Saksi dari parpol tekan petugas KPPS selama pemungutan suara
Pemilihan umum serentak pada 17 April lalu memakan korban. Hingga 16 Mei, tercatat 527 orang petugas Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) meninggal dunia.
Petugas KPPS yang meninggal dunia diduga bukan hanya karena kelelahan, melainkan juga mendapat tekanan dari para saksi partai politik (Politik) yang suaranya rendah.
Ketua KPPS 72, Pondok Ranji, Ciputat Timur, Tanggerang Selatan, Darmawan Chatur menceritakan mengenai kronologis saat pemungutan suara hingga penghitungan suara di daerahnya.
Meski tidak ada korban meninggal yang menimpa anggotanya, namun beberapa faktor diduga sebagai penyebab ratusan orang meninggal dan belasan ribu jatuh sakit dirasakan Chatur.
Chatur menceritakan di hari pemungutan suara 17 April sudah terjadi tekanan saat Tempat Pemungutan Suara (TPS) dibuka. Undangan yang disampaikan kepada masyarakat berdasarkan aturan Komisi Pemilihan Umum (KPU) adalah pukul 07.00 WIB. Padahal pukul 07.00 WIB adalah waktu panitia di tiap TPS membuka segel dan merapikan surat suara.
Mereka hanya diberikan waktu 30 menit untuk menyiapkan hal tersebut. Namun masyarakat sudah mulai berdatangan dan menunggu.
Selanjutnya, pencoblosan berjalan hingga siang. Menjelang sore, saatnya merapikan surat suara tercoblos untuk kemudian dihitung. Petugas harus menyelesaikan penghitungan surat suara dan memberikannya kepada KPPS kelurahan pukul 12.00 WIB.
Di hari itu, menurut Chatur, anggotanya harus melakukan penyelesaian administrasi penghitungan surat suara hingga dini hari. Namun, Chatur akhir memutuskan untuk menghentikan penghitungan suara karena melihat anggotanya yang mulai kelelahan.
“Meskipun saat itu saksi dari Parpol tidak berkenan untuk dihentikan sementara,” ucap Chatur di bilangan Jakarta Pusat, Sabtu (18/5).
Saksi Parpol memang diakui Chatur sebagai pihak yang paling memberikan tekanan kepada petugas. Kebanyakan saksi dari Parpol yang suaranya rendah seringkali memberikan tekanan seperti melarang petugas bersenda gurau untuk mencairkan suasana, memprotes penghitungan yang dinilai keliru sehingga petugas harus menghitung sejak awal, dan protes lainnya.
Sayangnya, Chatur mengungkapkan, petugas dilarang menyanggah karena akan dianggap melawan dan dapat dilaporkan ke Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu). Saat itu di KPPS 72 hanya lima dari 16 saksi Parpol yang hadir.
Pria yang berprofesi di bidang advertising itu pun sempat murka ketika saksi menolak diberhentikan sementara penyelesaian administrasi rekapitulasi lantaran dinilai akan memungkinkan adanya kecurangan.
Bahkan, Chatur sampai rela mobilnya yang akan dijadikan transport mengantar kotak surat suara dipegang kuncinya oleh para saksi sebagai jaminan tak ada kecurangan.
“Saya sampai sempat mengucapkan kalau saya tidak ada untungnya memanipulasi surat suara tersebut. Saya bahkan sampai melontarkan perkataan kasar yang akhirnya saya dilaporkan ke Bawaslu,” ujar Chatur.
Pada akhirnya Chatur tetap menunda penyelesaian administrasi rekapitulasi surat suara hingga pukul 07.30 WIB tanggal 18 April 2019. KPPS 72 akhirnya menyelesaikan semua administrasi pukul 11.00 WIB dengan dijemput oleh petugas kelurahan.
Bayaran tak sesuai
Chatur menyebut bayaran yang diterima petugas KPPS juga tidak sesuai dibandingkan kerugian yang diderita.
“Bayaran kami tidak seberapa, belum lagi dipotong pajak 6%. Tapi di tempat kami punya uang kas yang akhirnya kami gunakan,” tutur Chatur.
Meski KPU memberi uang bayaran, makanan dan minuman bagi petugas KPPS, namun nyatanya itu tidak seimbang dengan kebutuhan.
Chatur mengatakan, dengan waktu kerja selama kurang lebih 20 jam, petugas KPPS di tempatnya harus membeli makanan dan minuman lebih banyak. Akhirnya, mereka menggunakan uang kas yang ada di Ketua Rukun Warga (RW).
“Setelah dihitung-hitung ternyata uang kas tersebut justru lebih banyak keluar dibandingkan yang diberikan KPU. Apalagi salah satu anggota kami mesti dilarikan ke rumah sakit meski tak menjalani rawat inap,” kata dia.
Chatur sendiri harus melakukan cek kesehatan secara pribadi karena merasa dirinya kelelahan. Nyatanya tensi rendahnya meningkat melebihi standar normal.
Tes kesehatan hanya formalitas
Sementara, Chatur membeberkan pengecekan kesehatan petugas KPPS di puskesmas hanya sebatas konsultasi. Bahkan pengecekan kesehatan tersebut terkesan formalitas untuk mendapatkan surat keterangan sehat.
Chatur menyebutkan puskesmas hanya melakukan pengecekan tensi terhadap 82 petugas di wilayahnya. Padahal puskesmas tersebut telah ditunjuk Komisi Pemilihan Umum (KPU) untuk melakukan pengecekan kesehatan tiap petugas
“Kami hanya dicek tensinya lalu ditanyakan pernah sakit apa. Kemudian diberikan surat keterangan sehat,” ujar Chatur.
Menurut Chatur bahkan petugas tidak kesehatan tidak meminta medical check up tiap-tiap petugas KPPS. Waktu pengecekannya pun sangat singkat, satu pekan untuk 82 petugas KPPS 72.
Dewan Pakar Ikatan Dokter Indonesia (IDI) M. Naseer menuturkan pengecekan seperti itu jauh di bawah standar. Ia sangat menyayangkan pengecekan hanya dilakukan seperti itu di puskesmas milik pemerintah.
“Sungguh disayangkan jika anggota kami (IDI) melakukan pengecekan di bawah standar seperti itu,” tutur Naseer.
Naseer juga berpandangan makanan dan minuman bagi petugas KPPS tidak dijamin kesehatannya. Banyak makanan dan minuman yang tidak sesuai standar kesehatan dan tidak membantu stamina petugas KPPS.
Ia pun meminta Kementerian Kesehatan lebih berperan dalam kesehatan dan makanan petugas KPPS ke depannya. Evaluasi penyelenggaraan pemilu serentak memang sangat dibutuhkan.