Problem kematangan dan kecerdasan emosional Gibran
Performa cawapres nomor urut 2 Gibran Rakabuming Raka di debat ronde keempat Pilpres 2024 menunjukkan bahwa Wali Kota Surakarta itu belum matang sebagai calon pemimpin. Tak banyak bicara substansi, Gibran cenderung asyik mengobral gimik dan menyerang personal lawan politiknya.
Direktur Eksekutif Lingkar Madani untuk Indonesia (LIMA) Ray Rangkuti menilai Gibran tampil sangat emosional. Gimik-gimik yang ditampilkan Gibran, kata dia, merupakan strategi untuk menghindari adu gagasan yang substansial.
"Itu sangat terlihat ada muatan balas dendam karena Prabowo (Subianto) sebelumya kalah debat dengan kubu paslon 1 dan paslon 3. Dia ingin mempermalukan Mahfud dan Muhaimin dengan ngasih ledekan yang tidak subtansial," kata Ray kepada Alinea.id di Jakarta, Rabu (24/1).
Ray mencontohkan momen saat Gibran menanyakan soal greenflation atau inflasi hijau kepada Mahfud. Tanpa merinci terminologi dan arah pertanyannya, Gibran meminta pendapat Mahfud soal itu. Mahfud menjawab dengan memaparkan bagaimana seharusnya negara membangun perekonomian berbasis lingkungan.
Tak puas dengan jawaban kompetitornya itu, Gibran memamerkan aksi celingak-celinguk seolah sedang mencari jawaban Mahfud. "Kok enggak ketemu jawabannya," kata putra sulung Presiden Joko Widodo (Jokowi) itu.
Menurut Ray, Gibran menampilkan gimik tersebut karena ingin menghindari debat yang substansial. "Selain itu, juga saat menanyakan lithium ferrophosphate (LFP) ke Cak Imin," jelas Ray.
Gibran, menurut Ray, terlihat belum matang secara emosional karena tidak memiliki pengalaman yang panjang di dunia politik. "Kematangan di sini bukan soal umur, tapi kematangan pengalaman. Terlihat dia belum bisa menempatkan debat pada gagasan," ucap Ray.
Ray memandang penampilan debat Gibran kontradiktif dengan komentar Jokowi usai debat ketiga Pilpres 2024. Jokowi sempat meminta agar format debat diubah dan para kandidat tak saling menyerang secara personal.
"Tapi, Gibran sendiri melakukan debat yang menyerang personal. Buat apa juga dia menyinggung nama lain di luar debat saat menyebut Tom Lembong mengenai LFP serta botol beling saat debat?" ujar Ray.
Thomas Trikasih Lembong atau Tom Lembong ialah co-captain tim nasional pasangan Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar (AMIN). Ia pernah menjabat sebagai Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) 2016-2019. Sebelumnya, Tom menjabat sebagai Menteri Perdagangan kabinet Jokowi-Jusuf Kalla selama setahun.
Tingkat kematangan dan karakter Gibran, lanjut Ray, bakal problematik jika pasangan Prabowo-Gibran memenangi Pilpres 2024 dan Gibran duduk sebagai wakil presiden. Ia khawatir Gibran tak dapat mengatasi kondisi ketika ada tekanan publik, apalagi ketika pengaruh Jokowi sudah menurun.
"Sekarang saja sudah banyak masyarakat yang tidak simpati dengan Jokowi. Padahal, dia masih presiden. Bagaimana nanti kalau sudah tidak jadi presiden dan pengaruhnya menurun di mata elite? Itu akan berpengaruh pada Gibran," ucap Ray.
Pendapat senada diungkap analis politik dari Universitas Jember Muhammad Iqbal. Menurut Iqbal, Gibran cenderung sibuk menampilkan gimik dan menyerang personal lawan-lawan politiknya. Di lain sisi, Mahfud dan Cak Imin justru terlihat lebih substansial dalam beradu gagasan.
"Cara yang dilakukan Pak Mahfud dan Cak Imin itu tampak jelas sudah berupaya untuk menguasai paradigma dari kebijakan dari tema debat yang tentang pembangunan berkelanjutan, lingkungan hidup, agraria, pertanian, masyarakat adat dan desa. Gibran, menurut saya tidak dalam menyampaikan sudut pandang paradigma kebijakan atau level pada policy maker," ucap Iqbal kepada Alinea.id.
Dalam komunikasi debat, menurut Iqbal, terdapat dua strategi yang lazim digunakan, yakni komunikasi suportif dan komunikasi defensif. Komunikasi suportif lebih mendorong diskusi yang setara dan terbuka. Komunikasi defensif menonjolkan siasat menjatuhkan lawan ketimbang adu gagasan.
"Apa yang dilakukan oleh Gibran dengan lebih banyak menanyakan terminologi itu justru cenderung kepada defensif. Artinya, strategi untuk bagaimana melontarkan istilah atau terminologi yang sifatnya cenderung demonstratif, berupaya untuk menjebak Mahfud dan Muhaimin dengan beberapa pertanyaan itu," ucap Iqbal.
Iqbal memandang taktik Gibran dengan melontarkan pertanyaan-pertanyaan jebakan itu menunjukkan kecongkakan. Pasalnya, Gibran terlihat seolah sudah menyiapkan gimik untuk melecehkan Mahfud dan Cak Imin di panggung debat.
"Dia banyak main gimik, tapi tim suksesnya memfabrikasi. Misalnya, soal Gibran salaman dengan Mahfud (usai debat). Itu dianggap kesopanan sebagai anak muda. Itu bagian upaya untuk mengelabui persepsi publik, untuk dikacaukan. Padahal, memang dia tidak matang secara pengalaman," ucap Iqbal.
Menurut Iqbal, nasib bangsa ini bakal dipertaruhkan jika sosok seperti Gibran memenangi Pilpres 2024 dan dibiarkan berkuasa. Selain tak matang dan kualitas kecerdasan emosionalnya rendah, gagasan-gagasan Gibran dalam debat juga terkesan sama sekali tak menyentuh persoalan di lapangan.
"Dengan segala hormat, dia (Gibran) belum matang ketika menghadapi satu situasi yang sifatnya spontan, apalagi krisis dan chaotic. Tentu dalam sektor apa pun, kalau kualitasnya semacam itu, akan sangat dipertaruhkan masa depan bangsa ini," kata dia.
Lebih jauh, Iqbal menganggap wajar jika performa debat Gibran berbuah sentimen negatif dan banjir kritik sebagaimana terekam di sejumlah survei pascadebat. Ia meyakini sentimen itu bakal menggerus elektabilitas pasangan Prabowo-Gibran.
"Debat itu paling tidak punya pengaruh tiga sampai tujuh persen. Publik yang bersentimen negatif saya kira wajar. Secara pengalaman, Gibran memang belum cukup matang dan terlihat belum memiliki kecerdasan emosional yang matang," kata dia.