya, bisa menjadi senjata makan tuan. Wasisto juga mengatakan, pesan video partai politik belum tentu merangkum situasi dan kondisi di masyarakat.
“Bisa jadi satu video itu hanya mewakili kepentingan masyarakat. Itu kurang disadari parpol,” tuturnya.
Lebih menonjolkan hiburan
Sementara itu, menurut Ketua Program Studi S1 Departemen Ilmu Komunikasi, Universitas Gadjah Mada (UGM) Muhamad Sulhan, iklan partai politik di televisi merupakan media alternatif dalam kampanye politik. Selain itu, hal ini membawa demokrasi Indonesia pada sebuah kemajuan, sekaligus juga potensi kemunduran.
Potensi kemunduran yang dimaksud Sulhan dalam kaitan partai politik menjalankan fungsi pendidikan bagi publik. Sederhananya, kata Sulhan, sejak dahulu politik itu sakral dan merupakan pertarungan kepentingan untuk menghasilkan kepemimpinan yang berpengaruh pada orang banyak. Nilai kesakralan ini, menurutnya, jadi panduan lain bagi pihak yang melakukan kampanye.
Partai politik ini, kata dia, mestinya menunjukkan kesakralan. “Apa jadinya nilai sakral itu lebih berkembang kini menjadi nilai hiburan yang profan?” tuturnya saat dihubungi, Selasa (9/4).
Sulhan melihat, di dalam iklan kampanye partai politik tampak hanya menonjol hiburan, ketimbang informasi tentang nilai politik. Bila hiburan terlampau tinggi, maka sakralnya akan menurun.
Seharusnya, kata Sulhan, antara hiburan dan informasi politik harus berbaur. Iklan partai politik tak hanya harus promosi dalam hiburan saja. Kadar hiburan, kata dia, harus ditutup dengan pemberian informasi yang cukup.
“Parpol ini lama kelamaan jatuh pada konstelasi pedagang atau marketing politics yang tiba-tiba terperangkap oleh determinasi media,” ucapnya.
Terjebak mental sales
Sulhan khawatir, ada euforia partai politik terjebak seperti sales. Misalnya, sebagai salah satu partai baru, PSI terjebak dalam partai pragmatis.
Ia memandang, karena ada tuntutan perkenalan sebagai partai baru, mereka seperti dikejar target waktu pencoblosan dan meraih pemilih. Kata Sulhan, ada ketidakcocokan isu yang diangkat PSI dengan target pemilihnya. Salah satunya isu poligami.
“Dalam pikiran milenial, tak ada istilah poligami. Tidak ada kecocokan antara narasi di masyarakat itu dengan segmen pemikiran PSI,” tuturnya.
Sulhan mengatakan, masyarakat seringkali bingung antara yang dijual oleh partai politik dengan iklan produk. Di dalam iklan komersial produk, persuasinya berfungsi bila produknya berupa artefak yang kelihatan.
Sementara dalam iklan partai politik, persuasinya terbatas karena yang dijual gagasan bersifat abstrak. Jika partai-partai itu, kata dia, menyadari sulitnya menjual ide dan gagasan, sebaiknya tak masuk atau bermain pada persuasi ide, tetapi menyampaikan isi informasi.
“Jika informasi, maka akan tercapai. Sampaikan saja apa yang mereka mau secara konstan dan stabil, agar publik tahu perbedaan antara partainya dan partai lain. Jika perbedaan sudah disampaikan, maka parpol akan punya positioning dan diferensiasi dari partai lain,” kata dia.
Sulhan mencontohkan, dahulu Partai Keadilan—sebelum berubah menjadi Partai Keadilan Sejahtera (PKS)—pernah sukses dan berhasilnya dalam kampanye. Partai Keadilan berhasil membedakan diri dengan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP).
“Partai Keadilan tidak tergantung dengan sosok pemimpin, tetapi dengan sistem kepartaian, solidaritas,” ujar Sulhan.
PSI, menurut Sulhan, tidak sukses dengan upaya diferensiasi itu. Dengan warna dasar logo partai yang merah, kata Sulhan, publik langsung ingat dan melihat itu sebagai simbol Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP). Oleh karena itu, diferensiasinya lemah.
Meski begitu, lanjut Sulhan, PSI memiliki kelebihan, yakni ketua umumnya yang cantik, dari etnis tertentu, didukung gagasan, dan penyampaiannya ringan. Selain itu, Indonesia memiliki partai-partai yang terdiri dari dua kutub: sangat nasional dan sangat religius.
Sementara PSI memunculkan titik tengah, tetapi tidak seberhasil Partai Keadilan, yang menjadi poros baru di antara nasionalis dan religius.
“Saya tak melihat iklan sebagai cara tunggal, dia tak akan punya persuasi maksimal, karena iklan ideologi sulit menggerakkan orang, tak akan memiliki kekuatan persuasi,” kata dia.