Wakil Ketua Badan Pemenangan Nasional (BPN) Prabowo Subianto-Sandiaga Uno, Rachmawati Soekarnoputri resmi melayangkan gugatan uji materi (judicial review) ke Mahkamah Agung ihwal Pasal 3 ayat 7 Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) Nomor 5 Tahun 2019.
Dia menjelaskan, PKPU tersebut mengatur tentang Penetapan Pasangan Calon Terpilih, Penetapan Perolehan Kursi, serta Penetapan Calon Terpilih dalam Pemilihan Umum.
“Hari ini kami resmi mengajukan gugatan. Semuanya sudah terdaftar dengan nomor registrasi 44/Djmt.5/hum/5/2019,” tegas Rachmawati dalam konferensi pers di kediamannya, di Pasar Minggu, Jakarta Selatan, Senin (13/5).
Rachmawati mengatakan, gugatan tersebut diajukan lantaran pasal yang dimaksud cacat hukum. Menurutnya, bunyi dari Pasal 3 ayat 7 PKPU Nomor 5/2019 tentang Penetapan Calon Terpilih dan Penetapan Perolehan Kursi bertentangan dengan Undang-Undang (UU) Pemilu.
Lebih lanjut, pasal tersebut dikatakannya, juga tidak dapat diterapkan dalam rangka menentukan calon presiden (capres ) dan calon wakil presiden (cawapres) terpilih. Hal tersebut yang pada akhirnya dapat melahirkan kecurangan sebagaimana yang diklaimnya sudah terjadi pada hasil pemilu sekarang.
“Kita lihat hasil pemilu sekarang itu sudah jelas telah terjadi kecurangan terstruktur, sistematis, dan masif. Nah, pasal dari PKPU ini yang menurut kami menjadi biang masalah atau hulunya,” tambahnya.
Atas gugatan itu, Rachmawati mendesak penghitungan suara pemilu 2019 yang saat ini dilakukan oleh KPU dihentikan. Sebab, ia merasa penghentian tersebut demi PKPU yang cacat hukum ini berkesinambungan, ada semacam payung hukumnya.
"Maka dengan ini saya dan teman-teman selaku pemberi kuasa, memberi kuasa kepada beberapa advokat untuk melakukan gugatan sekalipun untuk melawan ketua KPU," katanya.
Senada dengan Rachmawati, Sekretaris Tim 9, Mohammad Taufiqurrahman juga menegaskan bahwa pasal tersebut juga melanggar dan bertentangan dengan UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu. Pasal tersebut, diterangkannya, bukan merupakan turunan dari Pasal 416 UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu.
“Semuanya hanya merupakan norma baru yang tidak memiliki landasan hukum yang kuat,” terang Taufiqurrahman.
Bagi Taufiqurrahman, peraturan yang ada dalam UU Pemilu tidak mengatur tentang penetapan paslon terpilih jika diikuti oleh dua pasangan calon. Oleh sebab itu, dirinya menganggap Pasal 3 ayat 7 PKPU Nomor 5 Tahun 2019 itu berada di luar kewenangan KPU selaku penyelenggara yang mengurusi teknis pemilu.
Menurut Taufiqurrahman, KPU tidak memiliki kewenangan untuk membuat norma ihwal yang berkaitan dengan keterpilihan presiden. Semua itu merupakan wilayah UU jika ditinjau secara teori tata negara.
Ia memberikan contoh dalam Pasal 6A ayat 3 UUD 1945. Disebutkannya bahwa pasangan calon presiden dan wapres yang mendapatkan suara lebih dari 50% dari jumlah suara pada pemilu dengan sedikitnya 20% suara di setiap provinsi yang tersebar di lebih dari setengah jumlah provinsi di Indonesia dilantik menjadi Presiden dan Wakil Presiden.
“Pasal ini terang menyebutkan bahwa pemilu itu berdasarkan proporsionalitas atau sebaran dukungan,” kata dia.
Selain itu, Taufiqurrahman mengingatkan terkait tafsir Mahkamah Konstitusi (MK) mengenai Pasal 159 UU Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilu juga sudah dicabut. Hal ini membuat eksistensi pasal tersebut sudah kedaluwarsa atau tidak berlaku lagi.