Politik AMAN, janji Jokowi, dan ayunan suara masyarakat adat
Dua bulan menjelang pemungutan suara Pilpres 2014, Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) mengeluarkan kebijakan politik baru. Untuk kali pertama, organisasi yang didirikan pada 1999 itu, bakal terlibat dalam pergulatan politik menuju kekuasaan. Ketika itu, AMAN memutuskan mendukung pasangan Joko Widodo-Jusuf Kalla (Jokowi-JK).
Mengklaim 'beranggotakan' sekitar 12 juta masyarakat adat dari berbagai pelosok, AMAN berjanji akan menggerakkan pada kadernya untuk memilih Jokowi-JK. Janji-janji Jokowi bagi masyarakat adat yang tertuang dalam Nawacita menjadi alasan utama AMAN turun ke gelanggang politik praktis.
Setidaknya ada 6 janji politik untuk masyarakat adat yang diumbar Jokowi di Nawacita. Pertama, pengesahan RUU Masyarakat Adat. Kedua, pembentukan satuan tugas masyarakat adat. Ketiga, meninjau ulang berbagai peraturan sektoral yang mengganjal pemenuhan hak masyarakat adat.
Keempat, membentuk mekanisme nasional penyelesaian sengketa. Kelima, melaksanakan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 35 Tahun 2012 yang membedakan hutan adat dengan hutan negara. Terakhir, memulihkan korban-korban kriminalisasi.
Dengan selisih kemenangan hanya 8,4 juta suara, sulit dimungkiri dukungan AMAN dan masyarakat adat cukup berarti bagi Jokowi-JK ketika itu. Karena itu, wajar jika AMAN dan masyarakat adat berharap banyak kepada Jokowi.
Namun demikian, Sekretaris Jenderal (Sekjen) AMAN Rukka Sombolinggi menegaskan, AMAN bakal buang badan dari pentas Pilpres 2019. Menurut Rukka, Jokowi gagal menuntaskan janji-janji untuk masyarakat adat yang kerap ia gaungkan pada masa kampanye Pilpres 2014.
"Relawan sampai menggunakan hashtag #AMANkanJokowiJK waktu itu. Tapi, kali ini tidak. Tidak cukup alasan bagi AMAN untuk menyatakan dukungan resmi kepada pasangan calon nomor urut 01," kata Rukka saat dihubungi Alinea.id di Jakarta, beberapa waktu lalu.
Rukka mengatakan, AMAN memilih menjadi swing voters karena kecewa terhadap Jokowi. Pasalnya, selain tak tuntas merealisasikan janji politiknya, kini poin-poin tentang masyarakat adat justru hilang dalam dokumen visi misi Jokowi-Ma'ruf.
"Kami tidak menilai Jokowi berdasarkan infrastruktur yang dibangun, kami tidak menilai Jokowi berdasarkan dana desa, kami tidak menilai Jokowi berdasarkan ketika ia berkunjung ke masyarakat adat atau waktu dia memakai baju adat. Kami menilai Jokowi berdasarkan Nawacita. Hingga Maret kemarin, ternyata hasilnya masih nol," cetus Rukka.
Lantas bagaimana dengan pasangan capres-cawapres nomor urut 02 Prabowo-Sandi? Rukka menegaskan, AMAN tak punya cukup alasan mendukung duet politikus Gerindra itu. "Justru sama sekali masyarakat adat tidak menjadi perhatian mereka. Sehingga, tidak cukup alasan untuk mendukung pasangan 02," tuturnya.
Adapun terkait posisi sebagai swing voters, Rukka menjelaskan, AMAN masih berharap para kandidat bakal menunjukkan keberpihakan terhadap masyarakat adat. Di debat kedua Pilpres 2019 misalnya, AMAN sempat berharap masyarakat adat bakal menjadi salah satu bahasan Jokowi dan Prabowo dalam adu gagasan.
"Debat kedua ini bicara tentang sumber daya alam, bicara tentang energi. Mereka bicara tentang sesuatu materi tanpa membicarakan manusia yang menjaganya, yaitu masyarakat adat," ujarnya.
Di debat kedua, frasa 'masyarakat adat' hanya sekali terlontar dari mulut kandidat. Frasa 'masyarakat adat' diucapkan Jokowi di segmen keempat debat saat membahas program sertifikasi tanah dan konsensi lahan hutan.
"Dalam dua tahun ini, kita telah membagikan konsesi-konsesi lewat perhutanan sosial, baik itu untuk masyarakat adat, untuk hak ulayat, untuk petani, untuk nelayan. Dua tahun ini telah kita bagikan konsesi sebesar 2,6 juta hektare dari 12,7 juta hektare," cetus Jokowi ketika itu.
Di lain sisi, dari total lebih dari 2.700 kata yang terucap dari mulut Prabowo, tak sekalipun mantan Komandan Jenderal (Danjen) Kopassus itu menyebut frasa masyarakat adat.
Sebelumnya, menurut Rukka, nasib masyarakat adat tak diulas dalam debat perdana antara Jokowi-Ma'ruf dan Prabowo-Sandi yang salah satu temanya membahas hak asasi manusia (HAM). Padahal, masyarakat adat hingga kini masih kerap menjadi korban pelanggaran HAM dalam beragam konflik lahan.
Menurut catatan Perkumpulan Huma Indonesia saja misalnya, tercatat ada 326 konflik terkait sumber daya alam dan agraria di seluruh Indonesia sepanjang 2018. Ratusan konflik itu melibatkan areal seluas 2.101.858 hektare dengan korban total mencapai 186.631 jiwa. Dari total korban itu, 176.637 di antaranya berasal dari masyarakat adat.
Minimnya perhatian pemerintah terhadap nasib masyarakat adat tak lantas membuat AMAN apolitis. Alih-alih memercayakan nasib masyarakat adat ke tangan Jokowi-Ma'ruf atau Prabowo-Sandi, AMAN lebih memilih proaktif mengawal nasib mereka sendiri.
Ketimbang ikut dalam gelombang dukung-mendukung, AMAN fokus untuk meloloskan para kader utusan masyarakat adat menjadi anggota legislatif baik di parlemen daerah maupun di DPR RI. Total ada 167 orang kader AMAN yang bertarung di Pileg 2019. "Pekerjaan kami memastikan kader-kader AMAN masuk ke dalam DPR," tegasnya.
Tak bisa disepelekan
Peneliti Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Usep Hasan Sadikin mengatakan, suara masyarakat adat tak bisa disepelekan. Menurut dia, dibandingkan masyarakat pada umumnya, masyarakat adat jauh lebih aktif berpartisipasi dalam pemilu.
"Tidak hanya aktif menjadi pemilih, mereka juga aktif mencalonkan diri, menjadi pengawas serta berkampanye. Meskipun keaktifan mereka belum sebanding dengan hasil pascapemilu yang belum memberikan keterwakilan yang seimbang untuk masyarakat adat," ujar dia.
Diakui Usep, saat ini representasi masyarakat adat di parlemen masih lemah. Namun demikian, menurut dia, modal politik caleg-caleg dari kalangan masyarakat cukup besar. Meskipun tak punya duit, masyarakat adat cenderung lebih solid.
"Modal kolektivitas solidaritas ini membuat mereka menjadi wakil dari kelompoknya dan dengan hal tersebut mereka sangat mungkin untuk terpilih," kata Usep.
Direktur Populi Center Usep S Ahyar menyebut angka pemilih gamang saat ini masih besar dan bakal menjadi buruan para kandidat. Hasil survei Populi yang dirilis pada Februari lalu misalnya, total jumlah pemilih gamang diperkirakan mencapai 22%.
Namun demikian, Usep tak yakin lembaga swadaya masyarakat (LSM) seperti AMAN bisa mengubah peta politik lewat dukungannya kepada salah satu paslon. Menurut dia, suara masyarakat adat belum tentu satu arah dan tak selalu solid. "AMAN itu kan LSM. Di partai saja suaranya bisa tidak solid, apalagi di LSM." ujarnya. (Ant)