close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Pasangan Joko Widodo-Ma'ruf Amin dan Prabowo Subianto-Sandiaga Uno dalam debat perdana Pilpres 2019 / Ahmad Rifwanto
icon caption
Pasangan Joko Widodo-Ma'ruf Amin dan Prabowo Subianto-Sandiaga Uno dalam debat perdana Pilpres 2019 / Ahmad Rifwanto
Pemilu
Senin, 04 Februari 2019 11:12

Pemenang Pilpres 2019, bisakah lembaga survei diandalkan?

Siapakah yang akan menang dalam Pilpres 2019? Bisakah kita percaya hasil lembaga survei? Bagaimana data menurut Google?
swipe

Sepekan menjelang referendum kemerdekaan Skotlandia pada September 2014, ICM Research menggelar survei untuk merekam preferensi para penghuni negeri asal William Wallace itu. Sigi ICM menemukan, mayoritas publik ternyata ingin Skotlandia lepas dari Inggris Raya. Dari 750 responden yang disurvei, sebanyak 54% penduduk Skotlandia memilih 'Yes' alias merdeka.  

Namun, saat referendum digelar pada 18 September, ICM 'kecele'. Berbeda dari hasil survei lembaga yang tergabung di British Polling Council itu, mayoritas publik Skotlandia justru memilih 'No'. Sebanyak lebih dari 2 juta orang atau sekitar 55,3% pemegang hak pilih, sepakat Skotlandia tetap berada di bawah kuasa Ratu Inggris.  

Melesetnya prediksi ICM kala itu tak terlalu dipersoalkan. Pasalnya, survei yang digelar Survation pada periode yang tak jauh berbeda, memprediksi kemenangan kaum konservatif yang tak ingin Skotlandia merdeka. Hasil sigi Survation hanya terpaut sekitar 1% dari hasil akhir referendum.

Dua tahun berselang, tepatnya pada periode 10-13 Juni, ICM kembali menggelar survei 'bergenre' referendum. Kali itu, Brexit jadi objek survei. ICM sukses memprediksi mayoritas publik Inggris ingin negaranya keluar dari Uni Eropa (UE) sebagaimana hasil referendum pada 23 Juni 2016.

Giliran Survation yang meleset. Hasil sigi Survation yang digelar hanya beberapa hari sebelum referendum menunjukkan, 51% responden ingin Inggris tetap menjadi bagian dari UE. Kegagalan Survation meramal nasib Inggris di UE juga diikuti sejumlah lembaga survei kredibel lainnya, semisal ORB, Populus, Ipsos Mori, YouGov, dan Comres.

Fenomena melencengnya hasil survei kembali beberapa bulan kemudian di pentas Pilpres Amerika Serikat (AS). Tampil dominan di papan survei pelbagai lembaga hingga pencoblosan, calon presiden dari Partai Demokrat Hillary Clinton dipecundangi kandidat Partai Republik Donald Trump pada pemungutan suara yang digelar 8 November 2016.

Trump sukses meraih suara 306 elektor dalam skema electoral college yang diterapkan di AS. Sementara Hillary hanya meraup 227 suara elektor. Alhasil, Trump didapuk sebagai pemenang pilpres, meskipun dari sisi 'popular vote', raupan suara Hillary lebih banyak sekitar 2,87 juta ketimbang Trump.

Melencengnya prediksi lembaga survei di Pilpres AS kontan langsung jadi kajian para pakar dan akademisi. Pasalnya, kemenangan Hillary diramalkan setidaknya oleh 20 lembaga survei lewat 80 jajak pendapat yang digelar sejak September 2016. Tercatat, hanya Los Angeles Times bersama USC Tracking yang membuka peluang kemenangan Trump.

Salah satu penjelasan ditawarkan Seth Stephens-Davidowitz dalam buku Everybody Lies: Big Data, New Data And What The Internet Reveals About Who Really Are (2017). Menurut Seth, salah satu alasan survei gagal merekam preferensi publik karena kebohongan yang dilakukan para responden.

Umumnya, kata Seth, para responden tak mau benar-benar terbuka mengakui 'kedekatan' mereka dengan Trump. Kesimpulan itu dia peroleh setelah mengkaji lumbung suara Trump di kawasan Timur Laut, kawasan industri Midwest, dan negara-negara bagian di selatan AS.

Menggunakan Big Data pencarian Google, Seth menemukan penduduk di kawasan lumbung suara Trump rajin melakukan pencarian kata 'nigger' dan pelbagai olok-olok untuk orang-orang berkulit hitam. Menurut Seth, sebagian besar warga AS ternyata masih rasis.

Di sisi lain, supremasi kulit putih menjadi salah satu jargon yang kerap diulang Trump dalam pelbagai kesempatan tatap muka dengan publik di masa kampanye. Model kampanye Trump itu disebut Seth beresonansi dengan rasisme terselubung sebagian warga AS.

"Faktor lain yang berperan dalam kebohongan kita pada lembaga survei adalah keinginan kuat kita untuk memberikan kesan bagus kepada orang asing yang mewawancarai kita," tulis Seth.

Penjelasan lain ditawarkan kolumnis Washington Post, Max Boot. Menurut Boot, maraknya disinformasi dan hoaks yang disebar Trump dan dibantu Rusia pada masa kampanye menjadi salah satu penyebab kegagalan Hillary berkantor di Gedung Putih. Tanpa Rusia, kata Boot, Trump tak akan berjaya.

Di Indonesia, fenomena 'serupa tapi tak sama' terjadi di Pilgub DKI Jakarta 2017. Diunggulkan di papan survei berbagai lembaga sejak September 2016, pasangan petahana Basuki Tjahaja Purnama-Djarot Saiful Hidayat (Ahok-Djarot) ditekuk pasangan penantang Anies Baswedan-Sandiaga Uno (Anies-Sandi) di penghujung laga elektoral.

Kasus kemenangan Anies-Sandi berbeda dari Brexit dan Trump. Di tengah maraknya aksi unjuk rasa berbau politisasi agama yang menyerang petahana, elektabilitas Anies-Sandi ketika itu memang terlihat merangkak naik. Pascadebat terakhir di putaran kedua Pilgub DKI Jakarta, mayoritas lembaga survei pun menempatkan pasangan Anies-Sandi unggul.

Namun demikian, fenomena Trump, Brexit dan Anies-Sandi kadung 'mencoreng' kredibilitas survei. Anggapan bahwa hasil lembaga survei tak bisa lagi dipercaya keburu terpatri di benak publik. Terlebih, tak bisa dimungkiri bahwa kegiatan survei hampir selalu didonori oleh para kontestan laga elektoral.

Lantas, benarkah survei tak lagi kredibel? Will Jennings dan Christoper Wlezien dalam Election Polling Errors Across Time and Space yang dipublikasikan di jurnal Nature Human Behaviour pada 2017 mengatakan, kegagalan lembaga survei meramal hasil pemilu bukanlah sesuatu yang janggal. Apalagi, kesalahan prediksi masih di batas margin of error.

Dalam studinya, Jennings dan Wlezien mengumpulkan data dari 31 ribu jajak pendapat terkait pemilu di 45 negara dari periode 1942 hingga 2017. Keduanya kemudian mengisolasi data jajak pendapat di 286 pemilu karena survei di pemilu-pemilu itu digelar setidaknya 200 hari sebelum pemungutan suara.

Tim peneliti menemukan bahwa error berkurang rata-rata 4% pada periode awal survei dan terus turun angkanya hingga 2% pada hari pencoblosan. Diketahui, persentase kekeliruan umumnya lebih tinggi di pentas Pilpres ketimbang pemilu legislatif (pileg).

"Seringkali pemilih di pentas Pilpres itu masih mempelajari kandidat yang akan mereka pilih. Mereka masih terus mengumpulkan informasi karena umumnya tidak tahu banyak mengenai kebijakan dan karakteristik kandidat. Beda dengan pemilih Pileg yang umumnya sudah punya kecenderungan loyal ke partai-partai tertentu," kata Jennings.

Lebih jauh, Jennings mengatakan, hasil kajiannya itu menunjukkan bahwa performa lembaga survei relatif membaik dari dekade ke dekade. Dari data jajak pendapat 220 pemilu di 32 negara yang disoroti secara khusus oleh tim peneliti, misalnya, diketahui angka kekeliruan survei hanya sekitar 2%.

"Kita menemukan bahwa, berbeda dengan pendapat umum, performa survei belakangan tidak menunjukkan kegagalan yang luar biasa dan masih terbilang wajar. Kesalahan survei semakin kecil, bukan semakin besar," ungkap Jennings.

Direktur kajian politik YouGov Anthony Wells mengatakan, melesetnya ramalan hasil pemilu lazimnya terjadi karena lembaga survei lamban merespons perubahan yang terjadi di masyarakat, semisal evolusi penggunaan telepon seluler dan internet.

Metode survei, kata Wells seperti dikutip Guardian, seharusnya terus disesuaikan data baru pola perilaku publik.

"Dulu memang penting bahwa sampel yang digunakan mewakili semua kelas sosial. Hari-hari ini, sangat penting juga sampel yang dipakai mewakili masyarakat dalam hal pendidikan. Ketika survei gagal memperhatikan perubahan di masyarakat, maka makin besar kemungkinan survei gagal merekam preferensi publik," katanya.

Di Indonesia, pentas Pilpres 2019 kembali mempertemukan calon presiden petahana Joko Widodo (Jokowi) dengan Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto. Demi menepis label anti-Islam, Jokowi menggandeng mantan Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Ma'ruf Amin sedangkan Prabowo mendapuk Sandiaga Uno sebagai pendamping.

Sejauh ini, sejumlah survei menunjukkan elektabilitas pasangan Jokowi-Ma'ruf unggul jauh dibandingkan Prabowo-Sandi. Survei Indikator Politik Indonesia, Alvara dan Charta Politica yang dirilis Januari lalu, misalnya, menemukan bahwa keunggulan Jokowi-Ma'ruf masih di kisaran 18-22%.

Di sisi lain, tak ada hasil survei yang mengunggulkan Prabowo-Sandi. Survei Median dan Pusat Kajian Kebijakan dan Pembangunan Strategis (Puskaptis) hanya 'memperkecil' selisih keunggulan Jokowi-Maruf berturut-turut sebesar 9,2% dan 4,1%.

Meskipun serbuan hoaks marak di Indonesia, sebagaimana yang terjadi Pilpres AS 2016, pengamat politik Universitas Gadjah Mada (UGM) Kuskridho Ambardi mengatakan, hasil akhir Pilpres 2019 tak akan meleset jauh dari hasil survei.

"Di Amerika itu perang total ada dua partai yang bertarung habis-habisan dan selisihnya sedikit. Jadi, hoaks itu efektif untuk merebut suara lawan. Hoaks di sini efeknya tak sedahsyat di Amerika, dan saya rasa hasilnya pun tak akan sama," ujar Dodi kepada Alinea.id.

Benarkah demikian?

Menggunakan metode yang sama dengan Seth Stephens-Davidowitz, penelitian Hannah Skaar Hauge dan Therese Borge Lied dari Norwegian School of Economics, tahun 2017, berjudul “Explaining Election Outcomes Using Web Search Data”, menemukan bahwa data pencarian Google Search dan Google Trends sesuai dengan hasil Pilpres AS pada tahun 2008 dan 2016.

Kedua peneliti tersebut juga mengemukakan beberapa kelemahan survei yang membuat hasilnya tidak akurat. Kata mereka:

"Research on the topic of social desirability bias and socially sensitive sentiments has identified several topics that tend to yield high measurement errors in public surveys and opinion polls (Kreuter, Tourangeau, & Presser, 2008). Among such topics are voting intention and political affiliation (Brownback & Novotny, 2017). In addition, anticipating the emergence of far-right or far-left political sentiments is often challenging as the majority of people will hesitate to admit to views that violate the social norm in the society, as far-right or far-left opinions tend to do (Krumpal, 2013). This complicates the use of opinion polls and surveys as they might not capture underlying sentiments that could be an important factor in predicting election outcomes. In situations where traditional survey based methods like public opinion polls yield high measurement errors, the use of a non-survey based measure can be a helpful supplement."

Metode ini bisa kita terapkan di Indonesia. Sebagai gambaran, data Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) pada 2017 mengatakan bahwa 143,26 juta penduduk di Indonesia telah terhubung ke internet. Jumlah pengguna internet di Indonesia didominasi milenial serta generasi Z. Persentasenya bahkan mencapai lebih dari 50 persen. Survei APJII menunjukkan, pengguna internet dengan rentang usia 19-34 tahun menyumbang kontribusi 49,52%, sedangkan pengguna dengan usia 13-18 tahun hanya 16,68%.

Ada banyak sekali pencarian jujur warganet di Google yang bahkan mungkin tidak pernah Anda duga sebelumnya. Berdasarkan penelusuran kami, misalnya, ribuan orang bertanya tiap bulan, “Google siapakah jodoh saya,” dan “Kenapa saya jomblo”.

Seperti kata Hauge dan Lied, data Google bisa mengungkapkan preferensi sosial, perilaku dan sentimen masyarakat. Dalam konteks Indonesia, Google juga bisa menunjukkan sentimen masyarakat terhadap Jokowi dan Prabowo. Pencarian tertinggi untuk “Apakah Jokowi”, misalnya, diikuti oleh kata “Presiden yang baik”, "Mualaf" dan “Islam”. Sementara untuk Prabowo, pencarian yang sama paling banyak diikuti oleh kata “Mualaf” “Sudah haji”, “Punya Istri” dan “Bisa Sholat”. Artinya, sentimen agama terhadap masing-masing calon sangat menarik perhatian warganet.

Lima pencarian teratas untuk "Apakah Jokowi dan Apakah Prabowo"
Apakah Jokowi? Apakah Prabowo?
Presiden yang baik Muslim
Mualaf Mualaf
Islam Sudah haji
Bisa menang Punya istri
Sudah haji Bisa sholat

Jika pertanyaannya kita ubah menjadi "Mengapa Prabowo dan "Mengapa Jokowi", hasilnya adalah sebagai berikut:

Lima pencarian teratas untuk "Mengapa Prabowo" dan "Mengapa Jokowi"
Prabowo Jokowi
Memilih Sandi Pilih Maruf
Tidak menikah lagi Dibenci
Di kebiri Dimusuhi
Ke Yordania Impor Beras
Lari ke Yordania Dimusuhi Ulama
Lima Pencarian teratas untuk "Bagaimana Prabowo" dan "Bagaimana Jokowi"
Prabowo Jokowi
Bisa kaya Bisa menjadi presiden
Jika prabowo jadi presiden Mencapai kesuksesannya
Bila prabowo jadi presiden Menjadi presiden
Nasib prabowo Usaha Jokowi untuk sukses
Jika prabowo kalah lagi Cara menghubungi Jokowi

 

Sentimen negatif lain yang juga terus dikaitkan dengan Jokowi, sejak Pilpres tahun 2014, adalah isu PKI. Berikut tren pencarian “Jokowi PKI” di Google Trends.

Pencarian "Jokowi PKI" paling banyak dilakukan oleh warganet di Provinsi Aceh, Kalimantan Selatan, Sumatera Utara, Lampung, Jawa Barat, Jakarta, dan Banten. Selain itu, pencarian ini juga banyak dilakukan warga Riau dan Sumatera Barat. Sebagai pembanding, Tim media sosial Jokowi-Ma’ruf Amin menyatakan, lima provinsi dengan dukungan terendah terhadap Jokowi-Ma’ruf adalah Riau, Aceh, Kalimantan Selatan, Jambi, dan Nusa Tenggara Barat (NTB). Data tersebut mereka peroleh dari media sosial.

Lalu, bagaimana dengan popularitas kedua calon yang bisa diukur dengan minat warganet terhadap keduanya melalui Google Trends? Berikut perbandingannya.

 

Pencarian untuk Prabowo terpaksa kami filter dengan tidak mengikutsertakan frasa Mondardo karena pencarian terhadap bocah bernama lengkap Prabowo Mondardo yang tenar di aplikasi Tik Tok tersebut juga tinggi di Google.

 

Sementara jika kita menuliskan nama lengkap kedua calon, Prabowo Subianto dan Joko Widodo, hasilnya menunjukkan pencarian terhadap Prabowo Subianto lebih tinggi. Namun, hasil ini kurang tepat dijadikan patokan. Pasalnya, berdasarkan data Google Search Volume Index, pencarian dengan kata Jokowi jauh lebih tinggi dibanding Joko Widodo. Perbandingannya adalah 450.000 per bulan berbanding 210.000 per bulan dalam rentang waktu Januari-Desember 2018.

Data Google Trends, sejauh ini, menguatkan klaim kubu Prabowo-Sandi bahwa mereka berhasil memperkecil jarak elektabilitas dengan Jokowi-Ma'ruf. Di bawah ini adalah trend pencarian terhadap Prabowo Subianto dan Jokowi Widodo berdasarkan topik yang sudah diklasifikasikan Google secara lebih akurat. Apakah ini berarti Joko Widodo akan kalah dalam Pilpres 2019 nanti? Tentu saja pertanyaan tersebut masih terlalu dini untuk dijawab karena masa kampanye masih panjang. Namun setidaknya kita bisa mendapat rujukan lain selain data lembaga survei, baik independen maupun partisan.

 

 

img
Insaf Albert Tarigan
Reporter
img
Christian D Simbolon
Reporter
img
Insaf Albert Tarigan
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan