Kubu pasangan calon presiden dan calon wakil presiden Prabowo Subianto-Sandiaga Uno terkesan telah mencampuradukkan permasalahan yang tidak relevan dalam sengketa Pemilihan Presiden (Pilpres) 2019. Hal ini diungkapkan ahli yang diajukan Tim Hukum pasangan Jokowi-Maruf Amin, Edward Omar Syarief Hiariej.
"Kuasa hukum pemohon secara kasat mata mencampuradukkan antara sengketa dengan perselisihan hasil pemilu. Dengan catatan, itu pun jika sengketa pemilu dapat dihadirkan dan disahkan secara meyakinkan," ujar Edward dalam persidangan sengketa Pilpres di Mahkamah Konstitusi (MK), Jakarta Pusat, Jumat (21/6).
Pada Pasal 24c Undang-Undang Dasar (UUD)1945 secara expressive verbis terang menyatakan bahwa MK berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang (UU) terhadap UUD. MK memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan pemilu.
Untuk membaca teks UU itu, kata Edward, juga harus berlaku postulat primo executienda est verbis vis, ne sermonis vitio obstruatur oratio, sive lex sine. Artinya argumentis yang berarti perkataan adalah hal pertama yang diperiksa untuk mencegah adanya kesalahan pengertian atau kekeliruan dalam menemukan hukum.
"In casu a quo dalam kaitannya dengan kewenangan MK merujuk pada pasal a quo, yang menjadi kewenangan MK adalah memutus perselisihan tentang hasil pemilu saja," tandas Edward.
Interpretasi gramatikal sistematis terhadap Pasal 24c UUD 1945 juncto Pasal 74 dan Pasal 75 UU MK sebagai derivat dari kewenangan MK yang terdapat dalam UUD 1945 secara jelas dan terang menyatakan, kewenangan MK hanya terhadap kesalahan hasil perhitungan suara yang diumumkan oleh Komisi Pemilihan Umum( KPU) dan hasil perhitungan yang benar menurut pemohon.
Dengan demikian, secara mutatis mutandis, fundamentum petendi yang dikonstruksikan Tim Kuasa Hukum Pemohon seharusnya berkaitan dengan hasil perhitungan suara.
Masih dengan menggunakan interpretasi gramatikal sistematis, diterangkan Edward, kata “perselisihan” yang dimaksudkan dalam pasal a quo adalah tentang selisih suara dan bukan tentang sengketa pemilu.
Kuasa Hukum Pemohon, kata dia, tidak hendak menyoal tentang hasil perhitungan suara yang merupakan kewenangan MK, tetapi justru mempersoalkan hal lain di luar kewenangan MK.
"Dengan menggunakan dalil yang diajukan oleh Kuasa Hukum Pemohon bahwa 'MK bukan Mahkamah Kalkulator, MK tidak boleh dipasung dalam ketentuan UU, dan MK merupakan the guardian of constitution, menunjukan bahwa Tim Kuasa Hukum Pemohon secara implisit mengakui tidak ada kesalahan dalam perhitungan atau rekapitulasi pemilihan presiden yang dilakukan KPU," tandas Edward.
Apalagi Kuasa Hukum Pemohon dalam fundamentum petendi hanya menunjukkan pelanggaran-pelanggaran pemilu seperti penyalahgunaan APBN dan atau program kerja pemerintah saja. Sebagai contoh pada dugaan ketidaknetralan Aparatur Sipil Negara seperti polisi dan intelijen, penyalahgunaan birokrasi dan BUMN, pembatasan kebebasan media dan pers, serta diskriminasi dalam penegakan hukum.
Bagi Edward, jika masalah-masalah itu yang dipermasalahkan, harusnya semua itu berdasarkan UU Nomor 7 Tahun 2017 dan seharusnya dilaporkan kepada Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu). Selanjutnya, Bawaslu yang mengkualifikasi apakah berbagai pelanggaran tersebut merupakan pelanggaran administrasi, sengketa administrasi ataukah pidana pemilu.
"Berdasarkan hasil kualifisir tersebut, Bawaslu akan mendistribusikan kasus sengketa pemilu ke Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP), KPU, Peradilan Umum ataukah Peradilan Tata Usaha Negara," papar Edward.