Kerja keras relawan dan dasar keilmuan di balik quick count
Pada 17 April 2019, sebelum masyarakat pergi ke tempat pemungutan suara (TPS) untuk mencoblos, Asrofi Al-Kindi sudah bergegas di pagi buta. Ia berangkat ke TPS 20, Dusun Karangmulyo, Desa Tamanstriyani, Kabupaten Malang, Jawa Timur. Ia harus berada di sana pukul 06.00 WIB.
Sebelumnya, pada 15 April 2019, ia sudah melakukan observasi lapangan di TPS tujuan dan mengenali medan yang akan ditempuhnya. Di TPS desa yang terletak di kaki Gunung Merbabu itu, Asrofi bertugas sebagai interviewer untuk lembaga survei Litbang Kompas.
Pekerja di balik quick count
Di TPS tersebut, Asrofi dibebani tugas untuk meliput, mengecek lokasi TPS, melakukan survei exit poll terhadap empat orang pemilih yang sudah mencoblos, menunggu hasil penghitungan suara, serta mendokumentasikan TPS, panitia, saksi, dan formulir C1 yang sudah ditandatangani Ketua Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS).
“Semuanya nanti dilaporkan pada Litbang Kompas di pusat (Jakarta), lewat konfirmator,” katanya kepada reporter Alinea.id, Rabu (24/4).
Asrofi sudah mempersiapkan segala keperluannya sehari sebelum pemungutan suara serentak. Mulai dari mengecek kelayakan sepeda motor yang akan ia gunakan, serta menyiapkan logistik dan perangkat komunikasi yang memadai agar terus bisa berkoordinasi dengan koordinator wilayah.
“Kebetulan TPS tempat saya bertugas medannya berat, berada di tengah hutan pinus dan sinyal yang ada di sana hanya sinyal Telkomsel,” kata Asrofi.
Mahasiswa Geografi Universitas Negeri Malang tersebut mengatakan, untuk sampai ke lokasi TPS, ia menghabiskan waktu berkendara selama 2,5 jam, dengan jarak tempuh 42 kilometer dari Kota Malang. Rintangan pun ia lalui.
“Beberapa kali sepeda motor saya masuk kubangan. Karena jalannya berbatu, ketika hujan semua air tumpah ke jalanan dan mengikis tanah, yang tersisa cuma batu-batu,” ujar Asrofi.
Jalan beraspal hanya terdapat di ujung desa. Pria yang juga bekerja sebagai kartografer dan desainer grafis lepas ini mengaku, Dusun Karangmulyo merupakan wilayah paling sulit dijangkau, selama dua kali ia bertugas sebagai relawan lembaga survei.
Akan tetapi, Asrofi mengatakan, beban kerja itu sesuai dengan honorarium yang ia terima. Ia mendapatkan honor Rp700.000 untuk dua hari kerja, yakni tanggal 15 April 2019 dan 17 April 2019. Honor itu di luar uang kompensasi sebesar Rp150.000, sebagai uang lelah menempuh medan yang berat.
Selain Asrofi, Rara Iswahyudi juga menjadi relawan Litbang Kompas. Berbeda dengan Asrofi, Rara bertugas sebagai konfirmator. Tugasnya memastikan semua interviewer yang berada di TPS siap.
Selain itu, Rara juga harus memastikan data yang masuk ke dalam basis data dan foto C1 yang diberikan interviewer benar. Ia bertanggung jawab “memegang” 15 hingga 17 TPS yang ada di wilayah Indonesia bagian tengah, meliputi Pulau Jawa dan Pulau Kalimantan.
“Saya harus menelepon mereka yang ada di lapangan, memastikan semuanya siap,” katanya saat dihubungi, Rabu (24/4).
Sama seperti Asrofi, Rara pun menerima imbalan Rp700.000. Namun, ia tak turun ke lapangan, hanya bekerja di kantor. Pada 15 April 2019, Rara hanya melakukan persiapan. Kemudian, pada 17 April 2019, ia harus bekerja mulai pukul 07.00 WIB hingga pukul 23.00 WIB.
“Ya lumayan berat sih kerjanya, karena kan harus neleponin yang di lapangan satu-satu. Belum lagi masih ada petugas lapangan yang enggak ngerti caranya nginput data gimana, jadi harus dijelaskan lagi,” ucapnya.
Pemilu 2019 merupakan pengalaman pertama Rara menjadi petugas quick count atau hitung cepat di sebuah lembaga survei. Ia pun mengaku kewalahan dengan pekerjaan ini.
Pada 17 April 2019, sebelum masyarakat pergi ke tempat pemungutan suara (TPS) untuk mencoblos, Asrofi Al-Kindi sudah bergegas di pagi buta. Ia berangkat ke TPS 20, Dusun Karangmulyo, Desa Tamanstriyani, Kabupaten Malang, Jawa Timur. Ia harus berada di sana pukul 06.00 WIB.
Sebelumnya, pada 15 April 2019, ia sudah melakukan observasi lapangan di TPS tujuan dan mengenali medan yang akan ditempuhnya. Di TPS desa yang terletak di kaki Gunung Merbabu itu, Asrofi bertugas sebagai interviewer untuk lembaga survei Litbang Kompas.
Pekerja di balik quick count
Di TPS tersebut, Asrofi dibebani tugas untuk meliput, mengecek lokasi TPS, melakukan survei exit poll terhadap empat orang pemilih yang sudah mencoblos, menunggu hasil penghitungan suara, serta mendokumentasikan TPS, panitia, saksi, dan formulir C1 yang sudah ditandatangani Ketua Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS).
“Semuanya nanti dilaporkan pada Litbang Kompas di pusat (Jakarta), lewat konfirmator,” katanya kepada reporter Alinea.id, Rabu (24/4).
Asrofi sudah mempersiapkan segala keperluannya sehari sebelum pemungutan suara serentak. Mulai dari mengecek kelayakan sepeda motor yang akan ia gunakan, serta menyiapkan logistik dan perangkat komunikasi yang memadai agar terus bisa berkoordinasi dengan koordinator wilayah.
“Kebetulan TPS tempat saya bertugas medannya berat, berada di tengah hutan pinus dan sinyal yang ada di sana hanya sinyal Telkomsel,” kata Asrofi.
Mahasiswa Geografi Universitas Negeri Malang tersebut mengatakan, untuk sampai ke lokasi TPS, ia menghabiskan waktu berkendara selama 2,5 jam, dengan jarak tempuh 42 kilometer dari Kota Malang. Rintangan pun ia lalui.
“Beberapa kali sepeda motor saya masuk kubangan. Karena jalannya berbatu, ketika hujan semua air tumpah ke jalanan dan mengikis tanah, yang tersisa cuma batu-batu,” ujar Asrofi.
Jalan beraspal hanya terdapat di ujung desa. Pria yang juga bekerja sebagai kartografer dan desainer grafis lepas ini mengaku, Dusun Karangmulyo merupakan wilayah paling sulit dijangkau, selama dua kali ia bertugas sebagai relawan lembaga survei.
Akan tetapi, Asrofi mengatakan, beban kerja itu sesuai dengan honorarium yang ia terima. Ia mendapatkan honor Rp700.000 untuk dua hari kerja, yakni tanggal 15 April 2019 dan 17 April 2019. Honor itu di luar uang kompensasi sebesar Rp150.000, sebagai uang lelah menempuh medan yang berat.
Selain Asrofi, Rara Iswahyudi juga menjadi relawan Litbang Kompas. Berbeda dengan Asrofi, Rara bertugas sebagai konfirmator. Tugasnya memastikan semua interviewer yang berada di TPS siap.
Selain itu, Rara juga harus memastikan data yang masuk ke dalam basis data dan foto C1 yang diberikan interviewer benar. Ia bertanggung jawab “memegang” 15 hingga 17 TPS yang ada di wilayah Indonesia bagian tengah, meliputi Pulau Jawa dan Pulau Kalimantan.
“Saya harus menelepon mereka yang ada di lapangan, memastikan semuanya siap,” katanya saat dihubungi, Rabu (24/4).
Sama seperti Asrofi, Rara pun menerima imbalan Rp700.000. Namun, ia tak turun ke lapangan, hanya bekerja di kantor. Pada 15 April 2019, Rara hanya melakukan persiapan. Kemudian, pada 17 April 2019, ia harus bekerja mulai pukul 07.00 WIB hingga pukul 23.00 WIB.
“Ya lumayan berat sih kerjanya, karena kan harus neleponin yang di lapangan satu-satu. Belum lagi masih ada petugas lapangan yang enggak ngerti caranya nginput data gimana, jadi harus dijelaskan lagi,” ucapnya.
Pemilu 2019 merupakan pengalaman pertama Rara menjadi petugas quick count atau hitung cepat di sebuah lembaga survei. Ia pun mengaku kewalahan dengan pekerjaan ini.
Pengawal dan penguji
Di tengah usaha para relawan di balik layar quick count sebuah lembaga survei, seperti Asrofi dan Rara, banyak tudingan miring terhadap hasil quick count. Hingga kini, quick count sebagian besar lembaga survei menunjukkan pasangan Joko Widodo-Ma’ruf Amin unggul dari lawannya Prabowo Subianto-Sandiaga Salahuddin Uno.
Pada 19 April 2019, calon presiden nomor urut 02 Prabowo Subianto pernah menyinggung lembaga survei yang merilis hasil quick count. Menurutnya, lembaga survei adalah tukang bohong yang harus pindah ke Antartika.
Menanggapi hal ini, pengamat politik Ray Rangkuti mengimbau kepada para pelaku lembaga survei untuk bersabar. Ia menuturkan, waktu yang membuktikan siapa yang benar dan berharap agar orang-orang jangan terpancing emosi.
Direktur Lingkar Madani Indonesia ini mengatakan, hasil quick count harus disikapi dengan sewajarnya. Quick count, menurut Ray adalah informasi tentang gambaran penghitungan suara. Kebenarannya bisa dilihat dari dua hal, yakni hasil penghitungannya dan metodologinya.
Ia menuturkan, awal mula ada quick count karena sebelumnya publik tak punya perangkat yang bisa mengecek jumlah suara dan hasil penghitungan yang dilakukan Komisi Pemilihan Umum (KPU).
“Selama Orde Baru orang tidak memiliki perangkat untuk menguji penghitungan suara. Orang tidak tahu berapa jumlah suara yang sah dan tidak, dan berapa persentase sebenarnya dari keseluruhan jumlah suara,” katanya saat dihubungi, Rabu (24/4).
Quick count dipakai pertama kali di Indonesia saat Pemilu 2004. Lembaga Penelitian, Pendidikan, Penerangan, Ekonomi, dan Sosial (LP3ES) merupakan lembaga pertama yang melakukan penghitungan cepat atau quick count.
Menurut Ray, quick count seharusnya diposisikan sebagai pengawal dan penguji hasil penghitungan suara yang dilakukan resmi oleh KPU.
“Kalau sekarang kan di balik logikanya, quick count diuji keakuratannya dengan data KPU,” katanya.
Ia mengatakan, selama ini hasil quick count selalu tepat dan lebih dapat dipertanggung jawabkan kebenarannya karena dilakukan dengan metode riset yang jelas. Lagi pula, katanya, rekam jejak sejumlah lembaga survei yang merilis hasil quick count telah terdaftar di KPU dan belum terbukti memiliki rekam jejak yang buruk.
“Karena memang survei itu harus dilakukan oleh orang dengan keahlian ilmu pengetahuan khusus,” ujarnya.
Riset quick count
Sementara itu, peneliti di Pusat Penelitian Politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Wasisto Raharjo Jati memandang, secara etika riset, quick count hanya sebagai data pembanding dan data kontrol terhadap real count.
“Tujuannya adalah mengantisipasi adanya temuan error dalam rekapitulasi suara. Jadi, quick count itu bukanlah sebagai hasil sementara pemilu,” tutur Wasisto saat dihubungi, Rabu (24/4).
Bukan kali ini saja hasil quick count memicu perselisihan dua kubu yang menjadi kontestan pemilu. Menurut Wasisto, hal itu pernah terjadi pada Pemilu 2014. Saat itu, Jaringan Suara Indonesia (JSI) dan Pusat Kajian Kebijakan dan Pembangunan Strategis (Puskaptis) mengeluarkan hasil quick count yang berbeda.
“Ketika ditelusuri, kurang transparan. Sehingga dikeluarkan dari Persepi (Perhimpunan Survei Opini Publik Indonesia),” ucapnya.
Wasisto menyarankan, sebaiknya hasil quick count diumumkan sebagai hasil final, dan bukan hasil pembaruan data hingga 100%. Selain itu, menurut dia, dijelaskan secara gamblang jumlah sampling sebaran TPS per provinsi, dan bagaimana metodologi samplingnya.
“Sebenarnya dalam menentukan sampling itu tergantung dari luas wilayah dan jumlah penduduknya. Jadi, tiap daerah beda sampling,” kata Wasisto.
Wasisto menjelaskan, sampling itu diambil dari 5.000 hingga 10.000 TPS. Saat angkat sudah di atas 50%, kata dia, artinya sudah menunjukkan stabilnya persentase suara kandidat.
“Tren sudah lebih mudah dibaca kecenderungannya,” ujar Wasisto.
Dihubungi terpisah, Guru Besar Ilmu Statistika, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Pertanian Bogor (IPB), Asep Saefuddin menjelaskan tentang bagaimana cara quick count bekerja. Ia mengatakan, quick count hanya metode keilmuan, yang meski tingkat akurasinya tinggi, tetap ada kemungkinan salah.
“Statistika mengalokasikan adanya dua tipe kesalahan, yakni salah jenis pertama atau type one error (alfa) dan salah jenis kedua atau type two error (beta),” tutur Asep.
Menurutnya, alfa adalah kesalahan menyimpulkan bahwa quick count salah, padahal kenyataannya benar. Sedangkan beta adalah kesimpulan bahwa quick count benar, padahal kenyataannya salah.
“Alfa berkaitan dengan selang kepercayaan, yakni sebesar 100% alfa. Misalnya, bila alfa 5%, maka selang kepercayaan sebesar 95%. Selang kepercayaan ini jangan diartikan sebagai tingkat kepercayaan, yang secara makna keduanya sangat berbeda,” kata dia.
Lebih lanjut, kata Asep, alfa dan batas galat atau margin of error digunakan lembaga survei dalam penentuan ukuran contoh. Hal ini, kata dia, bertujuan agar ukuran contoh cukup pada selang kepercayaan dan batas galat tertentu.
“Biasanya selang kepercayaan dan batas galat yang diambil masing-masing 95% dan 2%. Akan tetapi, dalam survei atau quick count, yang sangat penting adalah keacakan,” ujarnya.
Menurut Asep, keacakan inilah yang menjaga independensi, sehingga hasil yang diperoleh tak bias. Ia melanjutkan, metode yang tak bias, meski ukuran contoh terlihat kecil, tetap valid dan bisa dipercaya secara keilmuan.
Di sisi lain, Wasisto mengatakan, hasil quick count merupakan pemetaan awal terhadap perilaku memilih masyarakat. Ibaratnya, kata dia, quick count hipotesisnya, sedangkan real count sintesisnya.
Menyinggung polemik hasil quick count, Wasisto berpendapat, ada dua hal yang perlu dibenahi. Pertama, pola pikir masyarakat terhadap quick count perlu diubah, bukan sebagai hasil politik, tetapi hasil riset yang bisa dipertanggung jawabkan. Kedua, lembaga survei perlu bersepakat untuk mengeluarkan hasil angka quick count ketika sudah di atas 50%.
“Jangan seperti sekarang yang justru membuat masyarakat itu penasaran dan terbelah opininya,” kata Wasisto.