Segudang problem penyelenggaraan pemilu bagi pekerja migran
Tiap kali mendengar kata pemilu, Marjenab, langsung teringat dengan para caleg yang suka umbar janji. Pekerja migran asal Brebes, Jawa Tengah yang mencari nafkah di Hong Kong itu sudah menganggap janji-janji manis para caleg sebagai lagu lama.
“Mereka datang, janji bakal membantu masalah kami. Tapi begitu terpilih, enggak datang lagi,” ucap Marjenab kepada Alinea.id, Senin (14/8).
“Realitanya, yang sering terjadi, aspirasi kami tidak pernah didengar. (Misalnya) mengenai libur dan biaya penempatan yang sangat besar.”
Aduan soal biaya penempatan dan perlakuan semena-mena majikan, menurutnya, hanya ditampung. Tanpa ditindaklanjuti para caleg, usai berhasil lolos ke Senayan.
“Para pejabat di KJRI (Konsulat Jenderal RI) juga hanya menampung saja aspirasi kami. Pada akhirnya berujung sebagai arsip, tanpa ada eksekusi,” ucapnya perempuan yang sudah bekerja di Hong Kong selama 21 tahun itu.
Masalah-masalah
Harapan Marjenab sebenarnya sederhana. Ia cuma ingin para caleg yang memperebutkan suara pemilih di luar negeri tak ingkar janji dan serius mewujudkan aspirasi buruh migran Indonesia. Tak hanya dijadikan objek meraup suara.
“Suara-suara kami harus didengar,” kata Marjenab.
Selain mengungkapkan unek-uneknya tentang caleg, Marjenab pun menyampaikan segala persoalan penyelenggaraan pemilu yang dialami pekerja migran di Hong Kong. Salah satunya, pendataan yang kerap luput.
Ada pula yang tak dapat memilih karena tak diberi izin libur oleh majikan. Perihal ini, Marjenab pun pernah mengalaminya. Untuk mengatasi hal itu, ia mengatakan, sebaiknya perlu ada tempat pemungutan suara (TPS) yang tersedia tak terlalu jauh dari kantong-kantong basis pekerja migran. Meskipun sudah ada metode kotak suara keliling dan pos, namun Marjenab mengaku, masih sering terjadi pemilih yang luput dari fasilitas itu.
Majenab mengeluh, penyelenggara pemilu bagi pekerja migran di Hong Kong terasa selalu dadakan dalam memberi informasi dan kurang sosialisasi. Padahal, para pekerja migran perlu tahu titik mana saja yang tersedia TPS untuk meminta izin kepada majikan.
“Harus ada tempat-tempat khusus yang disediakan KJRI untuk kita bisa memilih,” kata dia.
Dalam Laporan Pemantauan Pemungutan Suara Pendahuluan Pemilu Serentak 2019 di Luar Negeri yang disusun Migrant Care, pada Pemilu 2019 di Hong Kong digunakan dua metode pemungutan suara, yaitu TPS dan pos, yang melibatkan sebanyak 180.232 pemilih.
Dari hasil pemantauan Migrant Care, pemungutan suara di Hong Kong mengalami beberapa kendala, antara lain banyak pekerja migran yang tak bisa menggunakan hak pilihnya karena antrean yang panjang dan pelayanan yang lamban, serta ada penahanan dokumen oleh agen atau majikan, sehingga tak bisa memenuhi persyaratan kelengkapan dokumen.
Fajar, 44 tahun, pekerja migran di Taiwan asal Tulungagung, Jawa Timur juga mengeluh soal pendataan pemilih yang karut-marut. “(Ada) ketidaktahuan pekerja migran bahwa dirinya ini pernah terdaftar atau belum,” ucap Fajar, Senin (14/8).
Sosialisasi yang kurang masif, menurut Fajar, juga jadi biang kerok pekerja migran gagap menghadapi pemilu. Kesulitan meminta izin dari majikan untuk mencoblos pun dirasakan pekerja migran di Taiwan.
“Kemudian juga jauh TPS dari tempat tinggal dia," ucap Fajar.
Menurut Fajar, di Taiwan pekerja migran ada yang bekerja di pabrik. Meski ada aturan libur dua kali, namun belum tentu ketika hari pencoblosan mereka bisa libur.
"Terus juga PRT (pembantu rumah tangga) untuk hari libur kan mereka bukan hanya sebatas kesepakatan. Jadi, bila majikan tidak mengizinkan ya otomatis mereka tidak bisa untuk pemilu,” ucap Fajar.
Ia juga mengatakan, pemungutan suara buruh migran di Taiwan sering diwarnai penggelembungan suara. Terutama di daerah pabrik lantaran banyak dokumen yang diberikan kepada pemilih yang bukan warga negara Indonesia.
"Ada kesaksian dari beberapa teman yang kerja di pabrik. Jadi ada formulir kosong itu semua dikasih ke satu pabrik, berpuluh-puluh lembar,” ucap Fajar.
“Lebih dari jumlah warga Indonesia yang bekerja di situ. Jadi, siapa yang mau nyoblos ya monggo silakan.”
Solusi menyelesaikan masalah
Alinea.id sudah menginformasikan persoalan penyelenggaraan pemilu di luar negeri kepada komisioner KPU August Mellaz dan Betty Epsilon Idroos. Namun, belum ada respons.
Direktur Eksekutif Migrant Care, Wahyu Susilo mengatakan, penyelenggaraan pemilu di luar negeri, terutama di negara penempatan buruh migran Indonesia, memang selalu semrawut. Bahkan, ia melihat, selalu dianggap tak terlalu penting.
“Berdasarkan pemantauan (penyelenggaraan pemilu) tahun 2009, 2014, dan 2019 tak terhindar adanya kesan penyelenggaraan pemilu yang asal-asalan, sekadar untuk kewajiban penyelenggaraan pemilu di luar negeri,” kata Wahyu, Selasa (15/8).
Hal itu, menurut Wahyu, terlihat dari permasalahan berulang, seperti pendataan pemilih yang tak pernah mencapai separuh dari total jumlah WNI di luar negeri. Selain itu, partisipasi rendah, rekrutmen penyelenggara pemilu yang tidak inklusif, potensi ketidaknetralan perwakilan Indonesia di luar negeri, tak adanya pendidikan pemilih terhadap WNI, metode pemungutan suara yang sulit untuk dipantau dan rentan kecurangan, serta tak adanya instrumen pengawasan spesifik untuk metode pemungutan suara.
Menurut Wahyu, ada kesan diskriminatif terhadap pekerja migran dalam urusan penyelenggaraan pemilu. Sebab, dianggap merepotkan dan pemborosan. Ada anggapan pula seharusnya pekerja migran hanya bekerja, bukan berpolitik.
Terpisah, peneliti Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Nurul Amalia Salabi berpendapat, biang masalah yang memicu penyelenggaraan pemilu di luar negeri semrawut adalah pendataan yang tak akurat.
“Data pemilih migran yang tidak akurat ini merupakan efek turunan dari pendataan pekerja migran dan WNI di luar negeri yang tidak lengkap,” kata Nurul, Selasa (15/8).
Komisi Pemilihan Umum (KPU) menetapkan daftar pemilih tetap (DPT) di luar negeri untuk Pemilu 2024 sebanyak 1,7 juta. Akan tetapi, Migrant Care meragukan jumlah itu. Sebab, berdasarkan data dari Badan Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI) dan World Bank, pekerja migran Indonesia berjumlah 9 juta.
"Belum lagi ditambah dengan jumlah pelajar Indonesia di luar negeri, dan WNI yang bekerja di luar secara ilegal," ucap Nurul.
Di sisi lain, Nurul memandang, semestinya KPU bisa mencocokan pemutakhiran data pemilih di luar negeri dengan data pekerja migran yang dimiliki beberapa LSM. Sebab, selisihnya sangat besar, mencapai 7,3 juta orang.
"Data ini bisa disisir untuk kemudian difasilitasi sebagai pemilih pindahan," tutur Nurul.
Nurul mengatakan, tak terdatanya pemilih di luar negeri oleh KPU bertambah parah karena minimnya informasi mengenai penyelenggaraan pemilu. “Dan kekurangaktifan mereka (pekerja migran) dalam mendaftarkan diri sebagai pemilih atau pemilih pindahan yang berhak masuk ke dalam daftar pemilih tetap tambahan,” ucapnya.
Serangkaian situasi yang tak dikelola dengan baik, kata Nurul, juga bisa menjadikan suara pemilih pekerja migran rentan terbuang. Contohnya, layanan untuk daftar pemilih khusus yang hanya diperkenankan memilih dalam sejam terakhir saat pemungutan suara dan menggunakan surat suara sisa.
“Jadi, kalau selisih 7,3 juta pemilih di luar negeri itu tidak mengurus surat pindah memilih, maka akan ada jutaan orang yang kehilangan hak pilih," ujar Nurul.
Sementara, menurut Nurul, jika merujuk putusan Mahkamah Konstitusi No.20/PUU-XVII/2019 menyebutkan bahwa Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu telah memberi ruang bagi KPU untuk mendirikan TPS berdasarkan DPT dan daftar pemilih tambahan (DPTb).
"Nah, KPU dapat mendirikan TPS tambahan di daerah yang memiliki selisih antara jumlah pemilih maksimal di TPS, dengan 2% surat suara cadangan dan jumlah pemilih di DPTb,” ucapnya.
“Hal tersebut bisa dilakukan untuk memastikan pemilih yang tercantum di dalam DPTb dapat memberikan hak pilih.”
Lebih lanjut, Nurul menuturkan, aturan ini perlu disosialisasikan secara masif kepada pemilh di luar negeri, agar pemilih pindahan tak kehilangan haknya. "Karena DPT sudah ditetapkan KPU," ucap Nurul.
Di samping itu, KPU pun perlu menyediakan informasi yang memadai mengenai hak pilih bagi pemilih di luar negeri, sekaligus metode pemungutan suara. Misalnya, memberi informasi soal dokumen yang dibutuhkan untuk mengakses hak pilih, serta tata cara pendaftaran pemilih pindahan. Ia memandang, sosialisasi bisa saja dilakukan dengan bantuan konten kreator yang punya banyak pengikut pekerja migran.
“Jadi, KPU atau Bawaslu bisa menjangkau para konten kreator untuk memberikan informasi-informasi tersebut,” ujarnya.