Penggunaan politik identitas di Indonesia pada masa kampanye merupakan hal yang lumrah. Pasalnya, usia demokrasi Indonesia masih tergolong muda. Isu-isu primordial pun kerap mengemuka di ranah publik dan dijadikan senjata untuk memenangi kontestasi elektoral.
Hal itu diungkapkan Ketua Ikatan Cendikiawan Muslim Indonesia (ICMI) Jimly Asshiddiqie dalam diskusi 'Menyikapi Suasana Kampanye Pilpres dan Pileg 2019' di ICMI Center, Warung Jati Timur, Jakarta Selatan, Senin (4/2).
"Makin dewasa sistem politik kita dipraktekkan dan peradaban demokrasi makin tinggi, maka politik identitas itu akan kurang efektif. Makin lama makin berkurang efektivitasnya. Tapi tidak mungkin hilang," ujar Jimly.
Jimly membandingkan Indonesia dengan Amerika Serikat (AS). Menurut Jimly, meskipun usia demokrasi di AS jauh lebih tua, politik identitas masih kerap digunakan di pemilu AS. Pada Pilpres 2016, Donald Trump bahkan berjaya karena menggunakan isu-isu sektarian sebagai bahan kampanye.
Tak hanya pada Pilpres AS 2016 saja, masa kampanye Barrack Obama juga diwarnai politik identitas. "Konon, Obama itu jarang ke gereja. Gara-gara hoaks dan kampanye hitam, tiap minggu dia rajin ke gereja, untuk menunjukkan dia ini orang Kristen. Di Amerika saja ada, apalagi di sini. Kita tidak bisa membayangkan komunikasi publik di sini langsung rasional," ujarnya.
Seperti diberitakan, capres nomor 01 Joko Widodo (Jokowi) mengunjungi pondok pesantren Al-Anwar, Rembang yang diasuh KH Maimoen Zubair, pekan lalu. Selang beberapa hari, cawapres nomor urut 02 Sandiaga Uno berkunjung ke sentra industri halal di Lebak Bulus. Secara tak langsung, keduanya sama-sama ingin menunjukkan keislamannya.
Kendati demikian, Jimly mengimbau para paslon dan tim sukses kedua paslon tidak berlebihan menggunakan politik identitas, khususnya yang terkait dengan agama.
"Jangan berlebihan mengeksploitasi isu agama. Sebab itu batas toleransi. Intinya masing-masing paslon dan timses selalulah berusaha menggunakan kampanye positif," ujar mantan Ketua Mahkamah Konstitusi itu.