Perkumpulan Untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) menilai Pemilihan Umum (Pemilu) serentak 2019 belum mengimplementasikan keadilan sebagaimana prinsipnya.
Direktur Eksekutif Perludem, Titi Anggraini mengatakan, bila prinsip pemilu itu jurdil, maka kata adil itu bukan untuk kontestasi saja. Melainkan juga adil bagi pemilih dan penyelenggara.
"Menurut saya Pemilu 2019 kurang adil bagi pemilih dan bagi penyelenggara," kata Titi dalam diskusi yang dilaksanakan pada Sabtu (11/5).
Maksud Titi, arti kurang adil bagi pemilih adalah masyarakat menjadi punya keterbatasan dalam konteks pemilihan. Sehingga membuat legislatif over shadow atau dibayang-bayangi pilpres.
Akhirnya pemilih mendapat informasi yang tidak memadai untuk membuat keputusan terkait pemilu legislatif (pileg). Khususnya pilihan partai politik dan caleg.
Titi yakin saat pelaksanaan hari pemilu, masih banyak masyarakat yang bingung akan pilihannya.
"Jadi terlalu banyak aktor dalam pemilu, karena DPRD juga digabungkan dalam pemilu serentak ini," ucap Titi.
Bagi Titi Pemilu serentak 2019 bukan pemilu serentak yang ia bayangkan. Lebih cocok, katanya diistilahkan sebagai pemilu borongan.
Jadi ada ketidakadilan yang dirasakan pemilih berkaitan dengan keragaman pilihan. Begitu juga akses informasi yang cukup soal legislatif.
Ketidakadilan juga terlihat bagi para penyelenggara, dalam hal ini termasuk mereka yang menjadi anggota Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS).
Mereka mendapatkan beban atas pemilu borongan dengan tanggung jawab atas lima surat suara sekaligus. Titi menilai atas tanggung jawab tersebut tidak manusiawi atau tidak wajar dalam menuntaskan kerja-kerjanya.
"Mereka bekerja di bawah pertarungan yang begitu terpolarisasi, penuh kecurigaan dan sebagainya. Ini juga berdampak pada efek psikologis," ujar Titi.
Apalagi banyak pasal yang bisa mengkriminalisasi KPPS dalam Peraturan KPU (PKPU) 2019. Selain itu, ihwal pembahasan Undang-undang pemilu di DPR, yang memiliki kepentingan hanya memikirkan kepentingan partai politik (parpol) masing-masing.
Perludem mengkritik anggota DPR yang turut merancang dan mengesahkan regulasi, tapi tidak memikirkan bagaimana teknis kerja KPPS. Hal ini yang perlu dievaluasi.
Para KPPS misalnya, dituntut untuk memahami aturan baru yang tanpa diberikan pelatihan optimal. Misalnya peraturan ihwal pemilih di kota lain yang ingin memilih dan hanya membawa KTP-el.
"Namun mereka akan terancam hukuman pidana, dilaporkan ke polisi jika ada pemilih yang tidak bisa mencoblos meski mebawa KTP-el," terang Titi.
Keadaan tersebut pada akhirnya membuat tekanan anggota KPPS semakin bertambah dan mengakibatkan malpraktek administrasi.
Titi berharap kedepan, pemilu serentak dapat kembali keorisinalitasan akan keserentakan pemilu sebagaimana yang didorong perludem.
"Harusnya yang tegang dalam penyelenggaran pemilu adalah kontestannya. Pemilih dan penyelenggara harusnya rileks. Pemilu kemarin semuanya berada di bawah ekosistem yang tegang dan ketakutan," tukas Titi.
Direktur Eksekutif Lingkar Madani Ray Rangkuti menambahkan, KPU mesti memberikan pelatihan kepada petugas KPPS sebelum penyelenggaraan pemilu. Ini berguna demi kelancaran dan suasana yang kondusifi dalam menjalankan tugas.
Petugas KPPS juga dinilai kurang optimal dalam bekerja karena minimnya pemahaman soal aturan yang terbilang banyak. Kondisi tersebut karena pelatihan yang diberikan KPU amat minim hanya dua jam pelatihannya.