Saat birokrat meramaikan gelanggang Pilkada 2024
Sejumlah tokoh dari kalangan birokrasi di daerah mulai menjadi incaran partai politik untuk diusung sebagai calon kepala daerah. Di Depok, Jawa Barat, misalnya, Sekda Kota Depok Supian Suri dikabarkan selangkah lagi jadi kader Partai Gerindra.
Supian menjajaki kemungkinan berbaju Gerindra setelah mengajukan surat pengunduran diri dari jabatan Sekda Kota Depok. Mengantongi dukungan dari Partai Amanat Nasional (PAN), PDI-Perjuangan, dan sejumlah parpol lainnya, ia berniat maju jadi calon Wali Kota Depok di Pilkada Serentak 2024.
Di Salatiga, nama pelaksana jabatan Wali Kota Salatiga Sinoeng Rachmadi muncul di bursa kandidat Pilwalkot Salatiga 2024. Sinoeng telah mengajukan pengunduran diri dari posisinya sebagai Staf Ahli Gubernur bidang Kemasyarakatan dan Sumber Daya Manusia.
Sinoeng digadang-gadang bakal diusung PDI-Perjuangan sebagai kandidat Wali Kota Salatiga. Saat menjabat sebagai Wali Kota Salatiga, tepatnya pada akhir Agustus lalu, Sinoeng pernah kedapatan menghadiri rapat koordinasi yang digelar DPD PDIP Jawa Tengah (Jateng) di Hotel Padma, Kota Semarang, Jateng,
Di Kabupaten Sidrap, Sulawesi Selatan, Kepala Dinas Perdagangan dan Perindustrian Sidrap digaet NasDem untuk mendampingi Syaharuddin Alrif di Pilbup Sidrap. Di Kotawaringin Timur (Kotim), para birokrat juga bermunculan jadi kandidat, mulai dari Sekda Kotim Fajrurrahman, Kadis Lingkungan Hidup Kotim Machmoer, dan amat Parenggean, Siyono.
Direktur Eksekutif Trias Politika Strategis, Agung Baskoro kalangan birokrat percaya diri maju di berbagai pilkada lantaran sudah punya modal politik yang kuat. Fenomena maraknya birokrat maju pilkada juga dipengaruhi sikap parpol yang cenderung pragmatis menghadapi Pilkada Serentak 2024.
"Dari pada mereka capek-capek mengkader dari bawah, tinggal pilih dengan cermat birokrat potensial. Parpol bisa menghemat banyak hal-hal memakan banyak energi. Saya kira ini problem hampir semua partai," ucap Agung kepada Alinea.id, Senin (27/5).
Agung merinci sejumlah hal yang harus dimiliki birokrat untuk dipinang parpol. Pertama, pengalaman panjang dalam mengelola pemerintahan di daerah. Kedua, memiliki jejaring yang kuat untuk memobilisasi masyarakat setempat.
"Ketiga, memiliki logistik karena birokrat ini menguasai betul seluk beluk anggaran di pemerintahan. Bila berhasil memenangkan calon birokrat, maka partai akan dapat sumber daya baru," imbuh Agung.
Kalangan petinggi di birokrasi, kata Agung, punya insentif elektoral lantaran bisa memobilisasi bawahan dan aparatur sipil negara (ASN) di lingkungan pemda. Birokrat yang dipandang berkinerja baik juga lebih mudah mendapatkan simpati publik.
"Artinya, mobilisasi hanya bisa tercipta ketika figur birokrasi memang kuat, kemudian juga mesin-mesin politik para birokrat ini juga bekerja dengan maksimal sehingga para birokrat yang menjadi bawahan bisa dimobilisasi," ucap Agung.
Bagi parpol, menurut Agung, merekrut eks birokrat sebagai kader membuka akses ke sumber-sumber ekonomi daerah. "Jadi celah anggaran itu yang dianggap partai itu menjadi nilai tambah atau value added dari birokrat ini ketika dicalonkan dari partai mereka," imbuh dia.
Analis politik dari Universitas Trunojoyo, Iskandar Dzulkarnain, mafhum bila birokrat menjadi incaran parpol untuk diusung jadi kandidat kepala daerah. Secara antropologis, kalangan birokrat yang merupakan jelmaan priyayi yang memainkan peranan penting dalam lingkaran kekuasaan.
"Kita tidak menafikan peran priyayi dalam polarisasi relasi kuasa yang diusung oleh (antropolog Clifford) Geertz. Birokrat kini sebagai jelmaan dari para priyayi pada masa kolonialisme. Birokrasi di Indonesia belum mampu menghilangkan genetika yang dibangun oleh koloni," ucap Iskandar kepada Alinea.id, Selasa (28/5).
Geertz membagi masyarakat Jawa menjadi tiga tipe, yaitu kalangan abangan, priyayi, dan santri. Kalangan priyayi pada era kolonial umumnya merupakan keturunan bangsawan atau ningrat yang memegang jabatan di pemerintahan lokal.
Selain punya kuasa, menurut Iskandar, birokrat juga lihai mengendalikan anggaran pada sebuah wilayah. Kompetensi itu menguntungkan bagi partai politik bermodal cekak alias tidak memiliki pendanaan yang memadai untuk mengarungi pertarungan pilkada.
"Selain tentunya mereka punya kharisma yang terbangun di masyarakat. Kuasa dan kharisma menjadi elemen penting untuk memperebutkan kekuasaan, menurut (sosiolog Max) Weber, yang di dalamnya ada kuasa ekonomi, budaya dan politik," ucap Iskandar.
Praktik mengusung birokrat, kata Iskandar, juga menjadi pertanda mandeknya kaderisasi parpol di daerah. "Ini juga menjadi salah satu elemen kenapa parpol tidak bisa mandiri dalam pendanaan," jelas Iskandar.
Analis politik dari Universitas Diponegoro (Undip) Fitriyah menilai fenomena birokrat maju di pentas pilkada bukan barang baru pada politik nasional pasca-Reformasi. Namun, fenomena tersebut surut seiring berlakunya UU Pilkada.
"Jadi, awal pilkada langsung pada era Reformasi itu banyak birokrat yang maju. Terus, ada aturan (birokrat harus mundur dari PNS (jika maju jadi calon kepala daera)," ucap Fitriyah kepada Alinea.id, Selasa (28/5).
Terkait kembali maraknya kalangan birokrat diusung parpol jadi kandidat kepala daerah, menurut Fitriyah, merupakan indikasi bahwa biaya politik untuk kontestasi elektoral yang semakin mahal. Itu membuat kader-kader tidak bergairah mencalonkan diri sebagai kepala daerah.
"Biaya pilkada yang semakin mahal membuat partai menjadi realistis. Terus masih banyak petahana yang maju. Mungkin kalkulasi itu yang jadi pertimbangan," ucap Fitriyah.
Senada, analis politik dari Universitas Lampung Darmawan Purba menilai kalangan birokrat merupakan pilihan realistis bagi parpol. Selain sudah punya kecakapan terkait regulasi, birokrat lokal juga sudah paham tata kelola keuangan daerah yang bisa dimanfaatkan.
"Yang dipilih tentunya birokrat yang (sudah punya jabatan) tinggi kemudian juga sudah memiliki jejaring sosial politik yang luas, dan juga mungkin (kekuatan finansial). Karena mereka sudah sampai pada jabatan strategis, bisa dikatakan memiliki pendanaan internal yang cukup," ujar Darmawan kepada Alinea.id.
Di lain sisi, Darmawan juga" menyalahkan" model pilkada serentak di 514 kabupaten dan kota serta 38 provinsi. Menurut dia, keserentakan pilkada bikin parpol kelimpungan memilah calon yang potensial diusung di pilkada.
"Kontestasi kepala daerah terjadi di setiap kabupaten kota sehingga membutuhkan banyak sumber daya manusia dan tokoh-tokoh yang diusung oleh parpol. Bisa dikatakan sosok eks birokrat yang sudah menempuh jabatan strategis di birokrasi merupakan calon potensial dan mereka bisa diandalkan," ucap Darmawan.