Pengamat terorisme dari Universitas Malikussaleh Aceh Al Chaidar, tak sepakat soal pernyataan calon presiden dari nomor urut 02, Prabowo Subianto, yang menyebut terorisme di Indonesia hanyalah rekayasa.
Menurut dia, gejala terorisme yang belakangan marak terjadi merupakan fenomena yang nyata atau sebenarnya. Selain bukan rekayasa, aksi terorisme juga bukan proxy war. Ini merupakan realita yang terjadi saat ini.
“Mungkin Prabowo perlu membaca lagi realita ini, bahwa terorisme bukanlah rekayasa,” kata Al Chaidar kepada Alinea.id di Jakarta pada Kamis (17/1).
Sebaliknya, kata Al Chaidar, pernyataan wakil presiden nomor urut 02, KH Ma’ruf Amin, dinilai lebih tepat. Untuk mengikis terorisme, perlu ada pendekatan humanis kepada pelaku teror maupun seseorang yang pernah atau benar-benar terpapar terorisme.
Namun demikian, kedua pasangan calon presiden dan wakil presiden tersebut masih belum tepat dalam memandang terorisme. Pasalnya, keduanya menganggap aksi terorisme muncul dari relasi relatif dan faktor ekonomi.
“Para paslon belum jelas. Kedua faktor tersebut sebenarnya salah. Sebab, soal terorisme tidak melulu urusan ekonomi,” kata Al Chaidar.
Senada dengan Al Chaidar. Pengamat terorisme Ridlwan Habib, mengatakan aksi terorisme hanyalah rekayasa tidak tepat. Pasalnya, setiap terjadi aksi terorisme pihak aparat selalu bisa menangkap orang-orang yang terlibat di dalamnya. Karena itu, melihat faktanya demikian pernyataan Prabowo menjadi terbantahkan.
“Faktanya di pengadilan itu adalah orang-orang yang ditangkap. Bisa kita temui orang-orang yang melakukan aksi terorisme di dalam penjara,” kata Ridlwan.
Menurut Ridlwan, pernyataan yang disampaikan Prabowo Subianto tidak ada yang merujuk pada fakta. Itu terlihat dari orang-orang yang terlibat aksi terorisme sudah menjalani masa hukumannya di penjara. Saat ini, Ridlwan menyebut, ada sekitar 567 orang yang masih berada di dalam penjara.
“Itu adalah semuanya orang Indonesia. Bukan orang asing,” ucap Ridlwan. “Prabowo tak memahami dan memahami konsep deradikalisasi, dia hanya menganggap itu rekayasa.”