Mahkamah Konstitusi (MK) diharapkan dapat mengurai 135 perkara sengketa Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2020 yang teregister.
Menurut eks Ketua Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), Bambang Eka Cahya Widodo, kenegarawanan hakim konstitusi dinanti untuk mengurai masalah yang terstruktur, sistematis, dan masif (TSM) serta melahirkan keadilan substantif.
"Maka, kita tentu berharap MK menjadi gerbang terakhir dispute resolution dilakukan. Selama ini belum cukup efektif, tetapi ada peningkatan (kinerja) KPU/DKPP (Komisi Pemilihan Umum/Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu) untuk meningkatkan penyelesaian masalah," ujarnya dalam webinar, Kamis (21/1).
Dirinya mendorong demikian mengingat masalah yang dihadapi sangat nyata dan bisa dirasakan.
"Penegakan hukum masih terkendala dalam hukum formal yang sangat menyekat-nyekat proses itu, bahkan beberapa regulasi tidak tegas apa yang harus dilakukan," ucapnya.
Bagi Bambang, MK mesti memutus perkara dengan mengedepankan keadilan substantif, terutama mengadili berbagai kasus kecurangan pilkada yang TSM.
"Kita harus mengakui gugatan yang masuk, indikator yang sangat bagus, bahwa praktik di lapangan menyisakan banyak masalah," jelasnya.
Dicontohkannya dengan maraknya politik uang (money politics) di berbagai daerah. Untuk mengeluarkan keputusan yang berkeadilan, MK perlu progresif dalam mengadili perkara-perkara tersebut.
"MK pernah membatalkan pasangan calon yang menang, tapi melakukan pelanggaran terstruktur, sistematis, dan masif," katanya. Dirinya merujuk pada sengketa Pilkada Kotawaringin Barat 2010.
Anggota Dewan Pembina Perludem, Titi Anggraini, menambahkan, adanya Peraturan MK (PMK) Nomor 6 Tahun 2020 dan Nomor 7 Tahun 2020 yang meneguhkan syarat selisih seperti diatur dalam Pasal 158 UU Pilkada tidak lagi menjadi persyaratan pengajuan permohonan (legal standing).
Titi mengutip alasan dua hakim MK, yakni Aswanto dan Saldi Isra, terkait pilihan tersebut. "Aswanto mengatakan, 'Jika MK begitu saja melaksanakan ketentuan syarat perselisihan suara bagi pasangan calon yang mengajukan perkara, maka MK sudah berpihak kepada salah satu calon, yakni KPU'. Karena itu, pemeriksaan sengketa pilkada terkait selisih suara diperiksa di akhir," paparnya.
Sedangkan Saldi Isra beralasan, MK akan memberi ruang dengan mendengarkan pemohon beserta bukti, pihak terkait, dan Bawaslu.
"Kalau kami meragukan penerapan Pasal 158, maka kami lanjutkan dengan pembuktian," ucap Titi mengutip pernyataan Saldi.
Meski demikian, dirinya mengingatkan, banyak varian kasus yang rumit di MK. Pernyataan tersebut menjawab pertanyaan tentang dugaan pelanggaran TSM di Pilkada Lampung, Kalimantan Tengah (Kalteng), Kalimantan Selatan (Kalsel), dan lainnya.
Kendati begitu, MK diharapkan tidak hanya melihat statistik angka hasil dalam mengadili sengketa. Namun, sampai mengurai masalah yang ada.
Dicontohkannya dengan Keputusan Bawaslu menganulir Keputusan KPU tentang pemenang pilkada setelah penetapan. "MK hadir untuk meluruskan," tegasnya.
Titi melanjutkan, perlu kerja ekstra dalam pembuktian terjadinya politik uang. Demikian pula dengan politisasi bansos dan penyalahgunaan wewenang seperti mutasi PNS oleh petahana. "Tidak mudah membuktikan money politics dan politisasi bansos," akunya.
Sebanyak 135 perkara sengketa hasil Pilkada 2020 masuk ke MK hingga kini. Sebanyak tujuh di antaranya terkait pemilihan gubernur (pilgub). Salah satunya Pilgub Kalteng.
Dalam sengketa Pilkada Kalteng, KPU setempat digugat pasangan calon (paslon) Ben Ibrahim-Ujang Iskandar. Paslon nomor urut 01 ini tidak terima dengan keputusan penyelenggara yang memutuskan Sugianto Sabran-Edy Pratowo sebagai pemenang dengan 536.128 suara, sedangkan pemohon 502.800 suara. Selisih suara keduanya 33.328 (3,21%).
Ben-Ujang menilai, KPU Kalteng tidak netral lantaran disinyalir terjadi meningkatkan jumlah pemilih signifikan, penyalahgunaan struktur/birokrasi untuk mendukung salah satu calon, hingga politik uang yang masif.
Dalam permohonannya ke MK, paslon nomor urut 01 meminta Keputusan KPU Kalteng Nomor 075/PL02.6-Kpt/62/Prov/XII/2020 dibatalkan atau memutuskan digelar pilkada ulang.