Wakil Ketua Umum Partai Gerindra, Arief Poyuono, mengatakan pihaknya secara resmi telah menolak hasil pemilihan umum atau Pemilu 2019. Sebagai langkah nyata dari penolakan itu, Partai Gerindra mengajak masyarakat terutama pendukung pasangan Prabowo Subianto-Sandiaga Uno untuk tidak membayar pajak.
Arief menilai, menolak membayar pajak merupakan sebuah sikap untuk tidak mengakui pemerintahan dari hasil Pemilu 2019. Selain tak membayar pajak, pendukung Prabowo juga tidak perlu mengikuti kebijakan program pemerintah terpilih. Pasalnya, keterpilihan salah satu paslon dihasilkan dari pilpres yang tidak legitimasi.
“Ini merupakan langkah yang bisa dilakukan masyarakat yang menolak mengakui hasil pemerintahan dari Pilpres 2019,” kata Arief melalui keterangan resmi yang diterima Alinea.id di Jakarta, pada Rabu (15/5).
Menurut Arief, tak membayar pajak adalah hak masyarakat sebagai bentuk tidak mengakui pemerintahan periode selanjutnya. Selanjutnya, Arief juga meminta kepada pendukung Prabowo untuk melakukan gerakan diam seribu bahasa. “Tidak perlu melakukan kritik-kritik apa pun terhadap pemerintahan yang tidak konstitusional lantaran dihasilkan dari pilpres yang tidak legitimate,” katanya.
Arief juga mengajak para partai koalisi Indonesia Adil Makmur untuk tidak melibatkan diri dalam pembentukan parlemen periode 2019 sampai 2024. Pembentukan DPR periode tersebut dianggap Arief tidak perlu.
“Dengan menolak bayar pajak, kita jadi bersikap tidak mengakui pemerintahan yang dihasilkan dari Pilpres 2019. Gerindra dan parpol koalisi juga tidak perlu ikut membentuk DPR RI 2019-2024 . Ini adalah jalan untuk tidak mengakui pemerintahan hasil Pilpres 2019,” kata Arief.
Menurutnya, segala bentuk penolakan ini perlu dilakukan untuk menjamin demokrasi yang jujur dan adil. Dengan cara ini pula, kata Arief, negara-negara luar tidak akan mengakui pemerintahan hasil Pilpres 2019. “Ini penting agar sistem demokrasi yang jujur, bersih, dan adil bisa dipertahankan,” kata Arief.
Sementara itu, Ketua DPP PKB, Abdul Kadir Karding menganggap penolakan yang dilakukan kubu BPN Prabowo-Sandi terhadap hasil rekapitulasi KPU tidak berdasarkan data dan fakta. Penolakan itu disebutnya hanya berdasarkan asumsi dan wacana bahwa Pemilu 2019 telah terjadi kecurangan.
"Penolakan itu tidak dibangun atas data dan fakta karena hanya asumsi dan wacana telah curang. Namun kecurangan terjadi di mana, siapa yang melakukan, dan bagaimana modusnya tidak dijelaskan," kata Karding.
Dia menyayangkan Prabowo sebagai tokoh besar menyampaikan penolakan hasil pemilu. Padahal, waktu penghitungan suara belum selesai. Karena itu, seharusnya pihak Prabowo-Sandi lebih baik menunggu hingga semua tahapan dilalui.
Selain itu, Karding juga menyesalkan sikap Prabowo yang tidak memercayai KPU sebagai penyelenggara pemilu. Juga termasuk pada Bawaslu sebagai pengawas jalannya pemilu. Padahal, kedua lembaga tersebut dijamin oleh undang-undang. Dalam proses pemilihan komisioner KPU dan Bawaslu pun, parpol pendukung Prabowo-Sandi ikut menentukan.
"Gerindra dan koalisi 02 ikut menentukan melalui uji kelayakan dan kepatutan komisioner KPU, Bawaslu, DKPP bahkan seluruh parpol dan tim kampanye diberikan kesempatan untuk menempatkan saksi di TPS dan kecamatan," ujar Karding.
Karding mengatakan, tindakan menolak hasil Pemilu tanpa alasan yang kuat berdampak membangun pendidikan politik masyarakat kurang baik. Dia menilai di Indonesia banyak momentum pemilihan politik seperti pemilihan kepala desa dan pilkada wali kota, bupati dan gubernur. Perilaku tidak siap kalah inilah yang akan menjadi preseden buruk di masa mendatang.
"Sebenarnya kalau mau, ditunggu dulu hasil pemilu seperti apa, lalu pelajari datanya, dan kalau ada kecurangan, maka dilaporkan kepada Bawaslu," katanya.