PPATK harus buka aliran uang tambang ilegal untuk kampanye
Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi (PPATK) mendapati peningkatan drastis transaksi mencurigakan senilai triliunan rupiah untuk kampanye Pemilihan Umum (Pemilu) 2024. Transaksi tersebut bersumber dari tambang ilegal dan aktivitas kejahatan lingkungan lainnya.
Transaksi ini terendus lantaran adanya aktivitas janggal dalam rekening khusus dana kampanye (RKDK). "Kenaikan [transaksi] lebih dari 100%," ungkap Kepala PPATK, Ivan Yustiavandana, dalam diseminasi "Securing Hasil Tindak Pidana Lintas Batas Negara melalui Implementasi Regulasi mengenai Penundaan, Penghentian, dan Pemblokiran Transaksi," di Jakarta, Kamis (14/12).
"Rekening khusus dana kampanye untuk membiayai kegiatan kampanye politik itu cenderung flat, kan, cenderung tidak bergerak transaksinya. Yang bergerak ini justru di pihak-pihak lainnya," imbuhnya.
Kendati begitu, Ivan tidak memerinci tentang siapa penerima uang haram tersebut. Ia hanya menyampaikan, PPATK telah menyampaikan temuannya kepada Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu). "Kita sudah diinformasikan."
Terpisah, Komisioner Bawaslu RI, Lolly Suhenti, membenarkan jika sudah mendapatkan informasi tentang transaksi mencurigakan untuk kampanye dari PPATK. Pihaknya pun masih mempelajarinya sampai sekarang.
"Betul, Ketua [Bawaslu] sudah menginformasikan hal termaksud. [Informasi PPATK] masih kami dalami," ucapnya, Jumat (15/12).
PPATK harus terbuka
Sementara itu, Sekretaris Jenderal Komisi Independen Pemantau Pemilu (KIPP), Kaka Suminta, mendorong PPATK membuka temuan tersebut selebar-lebarnya, termasuk peserta pemilu penerima dana haram tersebut. Sebab, sudah menjadi informasi publik mengingat berkaitan dengan kampanye dan pemilu.
"Semua yang berkaitan dengan pemilu dan kampanye itu merupakan informasi publik, jangan lagi berlindung di balik kerahasiaan perbankan. [Mengingat] soal pemilu dan kampanye, maka kerahasiaan perbankan menjadi sekunder karena lex specialis-nya adalah dana kampanye," katanya saat dihubungi Alinea.id.
"Kemudian, kalau kita simak, [PPATK bilang] telah mengoordinasikan. Saya pikir, yang dikoordinasikan di dalamnya itu juga informasinya seperti apa, kita belum jelas informasi apa yang diberikan PPATK kecuali jumlahnya memang triliunan dan kemudian sumbernya dari tambang dan [kejahatan] lingkungan," imbuhnya.
Kaka menegaskan, pendanaan haram lantaran bersumber dari aktivitas ilegal dan bertentangan dengan hukum dan mengancam pemilu. Dengan demikian, kasus ini harus diusut tuntas.
"Dana yang tidak haram saja bisa haram di pemilu. Misalnya, melewati ambang batas sumbangan perorangan Rp2,5 miliar atau sumbangan corporate Rp25 miliar. Jadi, uang yang halal saja bisa haram ketika masuk pemilu dengan cara yang tidak benar. Apalagi, di awal ini sudah uang haram. Kalau sudah masuk, maka ini harus menjadi terang oleh Bawaslu," tuturnya.
Merujuk Pasal 8 ayat (1) dan ayat (2) serta Pasal 34 ayat (1) dan ayat (2) Peraturan KPU (PKPU) Nomor 18 Tahun 2023, sumbangan dana kampanye untuk calon DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota serta kandidat Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024 dari perorangan maksimal Rp2,5 miliar, sedangkan dari kelompok, perusahaan, dan/atau badan usaha nonpemerintah Rp25 miliar. Adapun sumbangan untuk calon senator (DPD), sebagaimana Pasal 57 ayat (1) dan ayat (2), dari perorangan maksimal Rp750 juta, sedangkan sedangkan dari kelompok, perusahaan, dan/atau badan usaha nonpemerintah Rp1,5 miliar.
Ia melanjutkan, dana kampanye oleh peserta pemilu harus dilaporkan kepada KPU. Setidaknya, berdasarkan Pasal 3 ayat (2) PKPU 18/2023, ada tiga dokumen: laporan awal dana kampanye (LADK), laporan pemberi sumbangan dana kampanye (LPSDK), serta laporan penerimaan dan pengeluaran dana kampanye (LPPDK).
Kaka tak mengetahui, apakah transaksi janggal tersebut tercatat dalam laporan yang diserahkan kepada KPU atau tidak. "Kalau tidak masuk, berarti masuknya lewat mana? Berarti dana haram masuk secara ilegal juga. Nah, tinggal Bawaslu bersama PPATK menganalisis ini."
Ia pun mendorong Bawaslu mengusut kasus ini hingga tuntas. Jika masalah tersebut merupakan informasi awal PPATK, maka Bawaslu mesti mengusutnya sesegera mungkin. Selain informasi awal, penanganan perkara juga bisa dilakukan ketika adanya laporan.
"Kalau informasi awal, maka ini menjadi temuan. Bawaslu punya waktu yang pendek. Ketika menjadi temuan, kapan ditemukan harus menjadi titik awal. Bawaslu tidak bisa berlindung karena alasan keterlambatan. Sering kali, kan, misalnya laporan masyarakat, termasuk yang pernah saya laporkan, tidak memenuhi syarat materiel. Syarat materiel itu dua: tempus delicti (waktu kejadian) dan locus delicti (tempat kejadian). Nah, misalnya, laporan saya locus delicti-nya oke, tapi dipermasalahkan dalam tempus delicti," ulasnya.
"Ketika ini disampaikan PPATK, maka Bawaslu memiliki waktu 7 hari kerja untuk menindaklanjuti. Jadi, tidak bisa dibuat lama-lama. Kalau lama jadi basi," sambungnya tegas.
Bagi Kaka, sangat tidak logis jika Bawaslu tidak mendalami informasi PPATK itu. Pangkalnya, diberikan kewenangan besar dalam regulasi. Pun tidak banyak negara demokrasi yang membentuk lembaga penyelenggara pemilu di bidang pengawasan.
"Sangat sedikit di negara lain yang punya lembaga seperti Bawaslu. Nah, kalau Bawaslu dengan kinerjanya dinilai tidak berguna, ya, mungkin kita perlu untuk mengoreksi undang-undang kita karena pertama, lembaga ini memang diciptakan untuk menjaga keadilan pemilu dan kedua, juga anggaran yang besar dengan kewenangan yang luar biasa. Dengan kewenangan yang luar biasa yang diberikan undang-undang, maka seyogianya Bawaslu menjadikan ini bagian dari untuk meningkatkan kinerjanya," urainya.
Terancam didiskualifikasi
Di sisi lain, Kaka menilai, para peserta pemilu yang terbukti menerima dana haram untuk membiayai kampanyenya bisa dicoret keikutsertaannya. "Ini sampai diskualifikasi kalau terbukti."
Selain itu, dapat dijerat tindak pidana lain, seperti korupsi atau kejahatan lingkungan, jika dikembangkan oleh aparat penegak hukum (APH). Akibatnya, bisa dikenakan kurungan badan ataupun denda.
Kaka pun mendorong APH menindaklanjutinya. Namun, tidak menjerat para pelaku dengan UU Pemilu lantaran hukumannya lebih ringan dibandingkan UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) atau UU Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
"Ruang pidananya itu ada di pemilu dan luar pemilu. Lex specialis-nya di pemilu: pelanggaran kampanye dan dana kampanye. Ada pidananya. Tapi, saya pikir, konstruksi pemilu itu bukan untuk menghukum orang seperti halnya pidana murni, KUHP/KUHAP, karena [UU Pemilu] ini untuk pencegahan, efek jera," ucapnya.