close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Ilustrasi bendera parpol. Alinea.id
icon caption
Ilustrasi bendera parpol. Alinea.id
Pemilu
Kamis, 01 Februari 2024 12:40

Populisme pada alat peraga kampanye Pemilu 2024

Caleg dan parpol jor-joran menjanjikan yang gratis-gratis di Pemilu 2024.
swipe

Kampanye dengan disertai janji-janji populis masih menjadi strategi utama parpol-parpol untuk merebut suara pemilih di Pemilu 2024. Janji-janji manis terpampang di baliho-baliho dan spanduk caleg dan berbagai parpol di seantero Jakarta. Sebagian janji politik bahkan terkesan tak masuk akal. 

Di kawasan Senayan, Jakarta Selatan, misalnya, terpacak sejumlah spanduk dan baliho pesanan caleg DPR RI dari Partai Gelora Triwisaksana. Pada baliho-balihonya, pria yang akrab disapa Bang Sani itu menjanjikan Palestina merdeka jika Gelora memenangi Pemilu 2024. Caleg-caleg Gelora lainnya umumnya menjanjikan kuliah gratis bagi mahasiswa. 

Janji populis serupa diusung Partai Solidaritas Indonesia (PSI) yang juga berstatus partai nonparlemen. Pada baliho dan spanduk sejumlah caleg PSI, tertulis janji BPJS gratis jika PSI memenangi pemilu. Seperti Gelora, PSI juga menjanjikan kuliah gratis di perguruan tinggi negeri. 

Di antara lainnya, Partai Keadilan Sejahtera (PKS) hadir di ruang publik dengan janji mempertahankan Jakarta sebagai ibu kota negara jika PKS memenangi pemilu. Janji itu sejalan dengan wacana penolakan ibu kota Nusantara yang digaungkan Anies Baswedan, capres yang diusung PKS, NasDem, dan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB). 

Pakar kebijakan publik dari Universitas Trisakti, Trubus Rahadiansyah menilai Gelora dan kawan-kawan meniru kampanye populis Presiden Joko Widodo (Jokowi). Selama berkuasa hampir satu dekade, Jokowi sukses mempertahankan tingkat elektabilitas dan kepuasan publik lewat program-program populis. 

"Lihat saja saat ini dia (Jokowi) menggunakan bansos (bantuan sosial) untuk kepentingan politik menaikan (elektabilitas) salah satu calon. Bansos itu program populis," ucap Trubus saat dihubungi Alinea.id di Jakarta, Rabu (31/1).

Baru-baru ini, Jokowi meluncurkan bantuan langsung tunai (BLT) sebesar Rp200 ribu per bulan dari Januari hingga Maret 2024. Bantuan sosial dengan anggaran sebesar Rp11,2 triliun itu nantinya bakal diberikan sekaligus pada Februari 2024 kepada 18 juta keluarga penerima manfaat (KPM).

Bansos itu terindikasi dirilis untuk mengerek elektabilitas pasangan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka (Prabowo-Gibran) jelang pencoblosan pada 14 Februari 2024. Meski tak pernah mendeklarasikan secara terbuka, Jokowi dianggap memihak pada pasangan Prabowo-Gibran. Gibran ialah putra sulung Jokowi. 

Trubus mengatakan janji-janji populis parpol dan caleg itu tidak realistis. Ia mencontohkan BPJS Kesehatan yang terus mengalami defisit karena klaim melonjak di tengah lambannya iuran masyarakat masuk ke kas BPJS. 

Menurut Trubus, negara tak akan mampu menggratiskan BPJS jika sumber dananya berasal dari APBN. Apalagi, anggaran negara terkuras habis-habisan untuk pembangunan proyek IKN di Kalimantan. Menggratiskan kuliah juga bakal sulit direalisasikan. 

"Itu sebabnya mengapa asuransi kesehatan jiwa karena tidak bisa dijangkau seluruhnya oleh negara. Makanya, swasta ikut ambil bagian. Janji kampanye populisme itu tidak mengedukasi. Tetapi, buat memikat pemilih, memang bisa menarik," ucap Trubus. 

Kampanye populis, menurut Trubus, sudah sejak lama menjadi tabiat politisi setiap hajatan pemilu. Parpol-parpol menjalankan kampanye model itu lantaran Jokowi sendiri memberikan contoh serupa. 

"Hal ini akhirnya ditiru. Bayangin Jokowi meningkatkan bansos untuk kepentingan (polirik) di tengah masa kampanye pemilu. Itu (diputuskan) tanpa minta persetujuan DPR terlebih dahulu," ujar Trubus. 

Direktur Program Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Esther Sri Astuti sepakat janji-janji populis semisal kuliah gratis dan BPJS gratis bakal sulit direalisasikan. Apalagi, pemerintah masih memprioritaskan pembangunan fisik ketimbang sumber daya manusia (SDM).  

"Saya rasa APBN kita masih mampu menggratiskan BPJS maupun kuliah asal tidak ada pembiayaan proyek mercusuar yang digarap pemerintah seperti pembangunan IKN. Sebenarnya yang paling utama itu memang pembangunan sumber daya manusia," ucap Esther kepada Alinea.id. 

Meskipun anggarannya tersedia, menurut Esther, niat untuk menggratiskan kuliah dan BPJS perlu dirancang secara matang supaya tidak menjadi beban serius bagi APBN. 

"Semisal pendidikan harus gratis dari SD sampai kuliah D1 ( minimal). Kalau masyarakat mau kuliah D3 sampai S3, maka minimal pemerintah bisa menyediakan pinjaman lunak jangka panjang atau beasiswa," ucap Esther. 

Untuk program BPJS gratis, menurut Esther, peserta bisa dikenakan biaya minimal apabila pemerintah belum sanggup menggratiskan sistem jaminan kesehatan nasional. "Di negara maju pun, asuransi kesehatan itu masyarakat diminta bayar," ucap Esther.

 

img
Kudus Purnomo Wahidin
Reporter
img
Christian D Simbolon
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan