Sulit memisahkan antara politik dan lembaga survei khususnya dalam situasi saat ini yakni menjelang pemilihan legistatif (pileg) dan pemilihan presiden (pilpres). Lembaga Survei ramai-ramai merilis hasil terakhir elektabilitas kedua calon presiden dan wakil presiden (capres dan cawapres).
Pekan lalu, Lembaga Survei Median merilis hasil teranyar elektabilitas Joko Widodo (Jokowi) dan Prabowo Subianto. Median menyebut kalau elektabilitas pasangan Jokowi dan Ma'ruf Amin rupanya hanya unggul tipis dari pesaingnya, sebesar 12%. Artinya, pasangan Prabowo Sandiaga Uno berhasil mengejar ketertinggalan soal elektabilitas, meskipun sekali lagi hal ini klaim dari Median.
Rilis Median berbanding terbalik dengan lembaga survei lain yakni Lingkaran Survei Indonesia (LSI) Denny JA yang menyebut elektabilitas pasangan Jokowi Ma'ruf dan Prabowo Sandiaga masih terpaut 22% pada akhir November lalu.
Lalu bagaimana memaknai hasil dari lembaga survei tersebut? Anda boleh mempercayai hasil survei atau meragukannya. Toh, sejumlah petugas partai juga menyatakan sikap demikian.
Kepada Alinea.id Ahmad Muzani, Sekjen Partai Gerindra terang-terangan mengkritik sejumlah lembaga survei yang ada. Dirinya mempertanyakan soal akuntabilitas lembaga survei, seperti: melakukan survei dimana, siapa yang disurvei, bagaimana metodologinya dan siapa yang mendanainya.
"Hal-hal tersebut tidak pernah dipublikasikan oleh lembaga survei. Tiba-tiba saja umumkan calon presiden nomor sekian dapat persentase sebesar ini. Lembaga survei bisa mempengaruhi keputusan umum seperti bisa menentukan yang menang ini yang kalah ini," keluh Muzani.
Muzani meyakini kalau lembaga survei bisa memengaruhi keputusan politik seseorang. Bahkan menurut politikus yang juga seorang pengusaha ini, cukup mengerikan kehadiran Lembaga Survei ini di dalam negara demokrasi. Sebab saat hasil lembaga survei meleset dan tidak sesuai dengan kondisi di lapangan, lembaga survei tidak bertanggung jawab.
Ia mencontohkan seperti pada pemilihan kepala daerah atau Pilkada Jawa Barat dan Pilkada Jawa Tengah yang lembaga survei kerap merilis data kalau pasangan yang diusung oleh Partai Gerindra elektabilitasnya jauh di bawah partai yang diusung oposisi. Merujuk pada pasangan Sudrajat-Ahmad Syaikhu di Jawa Barat dan Sudirman Said Ida Fauziah yang rupanya hasilnya mampu meraih persentase di atas 30%. Meskipun kedua pasangan tersebut kalah dari lawannya.
Sekali lagi, Muzani meragukan kehadiran lembaga survei. Bahkan mempertanyakan soal independensi dan akurasi yang dinilai kacau.
Pendustaan publik
Eksistensi lembaga survei di masyarakat saat ini memang cukup dominan menggiring opini publik. Partai politik dan calon pemimpin begitu meminati jasa dari lembaga survei yang melakukan berbagai survei dan polling. Sebab ada keyakinan dari para pelaku politik kalau pembuat opini publik ini mampu memengaruhi pemilih terhadap salah satu parpol atau calon.
Sayang terkadang tidak sedikit lembaga survei yang dengan sengaja mengkhianati hasil. Kita tentu tidak lupa dengan pemilu tahun 2014 dimana dalam hitung cepat versi tim Prabowo Subianto Hatta Rajasa empat lembaga survei memenangkan kandidat tersebut.
Kondisi tersebut mungkin saja bisa terulang pada pemilu 2019 mendatang, toh tidak ada yang menjaminkan? Apabila kondisi tersebut berulang, maka bagian dari pendustaan publik oleh lembaga survei kembali terjadi.
Dalam Jurnal Konstitusi yang dirilis pada tahun 2009 tentang Quick Count: Hak Atas Informasi atau Pembohongan Publik yang ditulis oleh Abdul Wahid menulis soal membaca kemungkinan sisi pendustaan publik. Abdul menuliskan kekhawatirannya kalau lembaga survei di Indonesia mengalami kondisi yang sama seperti di Amerika Serikat (AS).
Di AS, lembaga survei terbesar di AS bernama Gallup Poll yang dianggap sebagai think tank pembentuk opini publik, justru berselingkuh dengan kekuasaan demi tercapainya kesuksesan politik di AS. Gallup dianggap lebih tertarik pada industrialisasi dan bisnis atau pembentuk opini publik dengan menarik perhatian media massa ketimbang mengungkap opini publik yang sesungguhnya.
Pada kondisi tersebut, berkaitan dengan pesta demokrasi yang sarat kepentingan menggunakan pola “het doel heiling de middelen” alias penghalalan segala macam cara, seperti yang diajarkan Machiavelli.