Peran tim kampanye nasional memenangkan capres yang diusung
Dalam pemilu presiden, yang bertarung tidak hanya pasangan capres atau cawapres. Tidak juga hanya berkompetisi partai politik. Tetapi di sana juga bersaing tim kampanye nasional.
Kubu Prabowo-Gibran sudah resmi menunjuk Rosan Roeslani sebagai panglima dari tim kampanyenya. Kubu Ganjar-Mahfud MD sudah menunjuk Arsjad Rasjid. Kini, kita tinggal menunggu kubu Anies Baswedan-Muhaimin mengumumkan komandan tim kampanye.
"Dari komposisi timses masing-masing kubu, bisa kita simpulkan, kalau kubu Prabowo-Gibran dan Ganjar-Mahfud dipimpin oleh orang dengan latar belakang yang mirip. Rosan dan Arsyad, keduanya adalah pengusaha dari Kadin. Sepertinya, dua kubu capres tersebut ingin memastikan bahwa logistik untuk kampanye menjadi sesuatu yang penting. Makanya dipimpin para pengusaha, yang memiliki network luas dalam bisnis, sehingga partisipasi dari kalangan pengusaha dapat dimaksimalkan," papar Direktur Eksekutif Developing Countries Studies Center (DCSC) Zaenal A Budiyono, saat dihubungi Alinea.id, Selasa (7/11).
Soal tim kampanye nasional Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar (AMIN) yang sampai saat ini belum mengumumkan ketua-nya, Zaenal melihat, AMIN tampaknya masih mencari sosok yang tepat. Apakah timnas AMIN akan juga diisi pengusaha? Dia menjawab, kalau itu mungkin saja.
Namun, strategi AMIN sejak awal ingin selalu tampil beda. Slogan perubahan menguatkan analisa tersebut. Maka tampaknya Ketua Timnas AMIN akan diisi oleh sosok di luar pengusaha. Bisa saja tokoh aktivis, atau juga nama-nama populer yang bisa menjadi ikon.
Soal menargetkan pemilih muda, Zaenal menyebutkan, dari komposisi Timses Prabowo yang sudah diumumkan, tampak dengan jelas kalau Timses Prabowo ingin mengambil ceruk pemilih muda, Gen-Z dan milenial. Makanya, mereka membuat divisi khusus Fanta (desk Pemilih Muda) untuk memastikan dukungan pemilih yang secara statistik mayoritas dalam pemilu nanti. Strategi yang sama belum terlihat dilakukan kubu Ganjar dan Anies.
Nuansa akomodasi politik dengan menempatkan tokoh-tokoh senior partai pengusung dan pendukung dalam struktur timses dilakukan kubu Ganjar dan Prabowo, dan tampaknya juga dilakukan kubu Anies. Meski berdampak pada timses yang terlihat gemuk, namun akomodasi politik tak terhindarkan, dalam rangka menjaga soliditas tim. Agar jangan sampai ada yang merasa ditinggalkan, karena itu kontraproduktif dalam konteks kampanye pemenangan.
Tetapi tentu saja, besarnya struktur timses tidak selalu berbanding lurus dengan hasil atau kemenangan yang ingin diraih. Justru yang dibutuhkan adalah komposisi tim yang lincah sehingga dapat bergerak dinamis untuk merespons setiap perkembangan yang akan muncul.
"Saya khawatir gemuknya timses justru akan membuat mekanisme pengambilan keputusan berjalan lamban dan kompleks. Pasalnya ini kan politik, di mana masing-masing parpol dan kekuatan di dalamnya, memiliki kepentingan masing-masing. Di saat yang sama, mereka juga memiliki agenda pemilihan legislatif untuk memenangkan partai masing-masing," ucap dia..
Lantas timses mana yang bakal membawa calon presiden dan wakil presidennya memenangi pemilu presiden? Pendiri LSI Denny JA, Denny Januar Ali mengatakan, yang dapat memenangi Pilpres 2024 sangat tergantung kepada siapa dari calon yang bisa mengambil the heart and the mind of the voters. Serta siapa yang paling mampu membujuk 205 juta pemilih Indonesia.
Tetapi bagaimana memahami perilaku pemilih yang begitu banyak, tersebar dari Aceh sampai Papua, begitu beragam tingkat pendidikan, status ekonomi, agama, etnis? Bagaimana mengetahui aspirasi mereka, kemarahan mereka, mimpi mereka? Karena para pemilih ini yang menjadi hakim tertinggi, penentu kalah dan menang, tentu sangat penting memahami perilaku pemilih itu.
Menurut Denny JA, untuk memahami perilaku pemilih, bakal dikerjakan lembaga survei. Ini karena pemilu modern ditandai oleh pertarungan yang mengawinkan politik praktis dan ilmu pengetahuan. Para calon presiden dan wakil presiden berkompetisi, dan bertarung dengan data.
"Kini, di setiap tim kampanye nasional, di sebelah kirinya berdiri lembaga survei, dan di sebelah kanannya hadir konsultan politik," kata dia dalam keterangan resminya yang dipantau online, Selasa (7/11).
Lembaga survei memberikan data perilaku pemilih, perubahannya dari waktu ke waktu. Tetapi, data saja tak cukup. Yang penting bukan saja potret realitas pemilih, tetapi strategi mengubah pilihan pemilih.
Data yang sama bisa berujung kepada strategi yang berbeda, dan berakhir dengan kemenangan atau kekalahan. Memilih strategi kampanye, untuk menaikkan elektabilitas pasangan capres atau menurunkannya. Itulah tugas utama konsultan politik. Dan itu pula esensi dibentuknya Tim Kampanye Nasional.
Jika strateginya salah, maka organisasi tim kampanye nasional yang besar, keuangannya yang tambun, sumber dayanya, waktu dan tenaga, hanya berjalan menuju kekalahan belaka.
Dia pun mencontohkan besarnya peran konsultan politik mengarahkan strategi kampanye, mengubah kekalahan menuju kemenangan, atau sebaliknya, tercermin dalam pemilu presiden di Amerika Serikat, di 1996.
Saat itu bertarung antara Bill Clinton dan Bob Dole. Bill Clinton dari partai Demokrat, sedangkan Bob Dole dari Partai Republik. Di era itu, Bill Clinton maju untuk menjabat presiden kedua kalinya. Tetapi platform dari Partai Demokrat, partainya Bill Clinton sudah tak populer. Dua tahun sebelumnya, dalam pemilihan di Kongres dan Senator, Partai Republik mengalahkan Partai Demokrat dengan telak sekali.
Saat itu, sentimen publik lebih senang kepada ideologi Partai Republik. Partai ini, memperjuangkan nilai-nilai keluarga, budaya konservatif, perjuangkan pajak yang dikurangi. Juga partai ini memperjuangkan dikuranginya program kesejahteraan masyarakat yang sudah begitu mahal.
Bagaimana cara agar Bill Clinton dari kubu yang berbeda ideologi bisa menang? Datanglah Dick Morris, seorang konsultan politik.
"Morris membujuk Bill Clinton mengubah strategi. “Pak Presiden,” ujar Dick Morris kepada Clinton, “Kita harus mengubah ideologi Partai Demokrat, dari kiri ke tengah," jelas Denny.
Untuk masa itu, platform dan warna program Partai Demokrat perlu diubah menjadi The New Democrats. Menurut Dick Morris, The New Democrats, atau Centris Democrats juga memperjuangkan program yang sama dengan diperjuangkan oleh Partai Republik.
Clinton pun dibujuk oleh Dick Morris, agar juga memperjuangkan apa saja yang diperjuangkan oleh kompetitornya dari Partai Republik Bob Dole, jika memang program itu populer.
Ketika Bob Dole mengatakan ini programnya, Clinton juga mengatakan: saya pun memperjuangkan hal yang sama. Akibatnya publik luas melihat secara ideologis, secara platform, dua capres ini memperjuangkan hal yang tak berbeda.
Sisanya tinggal masalah personality dan leadership saja. Untuk soal leadership, Clinton memang jauh lebih kokoh, jauh lebih kuat," jelas dia.
Tentu saja mengubah haluan platform partai itu hal yang besar. Para ideolog dan tokoh senior Partai Demokrat menentang ideologi partai direvisi. Tetapi Clnton lebih mendengar konsultan politiknya, Dick Morris, karena orientasi kampanye haruslah pada aspirasi pemilih. Dengan pilihan strategi itu, posisi elektoral Clinton pun berubah, dari posisi yang tadinya kalah menjadi menang.
Peran konsultan politik memang menunjukkan jalan menuju kemenangan. Tetapi, strategi itu hanya bisa dibuat berdasarkan data perilaku pemilih yang acapkali berubah. Dan dari begitu banyak pilihan strategi yang dimungkinkan oleh data, konsultan politik mencarikan strategi yang probabilitas kemenangannya paling tinggi.